Urgensi Hukum
dan Pendidikan Karakter
Dalam Penanganan
Kasus Terorisme, Korupsi dan Demonstrasi
Abstrak: Manusia adalah
makhluk sosial. Ini artinya manusia itu tidak bisa terlepas dari peran orang
lain di sekitarnya. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
sering terjadi ketidak sesuaian antara yang diharapkan. Ini bisa disebabkan
oleh faktor dari orang lain dan juga dari diri pribadi itu sendiri. Akibatnya,
berbagai bentuk pelanggaran pun kerap terjadi, mulai dari pelanggaran hukum
hingga pelanggaran nilai asosila dan moral. Untuk mengatasi masalah yang
dihadapi, pendidikan karakter diharapkan sebagai salah satu solusi penanganan
akar masalah yang dihadapi manusia.
Kata kunci: Hukum, Terorisme, Korupsi, Demonstrasi, dan Pendidikan Karakter.
A.
Latar belakang
Manusia sebagai mahluk sosial,
tentu tidak terlepas dari berbagai bentuk hubungan dalam kehidupan sehari-hari,
baik itu hubungan politik, ekonomi, sosial, budaya dan hukum. Baik sebagai
individu maupun sebagai anggota masyarakat suatu bangsa. Hubungan tersebut akan
saling berkaitan satu dengan yang lainnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap
orang ingin berusaha untuk mendapatkan kebahagiaan dan keharmonisan. Untuk itu,
diperlukan adanya sebuah aturan hukum yang dapat dijadikan sebagai pegangan
atau pengendali dalam berbagai tindakan yang dilakukan. Dalam kehidupan
sehari-hari hukum itu harus dikaitkan dengan kehidupan sosial, karena hukum
pertama-tama dijadikan sebagai alat penataan hidup sosial (Theo Huijbers, 39:
1995).
Fakta yang
terjadi di masyarakat seringkali hukum itu diperlakukan bukan pada tempatnya
atau sesuai tujuan yang diharapkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat.
Penerapan hukum masih sering pandang bulu. Lihat berbagai kasus pelanggaran
hukum yang dilakukan oleh para oknum pejabat yang korup uang Negara, mereka
seolah tidak tersentuh oleh hukum, mereka masih bisa tersenyum lebar meski
sudah jelas-jelas terbukti melakukan melakukan kesalahan.
Masih ingat
berita tentang pengakuan Susno Duaji? Tentang adanya kasus MARKUS, yang ada di
tubuh Kapolri, yang sudah menyeret beberapa aparat penegak hukum harus mendekam
di dalam tahanan. Lihat juga kasus Mapia Pajak Gayus Tambunan, yang mencoreng
wajah dinas perpajakan. Itu adalah beberapa kasus pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh oknum pejabat dan penegak hukum hukum, yang seharusnya menjadi
teladan hukum bagi masyarakat.
Perlakuan hukum
yang secara subyektif oleh penegak hukum dalam menerapkan sebuah hukum akan
cepat terselesaikan bila itu pelakunya masyarakat biasa. Sebagai contoh: Lihat
kasus seorang nenek minah baru-baru ini yang tertuduh mencuri dua buah buah
coklat, harus mendekam di tahanan. Lihat juga kasus seorang petani di jawa
timur yang mencuri sebuah semangka yang berujung pada penahanan di rutan. Kasus
yang sama juga terjadi pada Rasminah, yang tertuduh melakukan pencurian 6
piring dan sup buntut ditahan 4 bulan (Kompas.com. Rabu, 13 Oktober 2010). Dan
masih banyak lagi kasus hukum yang dapat dijadikan contoh betapa mudahnya
sebuah hukum dijatuhkan kepada seorang rakyat yang buta hukum. Sedangkan para
koruptor uang Negara yang bernilai miliaran rupiah dengan mudahnya bisa bebas.
Berbagai kasus
penegakan hukum yang tidak sesuai dengan yang diharapkan masyarakat terhadap
para pelanggar hukum, sering berujung pada terjadinya berbagai bentuk aksi
demonstrasi yang dilakukan dengan tujuan untuk menunjukkan protes dan
penyaluran aspirasi atas berbagai permasalahan yang terjadi.
Menyikapi krisis
moral yang terjadi di Negara ini, sebagai bangsa yang bermartabad dan
berketuhanan, tentu tidak ingin generasi berikutnya mengalami hal yang sama
bahkan lebih buruk dari apa yang terjadi sekarang. Untuk itu, perlu dilakukan
penanaman berbagai bentuk pewarisan budaya yang bernilai positif, seperti
mendidik generasi berikutnya mengenai nilai-moral, mengajarkan bagaimana
bersikap serta bertindak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bagaimana
berusaha untuk menaati peratuhan serta hukum yang berlaku. Kesemuanya itu dapat
dilakukan salah satunya melalui dunia pendidika sekolah sebagai salah satu
lembaga pendidika formal.
B.
Pengertian
hukum
Hukum
merupakan suatu tatanan atau aturan yang utuh, yang terdiri dari bagian-bagian
atau unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lain mengenai kaidah atau
pernyataan tentang apa saja, sehingga hukum merupakan sistem yang bersifat
normatif. Dengan kata lain, hukum adalah suatu kumpulan unsur-unsur yang ada
dalam interaksi satu sama lain dan merupakan satu kesatuan yang terorganisasi
untuk mencapai kerjasama kearah tujuan kesatuan (Sudikno Mertokusumo, 18:
2004).
Hukum menurut
substansinya adalah undang-undang yang mengikat perilaku setiap masyarakat
tertentu, atau peraturan yang dibuat dan disepakati baik secara tertulis maupun
tidak tertulis (Daryanto, 271: 1997). Dalam Kamus bahasa Indonesia hukum
diartikan sebagai: 1) peraturan yang dibuat oleh penguasa (pemerintah) atau
adat yang berlaku bagi semua orang dalam suatu masyarakat (negara); 2)
undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat:
3) keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan) vonis
(Kamus Bahasa Indonesia, 351: 2008). Pada pengertian ini hukum lebih dimaknai
sebagai sebuah aturan yang diberlakukan dalam kehidupan sehari-hari, baik yang
tertulis ataupun tidak tertulis untuk mengatur perilaku setiap anggota
masyarakat.
Hukum juga didefenisikan
sebagai suatu sistem konseptual aturan hukum dan putusan hukum, atau
bahan-bahan ilmu hukum yang secara sistematik adalah suatu kebulatan susunan
atau keseluruhan yang kompleks dan terorganisir (S.T.
Marbun, 19: 1987). Pada definisi ini, hukum masih terbatas pada
aturan-aturan, namun tidak disinggung yang menjadi oyek dari hukum itu sendiri.
