Headlines News :
Home » » KONSEP DASAR PSIKOLOGI SOSIAL

KONSEP DASAR PSIKOLOGI SOSIAL

Written By mikailahaninda.blogspot.com on Rabu, 11 Februari 2015 | 13.24


BAGIAN IX
KONSEP DASAR PSIKOLOGI SOSIAL
A.    Kompetensi Dasar
Setelah mempelajari materi pada bagian ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskan konsep dasar psikologi sosial serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
B.     Deskripsi Materi
1.      Pengertian Psikologi Sosial
Psiklogi berasal dari bahasa Yunani yaitu “psyche” yang artinya jiwa dan “logos” yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi secara etimologi psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa,  baik mengenai macam-macam gejalanya,  prosesnya maupun latar belakangnya.  Meskipun demikian,  kita menggunakan kedua istilah tersebut secara bergantian dengan pertimbangan terhadap peredaan yang jelas dalam maknanya,  yaitu:
1)        Ilmu jiwa merupakan istilah dalam bahasa Indonesia sehari-hari dan dipahami setiap orang sehingga kita pun menggunakannya dalam arti luas karena masyarakat sudah memahaminya. Sedangka kata psikologi merupakan suatu istilah ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah sehingga kita menggunakanya untuk merujuk kepada pengetahuan ilmu jiwa yang bercorak ilmiah tertentu.
2)        Ilmu jiwa kita gunakan dalam arti yang lebih luas daripada istilah psikologi. Ilmu jiwa meliputi segala pemikiran,  pengetahuan,  tanggapan,  dan juga meliputi segala hayalan dan spekulasi mengenai jiwa itu. Psikologi meliputi ilmu peroleh pengetahuan mengenai jiwa yang diperoleh secara sistematis dengan metode-metode ilmiah yang memenuhi syarat-syarat sebagaimana disepakati oleh para sarjana pskologi masa kini. Istilah ilmu jiwa merujuk kepada ilmu jiwa pada umumnya. Sedangkan ilmu psikologi merujuk kepada ilmu jiwa yang ilmiah menurut norma-norma ilmiah modern.
Dengan demikian,  tampak agak jelas bahwa yang disebut ilmu jiwa itu belum tentu psikologi,  tetapi psikologi tentu merupakan ilmu jiwa. Contoh: Apabila secara kebetulan kita memperoleh kesan-kesan umum mengenai kecakapan dan sifat-sifat kepribadian seseorang,  kita sudah melakukan kegiatan ilmu jiwa. Akan tetapi,  kegiatan tersebut baru kita katakan psikologi apabila cara-cara mengumpulkan keterangan mengenai kecakapan dan kepribadian orang itu dilengkapi dengan metode-metode yang lebih objektif,  seperti tes-tes yang distandarisasi dan dengan wawancara-wawancara,  observasi-observasi yang teratur yang dilakukan dengan sengaja dengan orang tertlatih.
Psikologi sosial merupakan pekembangan ilmu pengetahuan yang baru, dan merupakan cabang dan ilmu pengetahauan psikologi pada umumnya. Ilmu tersebut mengurakan tentang kegiatan-kegiatan manusia dalam hubungannya dengan situasi-situasi sosial, termasuk didalamnya interaksi antar orang dan hasil kebudayaannya. Interaksi ini baik antar individu-indvidu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok dapat berjalan lancar dapat pula tidak. Interaks akan berjalan lancar bila masing-masing pihak memiliki penafsiran yang sama atas pola tingkah lakunya, dalam suatu struktur kelompok sosial. Tingkah laku individu yang timbul dalam konteks sosial atau lingkungan sosial inilah yang akan dipelajari dalam psikologi sosial. Berdasarkan gambaran tersebut dikemukakan beberapa definisi psikologi sosial sebgai berikut:
1.       Panitia istilah paedagogik yang tercantum dalam kamus paedagogik: psikologi sosial ialah ilmu jiwa yang mempelajari gejala-gejala psikis ada massa,  bangsa,  golongan,  masyarakat dan sebagainnya. Lawannya psikologi individu.
2.       Hubert Bonner dalam bukunya Sosial Psychology mengatakan: psikologi  sosial adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia. Bonner menitikberatkan pada tingkah laku individu bukan sosial.
3.       A.M Chorus dalam bukunya Grondsiagen der sosiale psychologie merumuskan psikologi sosial ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku individu manusia sebagai anggota suatu masyarakat.
4.       Sharif & sharif dalam bukunya An Outline of Sosial Psychology memberikan definisi psikologi sosial ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari pengalaman dan tingkah laku individu manusia dalam hubungannya dengan situasi-situasi perangsang sosial.
