Headlines News :
Home » » Urgensi Hukum dan Pendidikan Karakter

Urgensi Hukum dan Pendidikan Karakter

Written By mikailahaninda.blogspot.com on Selasa, 24 Maret 2015 | 07.32


 Urgensi Hukum dan Pendidikan Karakter
Dalam Penanganan Kasus Terorisme, Korupsi dan Demonstrasi

Abstrak: Manusia adalah makhluk sosial. Ini artinya manusia itu tidak bisa terlepas dari peran orang lain di sekitarnya. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sering terjadi ketidak sesuaian antara yang diharapkan. Ini bisa disebabkan oleh faktor dari orang lain dan juga dari diri pribadi itu sendiri. Akibatnya, berbagai bentuk pelanggaran pun kerap terjadi, mulai dari pelanggaran hukum hingga pelanggaran nilai asosila dan moral. Untuk mengatasi masalah yang dihadapi, pendidikan karakter diharapkan sebagai salah satu solusi penanganan akar masalah yang dihadapi manusia.
Kata kunci: Hukum, Terorisme, Korupsi, Demonstrasi, dan Pendidikan Karakter.
A.    Latar belakang
Manusia sebagai mahluk sosial, tentu tidak terlepas dari berbagai bentuk hubungan dalam kehidupan sehari-hari, baik itu hubungan politik, ekonomi, sosial, budaya dan hukum. Baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat suatu bangsa. Hubungan tersebut akan saling berkaitan satu dengan yang lainnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang ingin berusaha untuk mendapatkan kebahagiaan dan keharmonisan. Untuk itu, diperlukan adanya sebuah aturan hukum yang dapat dijadikan sebagai pegangan atau pengendali dalam berbagai tindakan yang dilakukan. Dalam kehidupan sehari-hari hukum itu harus dikaitkan dengan kehidupan sosial, karena hukum pertama-tama dijadikan sebagai alat penataan hidup sosial (Theo Huijbers, 39: 1995).
Fakta yang terjadi di masyarakat seringkali hukum itu diperlakukan bukan pada tempatnya atau sesuai tujuan yang diharapkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Penerapan hukum masih sering pandang bulu. Lihat berbagai kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh para oknum pejabat yang korup uang Negara, mereka seolah tidak tersentuh oleh hukum, mereka masih bisa tersenyum lebar meski sudah jelas-jelas terbukti melakukan melakukan kesalahan.
Masih ingat berita tentang pengakuan Susno Duaji? Tentang adanya kasus MARKUS, yang ada di tubuh Kapolri, yang sudah menyeret beberapa aparat penegak hukum harus mendekam di dalam tahanan. Lihat juga kasus Mapia Pajak Gayus Tambunan, yang mencoreng wajah dinas perpajakan. Itu adalah beberapa kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh oknum pejabat dan penegak hukum hukum, yang seharusnya menjadi teladan hukum bagi masyarakat.
Perlakuan hukum yang secara subyektif oleh penegak hukum dalam menerapkan sebuah hukum akan cepat terselesaikan bila itu pelakunya masyarakat biasa. Sebagai contoh: Lihat kasus seorang nenek minah baru-baru ini yang tertuduh mencuri dua buah buah coklat, harus mendekam di tahanan. Lihat juga kasus seorang petani di jawa timur yang mencuri sebuah semangka yang berujung pada penahanan di rutan. Kasus yang sama juga terjadi pada  Rasminah, yang tertuduh melakukan pencurian 6 piring dan sup buntut ditahan 4 bulan (Kompas.com. Rabu, 13 Oktober 2010). Dan masih banyak lagi kasus hukum yang dapat dijadikan contoh betapa mudahnya sebuah hukum dijatuhkan kepada seorang rakyat yang buta hukum. Sedangkan para koruptor uang Negara yang bernilai miliaran rupiah dengan mudahnya bisa bebas.
Berbagai kasus penegakan hukum yang tidak sesuai dengan yang diharapkan masyarakat terhadap para pelanggar hukum, sering berujung pada terjadinya berbagai bentuk aksi demonstrasi yang dilakukan dengan tujuan untuk menunjukkan protes dan penyaluran aspirasi atas berbagai permasalahan yang terjadi.
Menyikapi krisis moral yang terjadi di Negara ini, sebagai bangsa yang bermartabad dan berketuhanan, tentu tidak ingin generasi berikutnya mengalami hal yang sama bahkan lebih buruk dari apa yang terjadi sekarang. Untuk itu, perlu dilakukan penanaman berbagai bentuk pewarisan budaya yang bernilai positif, seperti mendidik generasi berikutnya mengenai nilai-moral, mengajarkan bagaimana bersikap serta bertindak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bagaimana berusaha untuk menaati peratuhan serta hukum yang berlaku. Kesemuanya itu dapat dilakukan salah satunya melalui dunia pendidika sekolah sebagai salah satu lembaga pendidika formal.
B.     Pengertian hukum
Hukum merupakan suatu tatanan atau aturan yang utuh, yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lain mengenai kaidah atau pernyataan tentang apa saja, sehingga hukum merupakan sistem yang bersifat normatif. Dengan kata lain, hukum adalah suatu kumpulan unsur-unsur yang ada dalam interaksi satu sama lain dan merupakan satu kesatuan yang terorganisasi untuk mencapai kerjasama kearah tujuan kesatuan (Sudikno Mertokusumo, 18: 2004).
Hukum menurut substansinya adalah undang-undang yang mengikat perilaku setiap masyarakat tertentu, atau peraturan yang dibuat dan disepakati baik secara tertulis maupun tidak tertulis (Daryanto, 271: 1997). Dalam Kamus bahasa Indonesia hukum diartikan sebagai: 1) peraturan yang dibuat oleh penguasa (pemerintah) atau adat yang berlaku bagi semua orang dalam suatu masyarakat (negara); 2) undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat: 3) keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan) vonis (Kamus Bahasa Indonesia, 351: 2008). Pada pengertian ini hukum lebih dimaknai sebagai sebuah aturan yang diberlakukan dalam kehidupan sehari-hari, baik yang tertulis ataupun tidak tertulis untuk mengatur perilaku setiap anggota masyarakat.
Hukum juga didefenisikan sebagai suatu sistem konseptual aturan hukum dan putusan hukum, atau bahan-bahan ilmu hukum yang secara sistematik adalah suatu kebulatan susunan atau keseluruhan yang kompleks dan terorganisir (S.T. Marbun, 19: 1987). Pada definisi ini, hukum masih terbatas pada aturan-aturan, namun tidak disinggung yang menjadi oyek dari hukum itu sendiri.