Hasanuddin
(1-2: 2004) menjelaskan beberapa definisi hukum yang dikemukakan oleh para ahli,
yaitu:
a.
Menurut
Meyers, hukum ialah semua aturan yang mengadung pertimbangan kesusilaan,
ditunjukkan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat yang menjadi pedoman
bagi penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya. Definisi ini lebih
menekankan hukum pada obyek yang menerapkannya yaitu para penguasa.
b.
Menurut Leon Dugit, hukum ialah aturan tingkah
laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya apda saat tertentu
diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan
jika dilanggar menimbulkan rekasi bersama terhadap orang yang melakukan
pelanggaran itu. Definisi ini lebih bersifat umum dari yang diungkapkan Meyers,
disini hukum menyangkut semua anggota masayakat tanpa terkecuali, yang
menekankan pada penjaminan atas kepentingan bersama.
c.
Menurut Immanuel Kant, hukum ialah keseluruhan
syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat
menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang lain menuruti asas tentang
kemerdekaan. Definisi ini mengarah pada penjaminan hak asasi tiap manusia,
untuk terbebas dari pengaruh orang lain.
d.
Menurut Utrecht, hukum ialah himpunan peraturan
(perintah dan larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan oleh
karena itu harus ditaati oleh masyarakat tersebut. Definisi ini menekankan
bagaimana hukum itu diterapkan dengan menekankan penerapannya dalam bentuk
perintah dan larangan serta sangsi bagi yang melanggar hukum tersebut.
Berbagai
definisi hukum yang dikemukakan para ahli, terdapat perbedaan dalam menafsirkan
hukum. Ini tergantung dari sudut mana hukum itu dipandang. Kesemua definisi
hukum yang dikemukakan para ahli tersebut, memiliki persamaan pada
unsur-unsurnya, yaitu:
a.
Adanya peraturan dantingkah laku manusia.
b.
Peraturan itu dibuat oleh badan-badan resmi
yang berwajib.
c.
Hukum itu bersifat memaksa.
d.
Adanya sanksi bagi yang melakukan pelanggaran
hukum.
C.
Hukum dan terorisme
Terorisme, ini
merupakan istilah yang sudah tidak asing, baik dikalangan masyarakat tingkat
nasional, bahkan hingga tingkat internasional. Berbagai aksi pengeboman hotel
dan gedung, tempat hiburan dan lain sebagainya merupakan bagian dari aksi yang
dilancarkan oleh para teroris. Meski sampai sekarang ini penafsiran istilah
terorisme itu mah berbeda-beda menurut para ahli, tergantung dari segi mana
terorisme itu dipandang.
Marzuki (3:
2010) mencoba mendefinisikan terorisme sebagai bentuk melawan hukum atau
tindakan yang mengandung ancaman dengan kekerasan dan paksaan terhadap individu
atau hak milik untuk memaksakan atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat
dengan tujuan politik, agama dan ideology. Lebih lanjut, terorisme juga dapat
diartikan sebagai bentuk tindakan yang menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan yang berlatar belakang politik atau kekuasaan dalam suatu
pemerintahan Negara.
Berdasarkan
usulan dari konsensus akademis tahun 1999, yang ditetapkan United Nations General
Assembly, mendefinisikan terorisme sebagai berikut:
Terorism is an anxiety-inspiring
method of repeated violent action, employed by (semi) clandestine individual,
group or state actors, for idiosyncratic, criminal or political reasons,
whereby in contrast to assassination the direct targets of attacks are not the
main targets. The immediate human victims of violence are generally chosen
randomly (targets of opportunity) or selectively (representative of symbolic
targets) form a target population, and serve as message generators. Threat and
violence based communication processes between terorist (organization),
(imperiled) victims, and main targets are used to manipulate the main target (audiences),
turning it into a target of terror, a target of demands, or a target of
attention, depending on whether intimidation, coercion, or propaganda is
primarily sought (Bahtiar Marpaung, 123: 2007).
Sedikitnya ada
tiga elemen yang harus dipenuhi untuk dapat memenuhi unsur definisi di atas,
yaitu motif politik, rencana atau niat, dan penggunaan kekerasan. Teroris
tampaknya adalah seorang pribadi narsistis, dingin secara emosional, asketis,
kaku, fanatis. Tipe personalitas “prateroris” ini cocok dengan gerakan
totaliter/sistem tertutup/sekte. Ini sering kita lihat pada pelaku terorisme di
Indonesia, pelakunya adalah para tokoh yang panatis, dan sistemnya tertutup.
Dari definisi
tersebut, terlihat adanya elemen yang dasar yang melatarbelakangi timbulnya
aksi terorisme, yaitu politik, ekonomi, sosial, bahkan dari aspek keagamaan
yang salah ditafsirkan. Selanjutnya elemen tersebut menimbulkan niat untuk
melakukan berbagai tindakan kekerasan, sebagai bentuk pelampiasan tujuan,
hingga akhirnya harus berurusan dengan hukum.
Sedangkan
tujuan-tujuan terorisme menurut Hardiman (Bahtiar Marpaung, 122: 2007) yaitu:
(1) Mempublikasi suatu alasan lewat aksi kekejaman, karena hanya lewat aksi
semacam itu publikasi yang cepat dan massif dimungkinkan; (2) Aksi balas dendam terhadap rekan atau
anggota kelompok; (3)Katalisator bagi militerisasi atau mobilisasi massa; (4)
Menebar kebencian dan konflik interkomunal; (5) Mengumumkan musuh atau kambing
hitam; (6) Menciptakan iklim panik massa, menghacurkan kepercayaan publik
terhadap pemerintah dan polisi.
Beberapa
bentuk nyata aksi terotisme yang pernah terjadi di Indonesia diantaranya
Peledakan di Kuta Bali 12-10-2002,
Peledakan di Manado November 2002,
Peledakan di McDonald Makasar
05-12-2002, Peledakan di Hotel JW. Marriot Jakarta 05-08-2003, Peledakan
di depan Kedubes Australia, Jakarta,
09-09-2004, Peledakan bom Bali II
01- 10 – 2005, dan berbagai aksi teror lainnya yang tidak jarang
menimbulkan korban jiwa dan kerugian material.
Kekerasan (terrorism)
tersebut diartikan sebagai cara (means) atau senjata bagi kelompok yang
lemah untuk melawan kelompok yang kuat atau suatu cara bagi kelompok tertentu
untuk mencapai tujuan dan selanjutnya dapat diartikan sebagai: (a) Cara
kelompok miskin untuk meminta perhatian kelompok si kaya, (b) Cara kelompok
yang dimarjinalkan terhadap kelompok yang diuntungkan, (c) Cara kelompok yang
tertekan terhadap kelompok yang arogan, (d) Cara kelompok yang dimusuhi,
diblokade, diembargo, diperlakukan tidak adil, dan sebagainya (Bahtiar
Marpaung, 123: 2007).