5.       Roueck and Warren dalam buku sociology mendefinisikan psikologi sosial adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari segi-segi psikologi daripada tingkah laku manusia, yang dipengaruhi oleh interaksi sosial.
6.       Boring, Langveld, Weld dalam bukunya Foundation of Psychology mengutarakan: psikologi sosial adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari individu manusia dalam kelompoknya dan hubungan anara manusia dengan manusia.
7.       Kimball Young (1956): psikologi sosial adalah studi tentang proses interaksi individu manusia.
8.       Krech, Crutchfield dan Ballachey (1962): psikologi sosial adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku individu dalam masyarakat.
9.       Joseph. Mc. Grath (1965): psikologi sosial adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki tigkah laku manusia sebagaimana dipengaruhi oleh kehadiran, keyakinan, tindakan dan lambang-lambang dari orang lain.
10.   Gardon W. Allport (1968): psikologi sosial adalah ilmu yang berusaha mengertidan menerangkan bagaimana pikiran, perasaan, dan tingkah laku individu dipengaruhi oleh kenyataan, imajinasi, atau kehadiran orang lain.
11.   Secord and Backman (1974): psikologi sosial adalah ilmu yang mempelajari individu dalam konteks sosial.
12.   W. A. Gerungan: ilmu jiwa adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari dan menyelidiki: pengalaman dan tingkah laku individu manusia seperti yang dipengaruhi atau ditimbulkan oleh situasi-situasi sosial.
13.   “Sosial psychology is the scientific study of human interaction” (Watson, 1966:1).
14.   “Sosial psychology is the study of the individual human being as he interacts,  largely symbolically,  with his environment” (Dewey & Humber,  1966,  hlm. 3).
15.   “Sosial psychology is a subdiscipline of pshychology that especially involves the scientific study of behavior of individuals as a function of sosial stimuli.” (Jones & Gerard,  1967,  hlm. 1).
Dari beberapa rumusan definisi diatas dapat kita simpulkan bahwa psikologi sosial adalah suatu studi ilmiah tentang pengalaman dan tingkah laku individu-individu dalam hubungannya dengan situasi sosial. Atau dapat disingkat ilmu yang mempelajari individu sebagai sebuah kelompok. Membicarakan pskologi sosial tidak dapat terlepas dari pembicaraan individu dalam hubungannya dengan situasi-situasi sosial.
Masalah pokok dalam psikologi sosial adalah pengaruh sosial (sosial influence). Pengaruh sosial inlah yang akan mempengaruhi tingkah laku individu. Berdasarkan inilah maka psikologi sosial didefiniskan sebagai ilmu yang mempelajari dan menyelidiki tingkah laku individu dalam hubungannya dengan situasi perangsang sosial.
Berdasarkan uraian pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa psikologi sosial adalah ilmu yang mempelajarai tingkah laku manusia dalam berinteraksi dengan manusia lainnya dan ditinjau dari segi psikis masyarakat, sehingga dalam menyelesaikan masalah ada berbagai solusi.
2.      Perkembangan Psikologi Sosial
Keterangan mengenai sejarah perkembangan psikologi sosial yang berikut hanyalah dengan sekedarnya dan dengan singkat saja kami uraikan. Filsafat-filsafat Yunani dan Kong Fu Tse telah membahas gagasan-gagasan yang bersifat ilmu jiwa sosial,  tetapi baru pada abad ke-19 di Eropa Barat psikologi sosial itu mulai di pikirkan secara sistematis dan secara khusus.
Berikut ini akan dijelaskan beberapa hasil pemikiran tokoh psilologi sosial  yang mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan psikologi sosial.
1)      Gabriel Tarde
Gabriel Trade merupakan salah seorang yang telah dianggap juga sebagai Bapak Psikologi Sosial adalah, ia merupakan seorang sosiolog dan kriminolog yang berasal dari Prancis.
Menurut pendapat Tarde,  semua hubungan sosial (sosial interuction) itu berkisar pada proses imitasi, bahkan semua pergaulan antara manusia itu menurut pendapat ini hanyalah berdasarkan imitasi itu. Imitasi adalah contoh-mencontoh,  tiru-meniru,  ikut-mrngikut,  dan menurut pendapat tarde perkembangan proses imitasi dalam masyarakat sebagai rangsangan pemikiran. Kedua,  ide baru ini lalu diimitasi dan disebarkan oleh banyak orang dalam masyarakatnya. Penyebab secara imitasi ini merupakan suatu proses psikologis yang berlangsung menurut dalil-dalil tertentu.