Hasanuddin (1-2: 2004) menjelaskan beberapa definisi hukum yang dikemukakan oleh para ahli, yaitu:
a.        Menurut Meyers, hukum ialah semua aturan yang mengadung pertimbangan kesusilaan, ditunjukkan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat yang menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya. Definisi ini lebih menekankan hukum pada obyek yang menerapkannya yaitu para penguasa.
b.      Menurut Leon Dugit, hukum ialah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya apda saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan jika dilanggar menimbulkan rekasi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu. Definisi ini lebih bersifat umum dari yang diungkapkan Meyers, disini hukum menyangkut semua anggota masayakat tanpa terkecuali, yang menekankan pada penjaminan atas kepentingan bersama.
c.       Menurut Immanuel Kant, hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang lain menuruti asas tentang kemerdekaan. Definisi ini mengarah pada penjaminan hak asasi tiap manusia, untuk terbebas dari pengaruh orang lain.
d.      Menurut Utrecht, hukum ialah himpunan peraturan (perintah dan larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan oleh karena itu harus ditaati oleh masyarakat tersebut. Definisi ini menekankan bagaimana hukum itu diterapkan dengan menekankan penerapannya dalam bentuk perintah dan larangan serta sangsi bagi yang melanggar hukum tersebut.
Berbagai definisi hukum yang dikemukakan para ahli, terdapat perbedaan dalam menafsirkan hukum. Ini tergantung dari sudut mana hukum itu dipandang. Kesemua definisi hukum yang dikemukakan para ahli tersebut, memiliki persamaan pada unsur-unsurnya, yaitu:
a.       Adanya peraturan dantingkah laku manusia.
b.      Peraturan itu dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib.
c.       Hukum itu bersifat memaksa.
d.      Adanya sanksi bagi yang melakukan pelanggaran hukum.
C.    Hukum dan terorisme
Terorisme, ini merupakan istilah yang sudah tidak asing, baik dikalangan masyarakat tingkat nasional, bahkan hingga tingkat internasional. Berbagai aksi pengeboman hotel dan gedung, tempat hiburan dan lain sebagainya merupakan bagian dari aksi yang dilancarkan oleh para teroris. Meski sampai sekarang ini penafsiran istilah terorisme itu mah berbeda-beda menurut para ahli, tergantung dari segi mana terorisme itu dipandang.
Marzuki (3: 2010) mencoba mendefinisikan terorisme sebagai bentuk melawan hukum atau tindakan yang mengandung ancaman dengan kekerasan dan paksaan terhadap individu atau hak milik untuk memaksakan atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dengan tujuan politik, agama dan ideology. Lebih lanjut, terorisme juga dapat diartikan sebagai bentuk tindakan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berlatar belakang politik atau kekuasaan dalam suatu pemerintahan Negara.
Berdasarkan usulan dari konsensus akademis tahun 1999, yang ditetapkan United Nations General Assembly, mendefinisikan terorisme sebagai berikut:
Terorism is an anxiety-inspiring method of repeated violent action, employed by (semi) clandestine individual, group or state actors, for idiosyncratic, criminal or political reasons, whereby in contrast to assassination the direct targets of attacks are not the main targets. The immediate human victims of violence are generally chosen randomly (targets of opportunity) or selectively (representative of symbolic targets) form a target population, and serve as message generators. Threat and violence based communication processes between terorist (organization), (imperiled) victims, and main targets are used to manipulate the main target (audiences), turning it into a target of terror, a target of demands, or a target of attention, depending on whether intimidation, coercion, or propaganda is primarily sought (Bahtiar Marpaung, 123: 2007).

Sedikitnya ada tiga elemen yang harus dipenuhi untuk dapat memenuhi unsur definisi di atas, yaitu motif politik, rencana atau niat, dan penggunaan kekerasan. Teroris tampaknya adalah seorang pribadi narsistis, dingin secara emosional, asketis, kaku, fanatis. Tipe personalitas “prateroris” ini cocok dengan gerakan totaliter/sistem tertutup/sekte. Ini sering kita lihat pada pelaku terorisme di Indonesia, pelakunya adalah para tokoh yang panatis, dan sistemnya tertutup.
Dari definisi tersebut, terlihat adanya elemen yang dasar yang melatarbelakangi timbulnya aksi terorisme, yaitu politik, ekonomi, sosial, bahkan dari aspek keagamaan yang salah ditafsirkan. Selanjutnya elemen tersebut menimbulkan niat untuk melakukan berbagai tindakan kekerasan, sebagai bentuk pelampiasan tujuan, hingga akhirnya harus berurusan dengan hukum.
Sedangkan tujuan-tujuan terorisme menurut Hardiman (Bahtiar Marpaung, 122: 2007) yaitu: (1) Mempublikasi suatu alasan lewat aksi kekejaman, karena hanya lewat aksi semacam itu publikasi yang cepat dan massif dimungkinkan;  (2) Aksi balas dendam terhadap rekan atau anggota kelompok; (3)Katalisator bagi militerisasi atau mobilisasi massa; (4) Menebar kebencian dan konflik interkomunal; (5) Mengumumkan musuh atau kambing hitam; (6) Menciptakan iklim panik massa, menghacurkan kepercayaan publik terhadap pemerintah dan polisi.
Beberapa bentuk nyata aksi terotisme yang pernah terjadi di Indonesia diantaranya Peledakan di Kuta Bali  12-10-2002, Peledakan di Manado  November 2002, Peledakan di McDonald Makasar  05-12-2002, Peledakan di Hotel JW. Marriot Jakarta 05-08-2003, Peledakan di depan Kedubes Australia, Jakarta,  09-09-2004, Peledakan bom Bali II  01- 10 – 2005, dan berbagai aksi teror lainnya yang tidak jarang menimbulkan korban jiwa dan kerugian material.
Kekerasan (terrorism) tersebut diartikan sebagai cara (means) atau senjata bagi kelompok yang lemah untuk melawan kelompok yang kuat atau suatu cara bagi kelompok tertentu untuk mencapai tujuan dan selanjutnya dapat diartikan sebagai: (a) Cara kelompok miskin untuk meminta perhatian kelompok si kaya, (b) Cara kelompok yang dimarjinalkan terhadap kelompok yang diuntungkan, (c) Cara kelompok yang tertekan terhadap kelompok yang arogan, (d) Cara kelompok yang dimusuhi, diblokade, diembargo, diperlakukan tidak adil, dan sebagainya (Bahtiar Marpaung, 123: 2007).