Mengingat
berbagai kasus terorisme yang terjadi selama ini, diperlukan adanya perangkat
hukum yang jelas untuk mengatasinya. Menurut Gayus Lumbun, dengan adanya
perangkat hukum dalam penindakan terorisme, kekhawatiran akan disalahgunakannya
oleh aparat pemegang kekuasaan tertentu atau untuk mengikuti kehendak dan
kepentingan suatu golongan, tidaklah berasalan untuk tetap membiarkan adanya
kekosongan hukum tentang pemberantasan terorisme (Bahtiar Marpaung, 126: 2007).
Melihat
berbagai bentuk dasar yang melatarbelakangi timbulnya tindakan terorisme, maka
penanganannya pun memerlukan cara yang komprehensif. Penanganan kasus terorisme
ini hendaknya dilakukan dengan melakukan kerja sama antar semua lembaga, dan
masyarakat. Ini bisa dilakukan dengan dua langkah, yaitu: a) mencegah teroris
itu dengan memutus rantai regenerasinya, yaitu dengan memberikan pendidikan
anti terorisme pada tingkat sekolah, b) menangkap secara langsung para pelaku
terorisme tersebut, untuk dibina.
Selama ini
penanganan kasus terorisme hanya dilakukan dengan langkah kedua yaitu menangkap
pelaku terorisme itu secara langsung, sementara pendekatan pemutusan rantai
regerasi belum dilakukan. Ini menyebabkan permasalahan terorisme itu tidak bisa
hilang sama sekali, ketika yang tertangkap dipenjara dan dihukum mati,
generasinya mengambil alih pimpinan pergerakan.
D.
Hukum dan Koruptor
Bangsa
Indonesia sekarang ini dilanda krisis multidimensi. Tidak hanya krisis ekonomi,
politik dan hukum, akan tetapi juga mengalami krisis moral dan kepercayaan. Krisis
moral dan kepercayaan memberi andil yang besar terhadap berbagai permasalah
yang sekarang dihadapi bangsa ini. Mulai dari dari kaum intelek dan pigur
seorang pemimpin hingga siswa Sekolah Dasar mengalami krisis moral.
Krisis moral
yang terjadi pada diri tokoh atau para pejabat yang memiliki jabatan, menurut
Kwik Kian Gie berakar pada KKN, dia memaknakan KKN sebagai akar dari praktis
semua permasalahan bangsa yang sedang kita hadapi dewasa ini (Musni Umar, dkk,
1: 2004). Dampak KKN ini sangat luas, tidak hanya terbatas pada mencari uang,
tetapi lambat laun juga merusak mental, moral, tata nilai, bahkan cara
berfikir. Pada akhirnya lambat laun akan membuat orang sulit untuk membedakan
yang benar dan yang salah bahkan menjadikan KKN seolah-olah suatuhal yang
lumrah dan menjadi tradisi.
Untuk memahami
tentang koruptor ini, terlebih dahulu kita mengetahui definisi dari korupsi itu
sendiri. Bang Dunia mendefinisikan korupsi the
abuse of public office, yaitu yaitu penyalah-gunaan jabatan publik untuk keuntungan
pribadi atau kelompok (Musni Umar, dkk, 64: 2004). Definisi ini tidak secara
spesifik menyebutkan bentuk korupsi tersebut. Korupsi dipandang secara umum
dari segi penyalahgunaan jabatan atau wewenang yang menguntungkan diri pribadi
atau kelompoknya.
Syaed Hussein
Alatas (Musni Umar, dkk, 65-66: 2004), seorang sosioloh terkemuka Malaysia
mencoba mengidentifikasi macam-macam bentuk korupsi, yaitu:
a.
Transactive
corruption: adalah bentuk korupsi yang dilakukan secara
aktif oleh dua pihak dalam bentuk suap dimana yang memberi dan menerima saling
bekerja sama untuk memperoleh keuntungan bersama.
b.
Extortive
corruption: adalah penguatan paksa penjabat sebagai pembayaran jasa yang
diberikan kepada pihak luar. Ini merupakan bentuk korupsi yang dipaksakan oleh
satu pihak kepada pihak lain, sehingga ini lebih bersifat pemaksaan.
c.
Investive
corruption: ini adalah pemberian yang diberikan pihak luar kepada penjabat,
bukan untuk mendapat balas jasa sekarang, tetapi untuk memperoleh kemudahan
fasilitas dan keuntungan dimasa mendatang. Disini korupsi lebih bersifat
penanaman jasa (hutang budi) sehingga hasil dari korupsi tersebut akan
diperoleh dikemudian hari.
d.
Nepotistic
corruption: ini berhubungan dengan pemberian rente ekonomi atau pengangkatan
jabatan publik kepada family atau teman. Korupsi bentuk ini lebih bersifat
untuk memperoleh keuntungan pribadi dan kelompok, hasilnya bisa berupa balas
jasa untuk waktu yang akan datang.
e.
Autogenic
corruption: ini bentuk korupsi yang terjadi sebagai balas jasa bila seseorang
penjabat memberi informasi dari dalam kepada pihak luar dalam bentuk suap. Ini
lebih bersifat memanfaatkan persaingan antar pihak luar yang berkepentingan
oleh penjabat yang memiliki informasi atau wewenang atas informasi yang
dibutuhkan pihak luar.
f.
Supportive
corruption: ini adalah korupsi yang dilakukan secara berkelompok dan
terorganisir dalam suatu bagian atau divisi dengan tujuan untuk melindungi dan
mempertahankan praktek korupsi yang mereka lakukan secara kolektif.
Semua bentuk
korupsi yang dijelaskan di atas, bentuk yang terakhir ini merupakan bentuk
korupsi yang paling berbahaya, sebab ini akan sulit terdeteksi oleh pihak luar
kelompok mereka. Sehingga korupsi bentuk Supportive
corruption ini cenderung berlangsung lama dan terorganisir secara rapi.
Diliht dari
bentuk implementasinya yang mempunyai dampak langsung bagi perekonomian satu
Negara, Musni Umar dkk, (66-68: 2004) menggolongkan korupsi menjadi:
1)
Pencurian aset Negara (pillaging of state assets): ini merupakan bentuk korupsi aset
Negara oleh oknum pejabat yang berwenang disebabkan kurangnya pengontrolan atas
aset Negara yang ada dan sistim administrasi yang lemah, sehingga tidak jarang
ditemui asset Negara yang hilang tidak diketahui keberadaannya atau
penggunaannya.