Dalam garis besarnya, kehidupan masyarakat itu ditentukan oleh dua macam kejadian utama. Pertama, timbulnya gagasan-gagasan baru (invention) yang dirumuskan oleh individu yang berbakat tinggi. Kedua, proses-proses imitasi dari gagasaan-gagasan tersebut oleh orang banyak.imitasi oleh individu-individu manusia yang turun-temurun sehingga dapat menimbulkan tradisi-tradisi terentu.
Menurut Tarde, masyarakat itu tidak lain dari pengelompokan manusia dimana individu-individu yang satu mengimitasi yang lain dan sebaliknya. Bahkan, masyarakat itu baru menjadi masyarakat sebenarnya apabila manusia mulai mengimitasi kegiatan manusia lainnya hal ini disebut oleh Kata tarde dengan istilah  La sosiete c’est I’imitation”.
Pendapat Tarde ini telah dikemukakan beberapa kritik selain kritik behwa pendapatnya berat sebelah,  misalnya oleh Chorus sebagai berikut:
1)      Hal-hal yang diimitasi itu harus mendapat perhatian individu terlebih dahulu agar dapat diimitasi;tanpa perhatian Terlebih dahulu,  tidak ada imitasi .
2)      Harus terdapat sikap menjunjung atau mengagumi hal-hal yang akan diimitasi.
3)      Harus terdapat taraf pengertian yang cukup pada orang-orang terhadap hal-hal yang akan diimitasi itu,  dan hal ini bergantung pula kepada tingkat perkembangan individu,  kepada taraf intelejensinya dan struktur kepribadian pada umumnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut  Gabriel Tarde hubungan sosial dalam bermasyarakat berkaitan erat dengan proses imitasi, imitasi merupakan proses peniruan sesuatu, sehingga antara masyarakat yang satu dapat berprilaku yang sama dengan masyarakat yang ditirukan.
 2)      Gustave Ie Bon
Gustave Ie bon terkenal karena sumbangannya dalam lapangan psikologi massa atau ilmu jiwa orang ramai. Adapun yang dimaksud dengan massa, crowd, atau orang ramai itu adalah salah satu dari bentuk-bentuk pengelompokkan dalam kehidupan manusia. Menurut Gustave Iebon, cirri-ciri dari massa adalah:
1)      Suatu kumpulan dari banyak orang berjumlah ratusan atau ribuan, 
2)      Berkumpul dan mengadakan saling hubungan untuk sementara
3)      Karena minat atau kepentingan bersama yang sementara pula.
Adapun contoh “Crowd adalah para penonton sepak bola, penonton bioskop yang besar dan lain-lain.
Menurut Ie Bon, suatu massa seakan-akan mempunyai satu jiwa tersendiri yang berlainan sifatnya dari sifat-sifat jiwa individu satu per satu yang termasuk dalam massa itu. Jadi, seorang individu yang termasuk dalam massa itu, sebagai anggota massa akan berpengalaman dan bertingkah laku secara berlainan dibandingkan dengan pengalaman dan tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari sebagai individu.
Sifat-sifat jiwa massa yang digambarkan oleh Ie Bon itu pada umumnya merupakan suatu gambaran jiwa yang bersifat lebih” primitif” daripada sifat-sifat jiwa individu (primitif dalam arti: buas,  tidak rasional,  penuh sentimen yang sukar dikendalikan,  tidak mengindahkan peraturan-peraturan).
Pada tahapan selanjutnya timbul kritik terhadap pandangan ilmu jiwa massa Ie Bon. Kritik-kritik tersebut menonjolkan bahwa ilmu jiwa massa tida hanya mempunyai sifat-sifat yang negatif sebagaimana dikemukakan oleh Ie bon tetapi juga sifat-sifat positifnya. Massa dapat membangun secara konstruktif dan dapat menjadi sumber semangat yang dapat meningkatkan derajat manusia serta mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang susila. Contoh : aksi massal  untuk membantu dalam keadaan darurat dalam bermacam-macam bentuk. Misalnya,  menolong orang-orang yang terkena bencana banjir,  aksi pertolongan ini dapat kita lihat pada tingkat nasional di beberapa Negara yang bahkan juga berlangsung pada taraf internasional.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa massa merupakan kumpulan masyarakat yang memiliki satu jiwa, tetapi anggotanya juga memiliki jiwa yang berbeda-beda. Sehingga anggota kelompok tersebut dapat memiliki pengalaman yang berbeda-beda.