Mengingat berbagai kasus terorisme yang terjadi selama ini, diperlukan adanya perangkat hukum yang jelas untuk mengatasinya. Menurut Gayus Lumbun, dengan adanya perangkat hukum dalam penindakan terorisme, kekhawatiran akan disalahgunakannya oleh aparat pemegang kekuasaan tertentu atau untuk mengikuti kehendak dan kepentingan suatu golongan, tidaklah berasalan untuk tetap membiarkan adanya kekosongan hukum tentang pemberantasan terorisme (Bahtiar Marpaung, 126: 2007).
Melihat berbagai bentuk dasar yang melatarbelakangi timbulnya tindakan terorisme, maka penanganannya pun memerlukan cara yang komprehensif. Penanganan kasus terorisme ini hendaknya dilakukan dengan melakukan kerja sama antar semua lembaga, dan masyarakat. Ini bisa dilakukan dengan dua langkah, yaitu: a) mencegah teroris itu dengan memutus rantai regenerasinya, yaitu dengan memberikan pendidikan anti terorisme pada tingkat sekolah, b) menangkap secara langsung para pelaku terorisme tersebut, untuk dibina.
Selama ini penanganan kasus terorisme hanya dilakukan dengan langkah kedua yaitu menangkap pelaku terorisme itu secara langsung, sementara pendekatan pemutusan rantai regerasi belum dilakukan. Ini menyebabkan permasalahan terorisme itu tidak bisa hilang sama sekali, ketika yang tertangkap dipenjara dan dihukum mati, generasinya mengambil alih pimpinan pergerakan.
D.    Hukum dan Koruptor
Bangsa Indonesia sekarang ini dilanda krisis multidimensi. Tidak hanya krisis ekonomi, politik dan hukum, akan tetapi juga mengalami krisis moral dan kepercayaan. Krisis moral dan kepercayaan memberi andil yang besar terhadap berbagai permasalah yang sekarang dihadapi bangsa ini. Mulai dari dari kaum intelek dan pigur seorang pemimpin hingga siswa Sekolah Dasar mengalami krisis moral.
Krisis moral yang terjadi pada diri tokoh atau para pejabat yang memiliki jabatan, menurut Kwik Kian Gie berakar pada KKN, dia memaknakan KKN sebagai akar dari praktis semua permasalahan bangsa yang sedang kita hadapi dewasa ini (Musni Umar, dkk, 1: 2004). Dampak KKN ini sangat luas, tidak hanya terbatas pada mencari uang, tetapi lambat laun juga merusak mental, moral, tata nilai, bahkan cara berfikir. Pada akhirnya lambat laun akan membuat orang sulit untuk membedakan yang benar dan yang salah bahkan menjadikan KKN seolah-olah suatuhal yang lumrah dan menjadi tradisi.
Untuk memahami tentang koruptor ini, terlebih dahulu kita mengetahui definisi dari korupsi itu sendiri. Bang Dunia mendefinisikan korupsi the abuse of public office, yaitu yaitu penyalah-gunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi atau kelompok (Musni Umar, dkk, 64: 2004). Definisi ini tidak secara spesifik menyebutkan bentuk korupsi tersebut. Korupsi dipandang secara umum dari segi penyalahgunaan jabatan atau wewenang yang menguntungkan diri pribadi atau kelompoknya.
Syaed Hussein Alatas (Musni Umar, dkk, 65-66: 2004), seorang sosioloh terkemuka Malaysia mencoba mengidentifikasi macam-macam bentuk korupsi, yaitu:
a.       Transactive corruption: adalah bentuk korupsi yang dilakukan secara aktif oleh dua pihak dalam bentuk suap dimana yang memberi dan menerima saling bekerja sama untuk memperoleh keuntungan bersama.
b.      Extortive corruption: adalah penguatan paksa penjabat sebagai pembayaran jasa yang diberikan kepada pihak luar. Ini merupakan bentuk korupsi yang dipaksakan oleh satu pihak kepada pihak lain, sehingga ini lebih bersifat pemaksaan.
c.       Investive corruption: ini adalah pemberian yang diberikan pihak luar kepada penjabat, bukan untuk mendapat balas jasa sekarang, tetapi untuk memperoleh kemudahan fasilitas dan keuntungan dimasa mendatang. Disini korupsi lebih bersifat penanaman jasa (hutang budi) sehingga hasil dari korupsi tersebut akan diperoleh dikemudian hari.
d.      Nepotistic corruption: ini berhubungan dengan pemberian rente ekonomi atau pengangkatan jabatan publik kepada family atau teman. Korupsi bentuk ini lebih bersifat untuk memperoleh keuntungan pribadi dan kelompok, hasilnya bisa berupa balas jasa untuk waktu yang akan datang.
e.       Autogenic corruption: ini bentuk korupsi yang terjadi sebagai balas jasa bila seseorang penjabat memberi informasi dari dalam kepada pihak luar dalam bentuk suap. Ini lebih bersifat memanfaatkan persaingan antar pihak luar yang berkepentingan oleh penjabat yang memiliki informasi atau wewenang atas informasi yang dibutuhkan pihak luar.
f.       Supportive corruption: ini adalah korupsi yang dilakukan secara berkelompok dan terorganisir dalam suatu bagian atau divisi dengan tujuan untuk melindungi dan mempertahankan praktek korupsi yang mereka lakukan secara kolektif.
Semua bentuk korupsi yang dijelaskan di atas, bentuk yang terakhir ini merupakan bentuk korupsi yang paling berbahaya, sebab ini akan sulit terdeteksi oleh pihak luar kelompok mereka. Sehingga korupsi bentuk Supportive corruption ini cenderung berlangsung lama dan terorganisir secara rapi.
Diliht dari bentuk implementasinya yang mempunyai dampak langsung bagi perekonomian satu Negara, Musni Umar dkk, (66-68: 2004) menggolongkan korupsi menjadi:
1)      Pencurian aset Negara (pillaging of state assets): ini merupakan bentuk korupsi aset Negara oleh oknum pejabat yang berwenang disebabkan kurangnya pengontrolan atas aset Negara yang ada dan sistim administrasi yang lemah, sehingga tidak jarang ditemui asset Negara yang hilang tidak diketahui keberadaannya atau penggunaannya.