2)
Distorsi anggara belanja pemerintah: ini
merupakan bentuk korupsi anggaran belanja pemerintah yang dilakukan oleh oknum
pemerintah itu sendiri, dimana ketika pemerintah mengeluarkan APBN untuk sebuah
proyek mengalami distorsi karena adanya mark-up
oleh oknum pejabat yang berwenang untuk suatu proyek. Sehingga pembengkakan
biaya sutu proyek yang dikeluarkan pemerintah masuk kantong sang koruptor. Distorsi
ini juga sering terjadi pada sebuah proyek yang diada-adakan padahal
kenyataannya tidak ada, sehingga kerugian Negara akan bertambah. Distorsi ini
juga terjadi pada saat petugas pajak kolusi dengan wajib pajak, sehingga dengan
demikian penerimaan Negara berkurang dari yang semestinya diterima.
3)
Patronisme:
korupsi ini terjadi bila seseorang penjabat memperoleh jabatan politik dengan
memberi imbalan materi kepada pendukungnya. Ini juga sering disebut dengan
istilah money polics. Ini sering
terjadi pada waktu pemilihan pejabat pemerintah seperti pilpres, pilkada, dll.
4)
Kronisme: korupsi ini terjadi dima
pengangkatan jabatan public dan pemberian hak-hak ekonomi didasarkan atas
hubungan family, dan hubungan perkoncoan atau organisasi (partae atau politik).
Dari beberapa
definisi dan penggolongan korupsi yang telah dijelaskan di atas, semuanya itu
terjadi di Indonesia sampai saat sekarang ini. Hal ini terlihat dari berbagai kasus
korupsi yang dilakukan oleh para tokoh, oknum pejabat, bahkan oknum penegak
hukum yang seharusnya menegakkan hukum. Berbagai kasus korupsi yang dilakukan
oknum pejabat. Mulai dari pejabat tingkat tinggi hingga pejabat daerah, bahkan
pejabat desa ikut-ikutan korupsi.
Baru-baru ini
pemerintah Indonesia ribut terkait kasus Bank Century, kasus korupsi perpajakan
yang didalangi oleh Gayus Tambunan, kasus korupsi beberapa pejabat kepolisian
yang terkait isu mapia hukum yang dihembuskan oleh Komjen Susno Duaji, dan sederatan
kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum pemerintah dan penegak hukum yang
menyebabkan kerugian Negara hingga triliunan Rupiah.
Salah seorang anggota
dari Indonesia Corruption Watch (ICW) membeberkan data kasus korupsi dari tahun
2002 hingga 2009. Data itu menyebut 20 kasus korupsi kelas kakap yang tengah
diurus Mabes Polri tetapi mangkrak begitu saja. Bila ditotal, nilai kerugian
dari 20 kasus itu saja tidak kurang dari Rp 1.500 miliar (http://koranbaru.com). Berikut 20 daftar kasus
mangkrak yang berhasil dikumpulkan ICW:
1.
Kasus PT Jamsostek (2002). Kerugian mencapai
Rp 45 miliar. Mantan Dirut PT Jamsostek Akmal Husein dan mantan Dirut Keuangan
Horas Simatupang telah ditetapkan sebagai tersangka.
2.
Proyek fiktif dan manipulasi data di PT Darma
Niaga (2003). Kerugian mencapai Rp 70 miliar. Polisi telah tetapkan sebagai
tersangka Winarto (direktur utama), Wahyu Sarjono (direktur keuangan), dan
Sudadi Martodirekso (direktur agrobisnis).
3.
Penyalahgunaan rekening 502 (2003). Kerugian
mencapai Rp 20,98 miliar. Telah ditetapkan sebagai tersangka mantan Gubernur
Bank Indonesia Syahril Sabirin, mantan Ketua BPPN Putu Gede Ary
Suta, mantan Ketua BPPN Cacuk Sudaryanto dan Kepala Divisi Bill of Lading
(B/L) Totok Budiarso.
4.
Karaha Bodas Company (2004). Kerugian
mencapai Rp 50 miliar. Jumlah tersangka ada 20 orang dari pejabat Panas Bumi
Pertamina dan pihak swasta. Beberapa dintaranya Robert D. Mac Chunchen,
Suprianto Kepala (Divisi Geotermal Pertamina), Syafei Sulaeman (staf Divisi
Geotermal Pertamina). Hanya 2 yang telah dilimpahkan ke pengadilan.
5.
Kepemilikan rumah mantan Jaksa Agung, MA
Rachman (2004). Rumah senilai 800 juta belum dilaporkan ke KPKPN.
Beberapa orang dipanggil sebagai saksi.
6.
Pengadaaan genset di NAD (2004). Kerugian
mencapai Rp 40 miliar. Mabes polri telah tetapkan Wiliam Taylor dan Abdullah
Puteh sebagai tersangka. Hanya Wiliam yang dilimpahkan ke pengadilan. Sedangkan
Abdullah Puteh, proses hukum selanjutnya tidak jelas. Puteh hanya dijerat
dalam kasus korupsi pengadaan Heli dan divonis 10 tahun penjara oleh pengadilan
tipikor.
7.
Penyewaan crane atau alat bongkar muat
kontainer di PT Jakarta International Container Terminal (JICT) tahun
2005. Kerugian mencapai Rp 83,7 miliar. Direktur PT Jakarta International
Container Terminal Wibowo S Wirjawan telah ditetapkan sebagai tersangka.
8.
Proyek peningkatan akademik di Departemen
Pendidikan Nasional (2005). Kerugian mencapai Rp 6 miliar. Ditetapkan tiga
tersangka utama adalah Dedi Abdul Halim, Pimpinan Bagian Proyek Peningkatan
Tenaga Akademis di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, dan dua
stafnya, yakni Elan Suherlan dan Helmin Untung Rintinton.
9.
Proyek pengadaan jaringan radio komunikasi
(jarkom) dan alat komunikasi (alkom) Mabes Polri (2005). Kerugian ditaksir
mencapai Rp 240 miliar. Mabes telah tetapkan Henri Siahaan sebagai
tersangka dan sempat ditahan.
10. Penyaluran
dana fiktif di Perusahaan Umum Percetakkan Uang Republik Indonesia (Peruri)
tahun 2005. Kerugian ditaksir mencapai Rp 2,3 miliar. Tiga orang Direksi
Peruri telah ditetapkan sebagai tersangka (M. Koesnan Martono yang menjabat
sebagai Direktur Utama, Direktur Logistik Marlan Arif, dan Direktur Pemasaran
Suparman).
11. Dana vaksinasi
dan asuransi perjalanan jamaah haji periode 2002-2005 (2005). Kerugian
ditaksir mencapai Rp 12 miliar. Penyidik telah memeriksa 15 orang saksi.