2)      Distorsi anggara belanja pemerintah: ini merupakan bentuk korupsi anggaran belanja pemerintah yang dilakukan oleh oknum pemerintah itu sendiri, dimana ketika pemerintah mengeluarkan APBN untuk sebuah proyek mengalami distorsi karena adanya mark-up oleh oknum pejabat yang berwenang untuk suatu proyek. Sehingga pembengkakan biaya sutu proyek yang dikeluarkan pemerintah masuk kantong sang koruptor. Distorsi ini juga sering terjadi pada sebuah proyek yang diada-adakan padahal kenyataannya tidak ada, sehingga kerugian Negara akan bertambah. Distorsi ini juga terjadi pada saat petugas pajak kolusi dengan wajib pajak, sehingga dengan demikian penerimaan Negara berkurang dari yang semestinya diterima.
3)       Patronisme: korupsi ini terjadi bila seseorang penjabat memperoleh jabatan politik dengan memberi imbalan materi kepada pendukungnya. Ini juga sering disebut dengan istilah money polics. Ini sering terjadi pada waktu pemilihan pejabat pemerintah seperti pilpres, pilkada, dll.
4)      Kronisme: korupsi ini terjadi dima pengangkatan jabatan public dan pemberian hak-hak ekonomi didasarkan atas hubungan family, dan hubungan perkoncoan atau organisasi (partae atau politik).
Dari beberapa definisi dan penggolongan korupsi yang telah dijelaskan di atas, semuanya itu terjadi di Indonesia sampai saat sekarang ini. Hal ini terlihat dari berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh para tokoh, oknum pejabat, bahkan oknum penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum. Berbagai kasus korupsi yang dilakukan oknum pejabat. Mulai dari pejabat tingkat tinggi hingga pejabat daerah, bahkan pejabat desa ikut-ikutan korupsi.
Baru-baru ini pemerintah Indonesia ribut terkait kasus Bank Century, kasus korupsi perpajakan yang didalangi oleh Gayus Tambunan, kasus korupsi beberapa pejabat kepolisian yang terkait isu mapia hukum yang dihembuskan oleh Komjen Susno Duaji, dan sederatan kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum pemerintah dan penegak hukum yang menyebabkan kerugian Negara hingga triliunan Rupiah.
Salah seorang anggota dari Indonesia Corruption Watch (ICW) membeberkan data kasus korupsi dari tahun 2002 hingga 2009. Data itu menyebut 20 kasus korupsi kelas kakap yang tengah diurus Mabes Polri tetapi mangkrak begitu saja. Bila ditotal, nilai kerugian dari 20 kasus itu saja tidak kurang dari Rp 1.500 miliar (http://koranbaru.com). Berikut 20 daftar kasus mangkrak yang berhasil dikumpulkan ICW:
1.      Kasus PT Jamsostek (2002). Kerugian mencapai Rp 45 miliar. Mantan Dirut PT Jamsostek Akmal Husein dan mantan Dirut Keuangan Horas Simatupang telah ditetapkan sebagai tersangka.
2.      Proyek fiktif dan manipulasi data di PT Darma Niaga (2003). Kerugian mencapai Rp 70 miliar. Polisi telah tetapkan sebagai tersangka Winarto (direktur utama), Wahyu Sarjono (direktur keuangan), dan Sudadi Martodirekso (direktur agrobisnis).
3.      Penyalahgunaan rekening 502 (2003). Kerugian mencapai Rp 20,98 miliar. Telah ditetapkan sebagai tersangka mantan Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin, mantan Ketua BPPN Putu Gede Ary Suta, mantan Ketua BPPN Cacuk Sudaryanto dan Kepala Divisi Bill of Lading (B/L) Totok Budiarso. 
4.      Karaha Bodas Company (2004).  Kerugian mencapai Rp 50 miliar. Jumlah tersangka ada 20 orang dari pejabat Panas Bumi Pertamina dan pihak swasta. Beberapa dintaranya Robert D. Mac Chunchen, Suprianto Kepala (Divisi Geotermal Pertamina), Syafei Sulaeman (staf Divisi Geotermal Pertamina). Hanya 2 yang telah dilimpahkan ke pengadilan.
5.      Kepemilikan rumah mantan Jaksa Agung, MA Rachman (2004).  Rumah senilai 800 juta belum dilaporkan ke KPKPN. Beberapa orang dipanggil sebagai saksi.
6.      Pengadaaan genset di NAD (2004). Kerugian mencapai Rp 40 miliar. Mabes polri telah tetapkan Wiliam Taylor dan Abdullah Puteh sebagai tersangka. Hanya Wiliam yang dilimpahkan ke pengadilan. Sedangkan Abdullah Puteh, proses hukum selanjutnya tidak jelas.  Puteh hanya dijerat dalam kasus korupsi pengadaan Heli dan divonis 10 tahun penjara oleh pengadilan tipikor.
7.      Penyewaan crane atau alat bongkar muat kontainer di PT Jakarta International Container Terminal (JICT) tahun 2005.  Kerugian mencapai Rp 83,7 miliar. Direktur PT Jakarta International Container Terminal Wibowo S Wirjawan telah ditetapkan sebagai tersangka.
8.      Proyek peningkatan akademik di Departemen Pendidikan Nasional (2005). Kerugian mencapai Rp 6 miliar. Ditetapkan tiga tersangka utama adalah Dedi Abdul Halim, Pimpinan Bagian Proyek Peningkatan Tenaga Akademis di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, dan dua stafnya, yakni Elan Suherlan dan Helmin Untung Rintinton.
9.      Proyek pengadaan jaringan radio komunikasi (jarkom) dan alat komunikasi (alkom) Mabes Polri (2005). Kerugian ditaksir mencapai Rp 240 miliar.  Mabes telah tetapkan Henri Siahaan sebagai tersangka dan sempat ditahan.
10.  Penyaluran dana fiktif di Perusahaan Umum Percetakkan Uang Republik Indonesia (Peruri) tahun 2005. Kerugian ditaksir mencapai Rp 2,3 miliar.  Tiga orang Direksi Peruri telah ditetapkan sebagai tersangka (M. Koesnan Martono yang menjabat sebagai Direktur Utama, Direktur Logistik Marlan Arif, dan Direktur Pemasaran Suparman).