12. Proyek
renovasi Hotel Patra Jasa di Bali (2006). Kerugian ditaksir mencapai Rp
69 miliar. Polda Metro Jaya menetapkan tujuh tersangka mantan Direktur Utama,
Sri Meitono Purbowo atau Tony Purbowo, enam direksi lainnya ditetapkan sebagai
tersangka.
13. Wesel Ekspor
Berjangka (WEB) Unibank tahun 2006. Kerugian ditaksir mencapai
US$ 230 juta. Diduga melibatkan Komisaris PT Raja Garuda Mas,
ST, Proses dilakukan oleh tim gabungan Mabes Polri dengan Kejaksaan Agung
(Kejagung).
14. Proyek
Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Muara Tawar, Bekasi, Jawa Barat
senilai Rp 590 miliar pada tahun 2006. Mantan Direktur Utama PT PLN Eddie
Widiono telah ditetapkan sebagai tersangka. Eddi Widiono juga dijerat dalam
kasus korupsi proyek PLTU Borang, namun kasusnya dihentikan oleh Kejaksaan.
15. BPR Tripanca
Setiadana Lampung pada tahun 2008. Mabes telah tetapkan sebagai tersangka
pemilik BPR. Sugiarto Wiharjo alias Alay, Laila Fang (sekretaris pribadi Alay),
Yanto Yunus (Kabag Perkreditan BPR Tripanca), Pudijono (Direktur Utama BPR),
Indra Prasetya dan Fredi Chandra (staf analisis kredit BPR), Nini Maria (Kasi
Administrasi BPR), dan Tri hartono (Bagian Legal BPR).
16. Dana Tak
Tersangka (DTT) di Provinsi Maluku Utara (2008) senilai Rp 6,9 miliar.
Diduga melibatkan sejumlah pejabat dan mantan gubernur di lingkup pemerintah
provinsi Maluku Utara (Malut). Sebelumnya ditangani Polda Malut dan telah
menetapkan dua tersangka yakni bendahara di Pemprov Malut bernisial RZ dan Karo
Keuangan Pemprov Malut berinisial JN.
17. Pengadaan jasa
konsultan di BPIH Migas (2009) dengan anggaran sebesar Rp 126 miliar untuk
tahun anggaran 2008 dan Rp 82 milyar untuk tahun anggaran 2009, yang diduga
dilakukan oleh pejabat dilingkungan BPH Migas.
18. Pengelolaan
dana PNBP sebesar Rp 2,4 triliun. Dugaan korupsi di BPH Dirjen Postel
Kementerian Kominfo atas pengelolaan dana PNBP sebesar Rp 2,4 triliun yang
didepositokan pada bank BRI dan Bank Bukopin yang seharusnya digunakan untuk
proyek infrastruktur (Uso) namun justru didepositokan sedangkan proyek
diserahkan kepada pihak ketiga (Telkomsel) dengan membayar sewa layanan
multimedia.
19. Makelar sejumlah
proyek di PT Telkom dan anak perusahaan Telkom (PT telkomsel) (2009). Sedikitnya
30 proyek yang bernilai triliunan rupiah sejak tahun 2006-2009 yang mana
pekerjaan tersebut banyak tidak diselesaikan tetapi tetap dibayar lunas oleh
direksi PT Telkom maupun Telkomsel karena sarat dengan KKN.
20. Pembelian
saham perusahaan PT Elnusa di PT infomedia tahun 2009 senilai Rp 300 miliar.
Dugaan korupsi atas pembelian saham perusahaan PT Elnusa di PT infomedia yang
dimark-up dan diduga dilakukan oleh pejabat di lingkungan PT Telkom sebesar Rp
590 miliar.
Semua kasus
tersebut, sampai sekarang belum jelas tindak lanjut penyelesaiannya, bahkan
tidak ada tindak lanjut sama sekali. Hal yang demikian itu menunjukkan bahwa
masih ada PR besar dari bidang hokum di negeri ini untuk melakukan penegakan
hokum sesuai dengan hokum yang seharusnya.
Baru-baru ini
wajah hukum negeri ini kembali dipertanyaan eksistensinya dalam menangani kasus
hukum terhadap korupsi. Keluarnya terdakwa dalam kasus dugaan kasus mafia hukum
Gayus Halomoan P Tambunan dari Rutan Mako Brimob Kelapa Dua Depok Jawa
Barat pada akhir pekan lalu menyeret nama dua tahanan lain, Susno Duadji dan
Wiliardi Wizard. Sel kedua anggota polisi itu bersebelahan dengan ruang tahanan
Gayus. (http://www.hukumonline.com).
Ini menunjukkan kurangnya keseriusan dan terkesan lamban dari para penegak hukum
dalam menangani dan mengusut kasus yang menyangkut perkara korupsi.
Dengan
demikian, timbul pertanyaan yang sangat mendasar dari kalangan masyarakat,
dimana posisi hukum yang berlaku di negeri ini? Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, tentu tidak terlepas dari adanya keseriusan dari lembaga penegak hukum,
baik itu dari pihak kepolisian maupun kejaksaan atau pengadilan sebagai lembaga
yang dipercaya untuk menangani kasus pelanggaran hukum yang terjadi di negeri
ini.
Kesan yang selama
ini menyelimuti opini masyarakat umum terhadap penegak hukum di negeri ini
masih pandang bulu dan subyektif. Hukum akan mudah diselesaikan kalau
tersangkanya adalah masyarakat biasa, sedangkan oknum pejabat atau orang kaya
seolah tidak tersentuh oleh hukum. Ini juga menimbulkan kesan bahwa Negara kita
memiliki hukum yang tegas terhadap rakyat kecil sekaligus sebagai pelindung
bagi koruptor terhadap jeratan hukum.
Bila dampak
yang ditimbulkan dari berbagai kasus korupsi yang terjadi di negeri ini, korupsi
tidak hanya berakibat pada hilangnya begitu banyak uang Negara melainkan juga
rusaknya moralitas bangsa, sehingga tidak lagi bisa membedakan mana yang
dilarang. Korupsi juga tidak hanya memberi umpan dan untuk melakukan korupsi
berikutnya, tetapi juga dalam proses beranak pinak itu korupsi telah melahirkan
generasi korupsi, yang tidak mengenal rasa malu, apalagi keberanian untuk
hara-kiri, kalau melakukan kegiatan pidana korupsi (Musni Umar, dkk, 108:
2004).