11.  Dana vaksinasi dan asuransi perjalanan jamaah haji periode 2002-2005 (2005).  Kerugian ditaksir mencapai Rp 12 miliar. Penyidik telah memeriksa 15 orang saksi.
12.  Proyek renovasi Hotel Patra Jasa di Bali (2006).  Kerugian ditaksir mencapai Rp 69 miliar. Polda Metro Jaya menetapkan tujuh tersangka mantan Direktur Utama, Sri Meitono Purbowo atau Tony Purbowo, enam direksi lainnya ditetapkan sebagai tersangka.
13.  Wesel Ekspor Berjangka (WEB) Unibank tahun 2006.  Kerugian ditaksir mencapai US$ 230 juta.  Diduga  melibatkan Komisaris PT Raja Garuda Mas, ST, Proses dilakukan oleh tim gabungan Mabes Polri dengan Kejaksaan Agung (Kejagung).
14.  Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Muara Tawar, Bekasi, Jawa Barat senilai Rp 590 miliar pada tahun 2006.  Mantan Direktur Utama PT PLN Eddie Widiono telah ditetapkan sebagai tersangka. Eddi Widiono juga dijerat dalam kasus korupsi proyek PLTU Borang, namun kasusnya dihentikan oleh Kejaksaan.
15.  BPR Tripanca Setiadana Lampung pada tahun 2008.  Mabes telah tetapkan sebagai tersangka pemilik BPR. Sugiarto Wiharjo alias Alay, Laila Fang (sekretaris pribadi Alay), Yanto Yunus (Kabag Perkreditan BPR Tripanca), Pudijono (Direktur Utama BPR), Indra Prasetya dan Fredi Chandra (staf analisis kredit BPR), Nini Maria (Kasi Administrasi BPR), dan Tri hartono (Bagian Legal BPR).
16.  Dana Tak Tersangka (DTT) di Provinsi Maluku Utara (2008) senilai Rp 6,9 miliar.  Diduga melibatkan sejumlah pejabat dan mantan gubernur di lingkup pemerintah provinsi Maluku Utara (Malut). Sebelumnya ditangani Polda Malut dan telah menetapkan dua tersangka yakni bendahara di Pemprov Malut bernisial RZ dan Karo Keuangan Pemprov Malut berinisial JN.
17.  Pengadaan jasa konsultan di BPIH Migas (2009) dengan anggaran sebesar Rp 126 miliar untuk tahun anggaran 2008 dan Rp 82 milyar untuk tahun anggaran 2009, yang diduga dilakukan oleh pejabat dilingkungan BPH Migas.
18.  Pengelolaan dana PNBP sebesar Rp 2,4 triliun. Dugaan korupsi di BPH Dirjen Postel Kementerian Kominfo atas pengelolaan dana PNBP sebesar Rp 2,4 triliun yang didepositokan pada bank BRI dan Bank Bukopin yang seharusnya digunakan untuk proyek infrastruktur (Uso) namun justru didepositokan sedangkan proyek diserahkan kepada pihak ketiga (Telkomsel) dengan membayar sewa layanan multimedia.
19.  Makelar sejumlah proyek di PT Telkom dan anak perusahaan Telkom (PT telkomsel) (2009). Sedikitnya 30 proyek yang bernilai triliunan rupiah sejak tahun 2006-2009 yang mana pekerjaan tersebut banyak tidak diselesaikan tetapi tetap dibayar lunas oleh direksi PT Telkom maupun Telkomsel karena sarat dengan KKN.
20.  Pembelian saham perusahaan PT Elnusa di PT infomedia tahun 2009 senilai Rp 300 miliar. Dugaan korupsi atas pembelian saham perusahaan PT Elnusa di PT infomedia yang dimark-up dan diduga dilakukan oleh pejabat di lingkungan PT Telkom sebesar Rp 590 miliar.
  Semua kasus tersebut, sampai sekarang belum jelas tindak lanjut penyelesaiannya, bahkan tidak ada tindak lanjut sama sekali. Hal yang demikian itu menunjukkan bahwa masih ada PR besar dari bidang hokum di negeri ini untuk melakukan penegakan hokum sesuai dengan hokum yang seharusnya.
Baru-baru ini wajah hukum negeri ini kembali dipertanyaan eksistensinya dalam menangani kasus hukum terhadap korupsi. Keluarnya terdakwa dalam kasus dugaan kasus mafia hukum Gayus Halomoan P Tambunan dari Rutan Mako Brimob Kelapa Dua Depok Jawa Barat pada akhir pekan lalu menyeret nama dua tahanan lain, Susno Duadji dan Wiliardi Wizard. Sel kedua anggota polisi itu bersebelahan dengan ruang tahanan Gayus. (http://www.hukumonline.com). Ini menunjukkan kurangnya keseriusan dan terkesan lamban dari para penegak hukum dalam menangani dan mengusut kasus yang menyangkut perkara korupsi.
Dengan demikian, timbul pertanyaan yang sangat mendasar dari kalangan masyarakat, dimana posisi hukum yang berlaku di negeri ini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentu tidak terlepas dari adanya keseriusan dari lembaga penegak hukum, baik itu dari pihak kepolisian maupun kejaksaan atau pengadilan sebagai lembaga yang dipercaya untuk menangani kasus pelanggaran hukum yang terjadi di negeri ini.
Kesan yang selama ini menyelimuti opini masyarakat umum terhadap penegak hukum di negeri ini masih pandang bulu dan subyektif. Hukum akan mudah diselesaikan kalau tersangkanya adalah masyarakat biasa, sedangkan oknum pejabat atau orang kaya seolah tidak tersentuh oleh hukum. Ini juga menimbulkan kesan bahwa Negara kita memiliki hukum yang tegas terhadap rakyat kecil sekaligus sebagai pelindung bagi koruptor terhadap jeratan hukum.
Bila dampak yang ditimbulkan dari berbagai kasus korupsi yang terjadi di negeri ini, korupsi tidak hanya berakibat pada hilangnya begitu banyak uang Negara melainkan juga rusaknya moralitas bangsa, sehingga tidak lagi bisa membedakan mana yang dilarang. Korupsi juga tidak hanya memberi umpan dan untuk melakukan korupsi berikutnya, tetapi juga dalam proses beranak pinak itu korupsi telah melahirkan generasi korupsi, yang tidak mengenal rasa malu, apalagi keberanian untuk hara-kiri, kalau melakukan kegiatan pidana korupsi (Musni Umar, dkk, 108: 2004).