Berbagai dampak
yang ditimbulkan akibat korupsi, ini menunjukkan betapa berbahayanya kasus
korupsi yang terjadi di negeri ini. Seharusnya perhatian dan penanganan yang
serius dan sunguh-sungguh dari pemerintah dan para penegak hukum dalam mengatasi
berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Upaya menanggulangi
kasus korupsi yang terjadi, program global melawan korupsi menawarkan tiga
komponen strategi yang dapat dilakukan dalam usaha memberantas korupsi yaitu:
mempelajari tindakan, kerjasama teknis, dan evaluasi (Singgih, 112: 2002). Ini artinya,
dalam upaya memberantas kasus korupsi, itu hendaknya dimulai dengan mengetahui
dan mempelajari terlebih dahulu kriteria tindakan yang termasuk dalam kelompok
korupsi, baru dilanjutnya dengan melakukan kerjasama secara teknis dengan
melibatkan semua elemen, mulai dari pemerintah dan penegak hukum secara umum
dan keterlibatan serta partisipasi dari anggota masyarakat, baru selanjutnya
dilakukan evaluasi, ini untuk mengetahui apakah langkah pertama dan kedua yang
sudah diterapkan mencapai hasil sesuai dengan yang diharapkan atau tidak.
Evaluasi ini juga dijadikan sebagai tolok ukur untuk melakukan tindakan lebih
lanjut.
Penanggulangan
dengan sistim in lebih menekankan kepada proses penanggulangan secara langsung
kepada pihak yang melakukan tindakan korupsi, namun kurang menekankan pada
upaya pencegahan untuk terjadinya tindakan korupsi bagi generasi berikutnya,
yang juga terkena dampak korupsi yang dilakukan oleh oknum yang korupsi sekarang.
Amir Santoso
mengemukakan lima hal yang harus dilakukan dalam upaya mencegah dan menangani
kasus korupsi kalau tidak ingin Indonesia menuju kebangkrutan, yaitu: 1)
memilih presiden yang memiliki kemauan yang kuat untuk memberantas korupsi, 2)
membentuk lembaga legislatif yang anti-korupsi, 3) mengganti secara cepat
aparat penegak hukum (hakim, jaksa, polisi) yang koruptif, 4) memperbaiki sistem
dan struktur administrasi Negara, 5) penanganan di bidang sosial melalui
pendidikan untuk menghilangkan budaya feudal (Musni Umar, dkk, 85-86: 2004).
Penanggulangan
korupsi yang kedua ini lebih efektif, karena bersipat komprehensif. Pengendalian
tidak hanya ditujukan untuk mengatasi masalah korupsi yang sekarang terjadi,
akan tetapi juga mengupayakan pencegahan timbulnya tindakan korupsi yang akan
muncul belakang hari, dari generasi yang sudah tertular virus-virus korupsi
yang terjadi sekarang. Ini terlihat dari adanya penanggulangan yang
memperhatikan penanganan di bidang sosial melalui pendidikan. mengatasi kasus
yang terjdsi saat sekarang ini, dan mencegah timbulnya kasus korupsi baru yang
akan muncul kelak belang hari.
E.
Demonstrasi dan Hukum
Demonstrasi,
ini istilah yang sudah pamiliar dikalangan masyarakat. Mulai dari kalangan berpendidikan
hingga yang tidak mengerti tentang tujuan dari demonstrasi itu sendiri. Hampir
setiap hari diberitakan di media massa yang menyiarkan tentang berbagai aksi
demonstrasi yang di lakukan di berbagai daerah.
Pada dasarnya
demonstrasi ini adalah salah satu bentuk mengekspresikan tuntutan dan harapan
masyrakat terhadap pemerintah, baik yang menyangkut pemenuhan kebutuhan,
penanganan hukum, penyelesaian sengketa, serta berbagai permasalahan yang
menyangkut masyarakat dan pemerintah secara umum sebagai bentuk hubungan
masyarakat dan pemerintah yang menjadi pemegang amanat rakyat.
Lihat kasus
demo yang sering dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat yang menuntut
penegakan hukum terhadap pelaku korupsi, misalnya demo menuntut diusutnya
segera kasus mapia pajak yang baru-baru ini terungkap yang di ungkapkan oleh
Gayus Tambunan, yang sudah ditahan di rumah tahanan markas komando Brimob
Kelapa Dua, masih bisa keluar masuk rutan, bahkan menyaksikan pertandingan
tenis di Nusa Dua Bali (http://www.tempointeraktif.com).
Ini memicu terjadinya demonstrasi yang menuntut agar penegakan hukum secepatnya
dituntaskan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Demonstrasi
juga sering dipicu adanya tuntutan dari masyarakat yang menuntut atas penegakan
hukum secepatnya diselesaikan terkait kasus yang menyebabkan terjadinya
perbuatan amoral dan asusila yang dilakukan oleh oknum artis yang berdampak
besar terhadap moral generasi muda bangsa ini, salah satunya kasus yang
baru-baru ini mencuat di kalangan masayakat yaitu kasus video mesum mirip artis
kembali diwarnai demo oleh para aktivis perempuan. Demo kali ini dilakukan oleh
sekitar 30 orang wanita berjilbab yang terdiri atas pelajar dan mahasiswa.
Mereka mencoba memberikan orasi seputar penolakan pornografi (http://www.kapanlagi.com/).
Demonstrasi
juga dipicu oleh adanya tuntutan masyarakat umum terhadap pemerintah dan
penegak hukum agar menegakkan hukum demi menjamin tuntutan masyarakat yang
menuntut akan hak-hak mereka yang dirugikan oleh sebuah lembaga, seperti kasus Bank
Century yang sampai saat sekarang ini belum jelas ujung pangkal
penyelesaiannya. Ini memicu terjadinya demonstrasi seperti yang dilakukan di
Jawa tengah, seratusan mahasiswa dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
Jateng menggelar aksi unjuk rasa di pertigaan kampus UMS. Mahasiswa menggelar
aksi agar penegak hukum menyelesaikan permasalahan Bank Century. Aksi ini
berakhir ricuh, setelah sempat terjadi bentrok dengan aparat kepolisian (http://www.solopos.com).
Demonstrasi yang
dilakukan di berbagai daerah, tidak jarang menimbulkan pengerusakan benda-benda
dan pasilitas umum serta perkantoran kerap terjadi. Demonstrasi juga sering
menimbulkan korban jiwa, baik dari kalangan masyarakat awam ataupun mahasiswa
yang melakukan demonstrasi, bahkan aparat penegak hukum, yang seharusnya
berperan sebagai pengaman dan pengayom masyarakat dalam menyampaikan
aspirasinya terhadap berbagai phenomena sosial yang terjadi.