Berbagai dampak yang ditimbulkan akibat korupsi, ini menunjukkan betapa berbahayanya kasus korupsi yang terjadi di negeri ini. Seharusnya perhatian dan penanganan yang serius dan sunguh-sungguh dari pemerintah dan para penegak hukum dalam mengatasi berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Upaya menanggulangi kasus korupsi yang terjadi, program global melawan korupsi menawarkan tiga komponen strategi yang dapat dilakukan dalam usaha memberantas korupsi yaitu: mempelajari tindakan, kerjasama teknis, dan evaluasi (Singgih, 112: 2002). Ini artinya, dalam upaya memberantas kasus korupsi, itu hendaknya dimulai dengan mengetahui dan mempelajari terlebih dahulu kriteria tindakan yang termasuk dalam kelompok korupsi, baru dilanjutnya dengan melakukan kerjasama secara teknis dengan melibatkan semua elemen, mulai dari pemerintah dan penegak hukum secara umum dan keterlibatan serta partisipasi dari anggota masyarakat, baru selanjutnya dilakukan evaluasi, ini untuk mengetahui apakah langkah pertama dan kedua yang sudah diterapkan mencapai hasil sesuai dengan yang diharapkan atau tidak. Evaluasi ini juga dijadikan sebagai tolok ukur untuk melakukan tindakan lebih lanjut.
Penanggulangan dengan sistim in lebih menekankan kepada proses penanggulangan secara langsung kepada pihak yang melakukan tindakan korupsi, namun kurang menekankan pada upaya pencegahan untuk terjadinya tindakan korupsi bagi generasi berikutnya, yang juga terkena dampak korupsi yang dilakukan oleh oknum yang korupsi sekarang.
Amir Santoso mengemukakan lima hal yang harus dilakukan dalam upaya mencegah dan menangani kasus korupsi kalau tidak ingin Indonesia menuju kebangkrutan, yaitu: 1) memilih presiden yang memiliki kemauan yang kuat untuk memberantas korupsi, 2) membentuk lembaga legislatif yang anti-korupsi, 3) mengganti secara cepat aparat penegak hukum (hakim, jaksa, polisi) yang koruptif, 4) memperbaiki sistem dan struktur administrasi Negara, 5) penanganan di bidang sosial melalui pendidikan untuk menghilangkan budaya feudal (Musni Umar, dkk, 85-86: 2004).
Penanggulangan korupsi yang kedua ini lebih efektif, karena bersipat komprehensif. Pengendalian tidak hanya ditujukan untuk mengatasi masalah korupsi yang sekarang terjadi, akan tetapi juga mengupayakan pencegahan timbulnya tindakan korupsi yang akan muncul belakang hari, dari generasi yang sudah tertular virus-virus korupsi yang terjadi sekarang. Ini terlihat dari adanya penanggulangan yang memperhatikan penanganan di bidang sosial melalui pendidikan. mengatasi kasus yang terjdsi saat sekarang ini, dan mencegah timbulnya kasus korupsi baru yang akan muncul kelak belang hari.
E.     Demonstrasi dan Hukum
Demonstrasi, ini istilah yang sudah pamiliar dikalangan masyarakat. Mulai dari kalangan berpendidikan hingga yang tidak mengerti tentang tujuan dari demonstrasi itu sendiri. Hampir setiap hari diberitakan di media massa yang menyiarkan tentang berbagai aksi demonstrasi yang di lakukan di berbagai daerah.
Pada dasarnya demonstrasi ini adalah salah satu bentuk mengekspresikan tuntutan dan harapan masyrakat terhadap pemerintah, baik yang menyangkut pemenuhan kebutuhan, penanganan hukum, penyelesaian sengketa, serta berbagai permasalahan yang menyangkut masyarakat dan pemerintah secara umum sebagai bentuk hubungan masyarakat dan pemerintah yang menjadi pemegang amanat rakyat.
Lihat kasus demo yang sering dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat yang menuntut penegakan hukum terhadap pelaku korupsi, misalnya demo menuntut diusutnya segera kasus mapia pajak yang baru-baru ini terungkap yang di ungkapkan oleh Gayus Tambunan, yang sudah ditahan di rumah tahanan markas komando Brimob Kelapa Dua, masih bisa keluar masuk rutan, bahkan menyaksikan pertandingan tenis di Nusa Dua Bali (http://www.tempointeraktif.com). Ini memicu terjadinya demonstrasi yang menuntut agar penegakan hukum secepatnya dituntaskan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Demonstrasi juga sering dipicu adanya tuntutan dari masyarakat yang menuntut atas penegakan hukum secepatnya diselesaikan terkait kasus yang menyebabkan terjadinya perbuatan amoral dan asusila yang dilakukan oleh oknum artis yang berdampak besar terhadap moral generasi muda bangsa ini, salah satunya kasus yang baru-baru ini mencuat di kalangan masayakat yaitu kasus video mesum mirip artis kembali diwarnai demo oleh para aktivis perempuan. Demo kali ini dilakukan oleh sekitar 30 orang wanita berjilbab yang terdiri atas pelajar dan mahasiswa. Mereka mencoba memberikan orasi seputar penolakan pornografi (http://www.kapanlagi.com/).
Demonstrasi juga dipicu oleh adanya tuntutan masyarakat umum terhadap pemerintah dan penegak hukum agar menegakkan hukum demi menjamin tuntutan masyarakat yang menuntut akan hak-hak mereka yang dirugikan oleh sebuah lembaga, seperti kasus Bank Century yang sampai saat sekarang ini belum jelas ujung pangkal penyelesaiannya. Ini memicu terjadinya demonstrasi seperti yang dilakukan di Jawa tengah, seratusan mahasiswa dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Jateng menggelar aksi unjuk rasa di pertigaan kampus UMS. Mahasiswa menggelar aksi agar penegak hukum menyelesaikan permasalahan Bank Century. Aksi ini berakhir ricuh, setelah sempat terjadi bentrok dengan aparat kepolisian (http://www.solopos.com).
Demonstrasi yang dilakukan di berbagai daerah, tidak jarang menimbulkan pengerusakan benda-benda dan pasilitas umum serta perkantoran kerap terjadi. Demonstrasi juga sering menimbulkan korban jiwa, baik dari kalangan masyarakat awam ataupun mahasiswa yang melakukan demonstrasi, bahkan aparat penegak hukum, yang seharusnya berperan sebagai pengaman dan pengayom masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya terhadap berbagai phenomena sosial yang terjadi.