Perhatikan kasus
demonstrasi yang terjadi di Bangka, yang berujung pada penembakan seorang
anggota demonstran oleh seorang oknum polisi. Menurut Jatur Sapto Edi, menuntut
supaya aparat berwajib melakukan investigasi terhadap pelaku penembakan yang
menimpa seorang pendemo pada aksi 20 Oktober 2010. Lebih lanjut Tjatur Sapto
Edi menegaskan profesionalme polisi diartikan dengan bagaimana seorang polisi
memperlakukan objek itu dalam kambtibmas secara proporsional. Kalau menembak
itu bisa menghilangkan nyawa orang, pendemo bukan musuh, mereka anak bangsa
yang menyampaikan pikiran dan opininya (http://www.bangkapos.com).
Berbagai aksi
demonstrasi yang terjadi, hampir semuanya menyangkut aspek pengakan hukum, ini
menunjukkan bahwa penegakan hukum di negeri ini masih belum dilaksanakan sesuai
dengan yang diharapkan. Berbagai pelanggaran hukum akan terjadi di negeri ini
selama hukum tidak dibersihkan dari anasi jual-beli keadilan, political
corruption akan selalu membajak keadilan (Denny Indrayana, 74-75: 2008). Keadilan
hanya sebatas mimpi bagi masyarakat biasa dan tameng baja bagi sang penguasa
dan si-beruang.
Berbagai aksi
demonstran yang telah dijelaskan tersebut, terlihat bahwa pada awalnya
demonstrasi itu ditujukan untuk menyampaikan aspirasi serta opini masyarakat
kepada pemerintah. Namun, dalam proses penyampaiannya, sering terjadi ketidak
sesuaian antara apa yang diharapkan dengan yang terjadi di lapangan. Demonstrsi
sering berujung pada pemukululan, pengerusakan, dan penangkapan anggota
demonstran. Ini menghambat tersampaikannya aspirasi yang ingin diunakapkan oleh
masyarakat dan pemerintah tidak dapat mengetahui aspirasi yang ingin
disampaikan tersebut.
Menyikapi
berbagai bentuk pelanggaran yang terjadi saat demonstrasi terjadi, ada beberapa
langkah yang dapat dilakukan, antara lain: 1) demonstrasi dilakukan dengan
pengawalan dari pihak kepolisian, 2) peserta demonstran tidak diperbolehkan
membawa barang-barang yang dapat menimbulkan berbagai bentuk tindakan anarkis
seperti pengrusakan, dan pemukulan, 3) para pejabat yang ditujukan untuk
menyampaikan aspirasi pendemo, hendaknya menemui pendemo dan melakukan dialog untuk
menyelesaikan masalah, 4) penegak hukum hendaknya tetap melakukan kordinasi
secara intensif terhadap penanggung jawab demonstran. Kedepan, diharapkan tidak
ada lagi yang namanya pemukulan, pengrusakan, korbanjiwa dan berbagai tindakan
kriminal lainnya, aspirasi masyrakat dapat tersalurkan dan dapat segera
dicarikan solusi pemecahannya.
F.
Hukum dan Pendidikan Karakter (Moral)
Pendidikan
nasional bertujuan untuk terciptanya pembangunan manusia seutuhnya. Ini
artinya, pendidikan kedepan diharapkan akan mampu membentuk manusia yang tidak
hanya cerdas IQ, dan EQ, yang selama ini terjadi, sehingga timbul kemerosotan
moral bangsa, yang mencerminkan bentuk kegagalan dari pendidikan. Untuk itu,
dikembangkan pendidikan karakter (moral) sebagai bentuk kecederdasan SQ.
Bangsa
Indonesia sekarang ini mengalami krisis moral. Menurut Asri Budiningsih (1:
2004) masyarakat Indonesia saat ini mengalami perubahan tatanan yang ditandai
dengan berbagai tindakan dan sikap yang muncul, berupa: 1) Makin jarang dan
rendahnya kualitas, kominikasi antara orang tua dan anaknya, antara lain akibat
semakin meningkatnya jumlah orang tua yang bekerja di luar rumah untuk memenuhi
kebutuhan hidup yang semakin maju; 2) Norma dan kehidupan masyarakat yang
bercirikan ketidakdisiplinan dan kesemrawutan tatanan kehidupan yang ril serta
berbagai penyimpangan nilai moral.
Berbagai tindakan
amoral semakin merebak di kalangan remaja, bukan hanya di daerah perkotaan
tetapi juga sampai pada daerah pelosok negeri ini. Pembunuhan, perampokan,
pemerkosaan, penipuan, pengkonsumsian obat-obatan terlarang dikalangan pelajar
pun sering terjadi. Ini menggambarkan betapa hancurnya moral generasi muda
Indonesia saat sekarang ini.
Kemerosotan
moral dewasa ini sudah benar-benar menjadi permasalah yang sangat krusial.
Kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong-menolong, dan kasih saying sudah
tertutup oleh penyelewengan, penipuan, penindasan, saling menjegal, dan saling
merugikan. Banyak terjadi adu domba dan fitnah, menjilat, menipu, mengambil hak
orang lain sesuka hati, dan perbuatan-perbuatan maksiat lainnya.
Kemerosotan moral
sudah merebak di kalangan siswa yang seharusnya diharapkan akan dapat menjadi
tunas-tunas muda bangsa yang diharapkan akan dapat menjadi penerus perjuangan
keadilan, membela kebenaran, dan penerus bangssa yang bertanggung jawab
terhadap sesama manusia dan Tuhan yang Maha Kuasa. Menurut Thomas Lickona
(Darmiyati Zuchdi, dkk, 38: 2009), ada sepuluh tanda dari perilaku manusia yang
menunjukkan arah kerancuran suatu bangsa yakni:
a.
Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja
b.
Ketidakjujuran yang membudaya
c.
Semakin
tingginya rasa tidak hormat kepada orang tua, pendidik dan figur pemimpin
d.
Pengaruh peer group terhadap tindakan
kekerasan
e.
Meningkatnya kecurigaan dan kebencian
f.
Penggunaan bahasa yang memburuk
g.
Penurunan etos kerja
h.
Menurunnya rasa tanggung jawab individu dan
warga Negara
i.
Meningkatnya perilaku merusak diri
j.
Semakin buruknya pedoman moral
Kesepuluh
tanda kehancuran bangsa yang dikemukakan oleh Lickona tersebut, hampir semuanya
terjadi di Negara Indonesia saat sekarang ini. Pendidikan sebagai kebutuhan
hakiki, diharapkan akan dapat berperan secara maksimal untuk mengatasi masalah
yang mengancam kehancuran bangsa Indonesia.
Pendidikan
dapat dijadikan sarana membangun kualitas sumber daya manusia, meningkatkan
kesejahteraan manusia serta persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan status
sosial, citra, dan derajat manusia, meningkatkan iman dan takwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, mencerdaskan, memperbaiki etika, estetika, moral, budi pekerti,
dan membentuk akhlak masyarakat (Haris Supratno: 2008). Pendidikan merupakan
tumpuan harapan yang diharapkan akan dapat memperbaiki kemerosotan moral bangsa
Indonesia yang terjadi saat sekarang ini.