Perhatikan kasus demonstrasi yang terjadi di Bangka, yang berujung pada penembakan seorang anggota demonstran oleh seorang oknum polisi. Menurut Jatur Sapto Edi, menuntut supaya aparat berwajib melakukan investigasi terhadap pelaku penembakan yang menimpa seorang pendemo pada aksi 20 Oktober 2010. Lebih lanjut Tjatur Sapto Edi menegaskan profesionalme polisi diartikan dengan bagaimana seorang polisi memperlakukan objek itu dalam kambtibmas secara proporsional. Kalau menembak itu bisa menghilangkan nyawa orang, pendemo bukan musuh, mereka anak bangsa yang menyampaikan pikiran dan opininya (http://www.bangkapos.com).
Berbagai aksi demonstrasi yang terjadi, hampir semuanya menyangkut aspek pengakan hukum, ini menunjukkan bahwa penegakan hukum di negeri ini masih belum dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan. Berbagai pelanggaran hukum akan terjadi di negeri ini selama hukum tidak dibersihkan dari anasi jual-beli keadilan, political corruption akan selalu membajak keadilan (Denny Indrayana, 74-75: 2008). Keadilan hanya sebatas mimpi bagi masyarakat biasa dan tameng baja bagi sang penguasa dan si-beruang.
Berbagai aksi demonstran yang telah dijelaskan tersebut, terlihat bahwa pada awalnya demonstrasi itu ditujukan untuk menyampaikan aspirasi serta opini masyarakat kepada pemerintah. Namun, dalam proses penyampaiannya, sering terjadi ketidak sesuaian antara apa yang diharapkan dengan yang terjadi di lapangan. Demonstrsi sering berujung pada pemukululan, pengerusakan, dan penangkapan anggota demonstran. Ini menghambat tersampaikannya aspirasi yang ingin diunakapkan oleh masyarakat dan pemerintah tidak dapat mengetahui aspirasi yang ingin disampaikan tersebut.
Menyikapi berbagai bentuk pelanggaran yang terjadi saat demonstrasi terjadi, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan, antara lain: 1) demonstrasi dilakukan dengan pengawalan dari pihak kepolisian, 2) peserta demonstran tidak diperbolehkan membawa barang-barang yang dapat menimbulkan berbagai bentuk tindakan anarkis seperti pengrusakan, dan pemukulan, 3) para pejabat yang ditujukan untuk menyampaikan aspirasi pendemo, hendaknya menemui pendemo dan melakukan dialog untuk menyelesaikan masalah, 4) penegak hukum hendaknya tetap melakukan kordinasi secara intensif terhadap penanggung jawab demonstran. Kedepan, diharapkan tidak ada lagi yang namanya pemukulan, pengrusakan, korbanjiwa dan berbagai tindakan kriminal lainnya, aspirasi masyrakat dapat tersalurkan dan dapat segera dicarikan solusi pemecahannya.
F.     Hukum dan Pendidikan Karakter (Moral)
Pendidikan nasional bertujuan untuk terciptanya pembangunan manusia seutuhnya. Ini artinya, pendidikan kedepan diharapkan akan mampu membentuk manusia yang tidak hanya cerdas IQ, dan EQ, yang selama ini terjadi, sehingga timbul kemerosotan moral bangsa, yang mencerminkan bentuk kegagalan dari pendidikan. Untuk itu, dikembangkan pendidikan karakter (moral) sebagai bentuk kecederdasan SQ.
Bangsa Indonesia sekarang ini mengalami krisis moral. Menurut Asri Budiningsih (1: 2004) masyarakat Indonesia saat ini mengalami perubahan tatanan yang ditandai dengan berbagai tindakan dan sikap yang muncul, berupa: 1) Makin jarang dan rendahnya kualitas, kominikasi antara orang tua dan anaknya, antara lain akibat semakin meningkatnya jumlah orang tua yang bekerja di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin maju; 2) Norma dan kehidupan masyarakat yang bercirikan ketidakdisiplinan dan kesemrawutan tatanan kehidupan yang ril serta berbagai penyimpangan nilai moral.
Berbagai tindakan amoral semakin merebak di kalangan remaja, bukan hanya di daerah perkotaan tetapi juga sampai pada daerah pelosok negeri ini. Pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, penipuan, pengkonsumsian obat-obatan terlarang dikalangan pelajar pun sering terjadi. Ini menggambarkan betapa hancurnya moral generasi muda Indonesia saat sekarang ini.
Kemerosotan moral dewasa ini sudah benar-benar menjadi permasalah yang sangat krusial. Kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong-menolong, dan kasih saying sudah tertutup oleh penyelewengan, penipuan, penindasan, saling menjegal, dan saling merugikan. Banyak terjadi adu domba dan fitnah, menjilat, menipu, mengambil hak orang lain sesuka hati, dan perbuatan-perbuatan maksiat lainnya.
Kemerosotan moral sudah merebak di kalangan siswa yang seharusnya diharapkan akan dapat menjadi tunas-tunas muda bangsa yang diharapkan akan dapat menjadi penerus perjuangan keadilan, membela kebenaran, dan penerus bangssa yang bertanggung jawab terhadap sesama manusia dan Tuhan yang Maha Kuasa. Menurut Thomas Lickona (Darmiyati Zuchdi, dkk, 38: 2009), ada sepuluh tanda dari perilaku manusia yang menunjukkan arah kerancuran suatu bangsa yakni:
a.       Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja
b.      Ketidakjujuran yang membudaya
c.        Semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orang tua, pendidik dan figur pemimpin
d.      Pengaruh peer group terhadap tindakan kekerasan
e.       Meningkatnya kecurigaan dan kebencian
f.       Penggunaan bahasa yang memburuk
g.      Penurunan etos kerja
h.      Menurunnya rasa tanggung jawab individu dan warga Negara
i.        Meningkatnya perilaku merusak diri
j.        Semakin buruknya pedoman moral
Kesepuluh tanda kehancuran bangsa yang dikemukakan oleh Lickona tersebut, hampir semuanya terjadi di Negara Indonesia saat sekarang ini. Pendidikan sebagai kebutuhan hakiki, diharapkan akan dapat berperan secara maksimal untuk mengatasi masalah yang mengancam kehancuran bangsa Indonesia.
Pendidikan dapat dijadikan sarana membangun kualitas sumber daya manusia, meningkatkan kesejahteraan manusia serta persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan status sosial, citra, dan derajat manusia, meningkatkan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mencerdaskan, memperbaiki etika, estetika, moral, budi pekerti, dan membentuk akhlak masyarakat (Haris Supratno: 2008). Pendidikan merupakan tumpuan harapan yang diharapkan akan dapat memperbaiki kemerosotan moral bangsa Indonesia yang terjadi saat sekarang ini.
Pat Duffy Hutcheon (68: 1999) mencoba memberikan gambaran bagaimana penyimpangan sosial itu dapat dihambat dengan adanya sosialisasi yang tepat, ia mengatakan “In the vast majority of cases, anti-social propensities can be inhibited and overlaid by appropriate socialization. Generally, it is safe to say that it is what happens to us from the moment of conception that weighs most heavily on all aspects of human development: moral, emotional, intellectual and even physical” disini ditekankan bagaimana semua aspek kecerdasan itu dibangun, mulai dari moral, emosional, intelektual dan bahkan fisik, untuk dapat berinteraksi dengan lingkungan.
Dalam berinteraksi dengan lingkungan, tentunya tidak terlepas dari tumpuan dasar yang universal the basics of living values (BLV). Ini mencakup dasar-dasar nilai kehidupan seperti kebebasan, kejujuran, tanggung jawab, sederhana, perdamaian, toleransi, kepekaan sosial, demokrasi, percaya diri, gotong royong, disiplin, saling menghormati, dan religi atau bermoral (Rohmat, 254-256: 2010). Ini menunjukkan bahwa pendidikan yang seutuhnya itu mencakup tiga aspek pengetahuan manusia yaitu IQ, EQ, dan SQ. Kesemuanya itu dapat dicapai dengan penerapan pendidikan karakter.
Melalui pendidikan karakter, diharapkan berbagai permasalahan moral yang terjadi dapat dicarikan solusinya, setidaknya dapat dikurangi untuk jangka panjang. Pendidikan karakter, bertujuan mengarahkan agar siswa mampu menyadari tugas serta kewajibannya sebagai seorang manusia, baik dalam konteks individu maupun secara sosial masyarakat. Ini juga menyangkut bagaimana siswa itu taat pada aturan hukum yang berlaku, baik itu hukum Negara juga hukum masyarakat yang berlaku di daerah sekitar tempat tinggal.
G.    Kesimpulan
Dalam kehidupan sehari-hari diperlukan adanya hukum yang jelas untuk menciptakan kehidupan yang sejahtera. Definisi hukum banyak dikemukakan para ahli namu kesemuanya itu mengandung beberapa persamaan pada unsur-unsurnya, yaitu:
a.       Adanya peraturan dantingkah laku manusia.
b.      Peraturan itu dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib.
c.       Hukum itu bersifat memaksa.
d.      Adanya sanksi bagi yang melakukan pelanggaran hukum.
Dalam penerapan hukum seringkali masih pandang bulu terhadap siapa hukum itu diberlakukan. Penegakan hukum juga sering terkesan tidak tegas, sehingga hal ini menimbulkan aksi demonstrasi terjadi di berbagai daerah. Untuk mengatasi hal-hal tersebut, pendidikan karakter diharapkan sebagai salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut.








DAFTAR PUSTAKA

_____.(2008). Kamus bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen pendidikan nasional.
Asri Budiningsih. (2004). Pembangunan moral berpijak pada karakteristik siswa dan budaya. Jakarta: Rineka Cipta.
Bahtiar Marpaung. (2007). Aspek Hukum Pemberantasan Terorisme di Indonesia. Jurnal Equality, Vol. 12 No. 2 Agustus 2007.
Darmiyati Zuchdi, dkk. (2009). Pendidikan karakter. Yogyakarta: UNY Press.
Daryanto S.S. (1997). Kamus bahasa Indonesia lengkap. Surabaya: Apollo.
Denny Indrayana. (2008). Negeri para Mafioso, hukum di sarang koruptor. Jakarta: Kompas.
Haris Supratno. (2008). Pendidikan yang mengakhlakkan. Diambil pada tanggal 26 Juli 2010, dari  http://www.klubguru.com
Hasanuddin. (2004). Pengantar ilmu hukum.Jakarta: Pustaka Al-husna Baru.
Hanifah Hidayat Noor. (2010).  Proses hukum rasminah sesuai ketentuan. Diambil pada tgl 13 November 2010, dari http://megapolitan.kompas.com/
R. Soeroso. (2010). Konsultasi hukum, definisi hukum. Diambil pada tgl 13 November 2010, dari http://www.asiamaya.com/
Tjatur Sapto Edi. (2010). Pelanggaran hukum dituntaskan di pengadilan. Diambil pada tgl 20 November 2010 dari http://www.bangkapos.com
Irgan Chairul Mahfidz. (2010). Aktor di balik nglencernya gayus harus diusut. Diambil tgl. 20 Novembr 2010 dari http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum.
Marzuki. (2010). Islam, jihad dan terorisme. Pointer makalah disampaikan pada focused group discussion di Fakultas Ilmu Pendidikan UNY, Sabtu, 9 Oktober 2010.
Musni Umar. (2004). Korupsi musuh bersama. Jakarta: Lembaga Pencegah Korupsi.
Pat Duffy Hutcheon. (1999). Building character and culture. USA: An imprint of Greenwood Publishing Group.
Rohmat. (2010). Urgensi membaca dengan IQ, EQ, dan SQ untuk pembangunan manusia dalam pendidikan Islam. Jurnal Studi Agama Millah. Vol.IX, No. 2, Februari 2010. Yogyakarta: Fakultas IAI Pascasarjana UII.
S.T. Marbun. (1987). Pokok-pokok hukum adminitrasi Negara. Jogjakarta: Liberti.
Singgih. (2002). Dunia pun memerangi korupsi. Pusat studi hukum bisnis Universitas Pelita Harapan: Tangerang.
Sudikno Mertokusumo. (2004). Penemuan hukum sebuah pengantar. Jogjakarta: Liberti.
Theo Huijbers. (1995). Filsafat hukum. Jogjakarta: Kanisius.
Share this article :

0 komentar:

 
Support : Berbagi | AULIA | Mikaila
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. DARIKU UNTUKMU - All Rights Reserved