Pat Duffy
Hutcheon (68: 1999) mencoba memberikan gambaran bagaimana penyimpangan sosial
itu dapat dihambat dengan adanya sosialisasi yang tepat, ia mengatakan “In
the vast majority of cases, anti-social propensities can be inhibited and
overlaid by appropriate socialization. Generally, it is safe to say that it is
what happens to us from the moment of conception that weighs most heavily on
all aspects of human development: moral, emotional, intellectual and even
physical” disini ditekankan bagaimana semua aspek kecerdasan itu dibangun,
mulai dari moral, emosional, intelektual dan bahkan fisik, untuk dapat
berinteraksi dengan lingkungan.
Dalam
berinteraksi dengan lingkungan, tentunya tidak terlepas dari tumpuan dasar yang
universal the basics of living values (BLV). Ini mencakup dasar-dasar
nilai kehidupan seperti kebebasan, kejujuran, tanggung jawab, sederhana,
perdamaian, toleransi, kepekaan sosial, demokrasi, percaya diri, gotong royong,
disiplin, saling menghormati, dan religi atau bermoral (Rohmat, 254-256: 2010).
Ini menunjukkan bahwa pendidikan yang seutuhnya itu mencakup tiga aspek
pengetahuan manusia yaitu IQ, EQ, dan SQ. Kesemuanya itu dapat dicapai dengan
penerapan pendidikan karakter.
Melalui
pendidikan karakter, diharapkan berbagai permasalahan moral yang terjadi dapat
dicarikan solusinya, setidaknya dapat dikurangi untuk jangka panjang.
Pendidikan karakter, bertujuan mengarahkan agar siswa mampu menyadari tugas
serta kewajibannya sebagai seorang manusia, baik dalam konteks individu maupun
secara sosial masyarakat. Ini juga menyangkut bagaimana siswa itu taat pada
aturan hukum yang berlaku, baik itu hukum Negara juga hukum masyarakat yang
berlaku di daerah sekitar tempat tinggal.
G.
Kesimpulan
Dalam
kehidupan sehari-hari diperlukan adanya hukum yang jelas untuk menciptakan
kehidupan yang sejahtera. Definisi hukum banyak dikemukakan para ahli namu
kesemuanya itu mengandung beberapa persamaan pada unsur-unsurnya, yaitu:
a.
Adanya peraturan dantingkah laku manusia.
b.
Peraturan itu dibuat oleh badan-badan resmi
yang berwajib.
c.
Hukum itu bersifat memaksa.
d.
Adanya sanksi bagi yang melakukan pelanggaran
hukum.
Dalam penerapan hukum seringkali
masih pandang bulu terhadap siapa hukum itu diberlakukan. Penegakan hukum juga
sering terkesan tidak tegas, sehingga hal ini menimbulkan aksi demonstrasi
terjadi di berbagai daerah. Untuk mengatasi hal-hal tersebut, pendidikan
karakter diharapkan sebagai salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
_____.(2008). Kamus bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen pendidikan
nasional.
Asri
Budiningsih. (2004). Pembangunan moral berpijak pada karakteristik siswa dan
budaya. Jakarta: Rineka Cipta.
Bahtiar
Marpaung. (2007). Aspek Hukum Pemberantasan Terorisme di Indonesia.
Jurnal Equality, Vol. 12 No. 2 Agustus 2007.
Darmiyati
Zuchdi, dkk. (2009). Pendidikan karakter. Yogyakarta: UNY Press.
Daryanto S.S.
(1997). Kamus bahasa Indonesia lengkap.
Surabaya: Apollo.
Denny Indrayana. (2008). Negeri
para Mafioso, hukum di sarang koruptor. Jakarta: Kompas.
Haris
Supratno. (2008). Pendidikan yang mengakhlakkan. Diambil pada tanggal 26
Juli 2010, dari http://www.klubguru.com
Hasanuddin.
(2004). Pengantar ilmu hukum.Jakarta: Pustaka Al-husna Baru.
http://koranbaru.com/20kasuskorupsi
mangkrak dimabespolri yang dikumpulkan icw/ diambil tgl. 13 Novembr 2010.
Hanifah
Hidayat Noor. (2010). Proses hukum
rasminah sesuai ketentuan. Diambil pada tgl 13 November 2010, dari http://megapolitan.kompas.com/
R. Soeroso.
(2010). Konsultasi hukum, definisi hukum. Diambil pada tgl 13 November 2010,
dari http://www.asiamaya.com/
Tjatur Sapto
Edi. (2010). Pelanggaran hukum dituntaskan di pengadilan. Diambil pada tgl 20
November 2010 dari http://www.bangkapos.com
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4cda8b59548a6/gayuskeluarutansusno-dan-wiliardi-ikut-diperiksa
diambil pada tgl 13 November 2010.
http://www.kapanlagi.com/showbiz/selebriti/pelajar-demo-
tuntutarielditangkap. html. Diambil tgl. 20
Novembr 2010.
http://www.solopos.com/2010/sukoharjo/aksi-demo-century-di-ums-ricuh-16493.
Diambil tgl. 20 Novembr 2010.
Irgan Chairul
Mahfidz. (2010). Aktor di balik
nglencernya gayus harus diusut. Diambil tgl. 20
Novembr 2010 dari http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum.
Marzuki.
(2010). Islam, jihad dan terorisme. Pointer makalah disampaikan pada focused
group discussion di Fakultas Ilmu Pendidikan UNY, Sabtu, 9 Oktober 2010.
Musni Umar.
(2004). Korupsi musuh bersama. Jakarta:
Lembaga Pencegah Korupsi.
Pat
Duffy Hutcheon. (1999). Building character and culture. USA: An imprint
of Greenwood Publishing Group.
Rohmat.
(2010). Urgensi membaca dengan IQ, EQ, dan SQ untuk pembangunan manusia dalam
pendidikan Islam. Jurnal Studi Agama Millah. Vol.IX, No. 2, Februari
2010. Yogyakarta: Fakultas IAI Pascasarjana UII.
S.T.
Marbun. (1987). Pokok-pokok hukum
adminitrasi Negara. Jogjakarta: Liberti.
Singgih.
(2002). Dunia pun memerangi korupsi. Pusat studi hukum bisnis
Universitas Pelita Harapan: Tangerang.
Sudikno Mertokusumo. (2004). Penemuan hukum sebuah pengantar.
Jogjakarta: Liberti.
Theo
Huijbers. (1995). Filsafat hukum. Jogjakarta: Kanisius.
0 komentar:
Posting Komentar