3)      Sigmund Freud
Freud mempelajari ilmu jiwa massa sebagaimana digambarkan olen Gustave Ie Bon. Selaras dengan Ie Bon,  freud berpendapat bahwa individu manusia yang berada dalam situasi massa dengan sendirinya akan mengalami dan bertingkah laku sesuai dengan cara-cara jiwa massa itu yang menurut freud juga mempunyai sifat-sifat khusus yang berbeda dengan sifat-sifat individu dan yang bercorak lebih primitif.
 Akan tetapi,  berbeda dengan Ie Bon yang berpendapat bahwa individu manusia mempunyai jiwa yang secara hakiki berbeda dengan jiwa massa,  Freud berpendapat bahwa jika massa itu sebenarnya juga sudah terdapat dan dicakupi oleh jiwa individu itu,  tetapi jiwa massa yang primitif  itu terdapat pada individu manusia dalam taraf yang tidak sadar. Jadi,  sifat-sifat yang irasional itu seperti cepat terbawa oleh sentiment,  mudah tersinggung,  mudah terkena dipengaruhi atau mudah terkena sugesti,  dan lain-lain,  menurut Freud dalam jiwa individu manusia sudah,  tetapi dalam keadaan terpendam. Justru dalam situasi massa sifat-sifat yang terpendam pada jiwa manusia seakan-akan untuk menyatakan dirinya dengan leluasa sehingga tampak “jiwa massa” yang sebelumnya tak terduga pada jiwa individu manusia.
Pendapat Freud tentang psikologi massa mempunyai kritik: seperti dikatakan di atas,  di sini juga patut dikemukakan krtitik bahwa Freud hanya melihat sifat-sifat yang negatif saja pada jiwa massa itu,  sedangkan ciri-ciri jiwa massa yang positif seperti sifat rela membantu dalam keadaan darurat ,  sifat rela berkorban untuk suatu yang konstruktif,  dan lain-lain sama sekali tidak dihiraukan oleh Freud dalam hubungan ini.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut Freud bahwa jiwa massa itu bersifat primitif, dan jiwa individu sudah mencakup jiwa massa yang primitif secara tidak sadar.
4)      Kurt Lewis
Salah seorang ilmu jiwa lainnya yang sangat berjasa pada lapangan psikologi sosial adalah Kurt Lewis yang berusia pendek (meninggal pada tahun 1946). Ia telah mulai melalui suatu pendekatan dalam penelitian gejala-gejala sosial yang sangat penting. Ia juga telah mengenalkan aliran baru dalam psikologi yang disebut Topological psychology atau field- psychology. Field-psychologi ini menegaskan bahwa untuk meneliti tingkah laku manusia dengan sebaik-sebaiknya,  harus diingat bahwa manusia itu hidup dalam situasi field,  yaitu suatu lapangan kekuatan-kekuatan fisis maupun psikis yang senantiasa berubah-ubah menurut situasi kehidupannya sehingga uraian mengenai tingkah laku manusia harus pula memperhatikan kekuatan-kekuatan yang bekerja terhadap, ny dalam lapangan yang berubah-ubah itu.
Kurt Lewis mengadakan penyelidikan-penyelidikan mengenai persoalan ilmu jiwa sosial yang khususnya disebut dinamika kelompok (group-dynamics) diantaranya mengenai peranan “suasana kelompok” terhadap prestasi kerja dan efisien pekerjaan kelompok itu.
Sebuah eksperimen yang terkenal adalah eksperimen dari Lewis,  lippit,  dan white,  1939-1940,  yang bertujuan untuk meneliti pengaruh atau peranan dari tiga macam pimpinan terhadap suasana dan cara kerja kelompok. Eksperimennya dilakukan dengan anak laki-laki berumur 11 tahun yang dibagi menjadi 3 kelompok. Setiap kelompok dipimpin oleh seorang pemimpin (orang dewasa) yang ketiganya mempunyai cara-cara kepemimpian yang berbeda.
Pada cara kepemimpinan yang disebut otoriter,  pemimpin menentukan segala-galanya yang akan dibuat kelompok. Semua kegiatannya, baik penentuan tujuannya maupun maupun langkah-langkah pelaksanaan, secara terinci ditentukan oleh pemimpin sendiri tanpa mengajak anggota-anggota kelompoknya untuk turut menentukan atau memberikan pertimbangan-pertimbangan.
Pada cara yang kedua dilangsungkan kepemimpian yang demokratis di mana kegiatan, tujuan umum, dan cara-cara kerja kelompok dimusyawarahkan dengan mengajak anggota kelompok untuk menentukan bersanma. Dalam tingkah laku terhadap kelompok, pemimpin ini bertindak seorang kawan yang memberikan bantuan terhadap anggota-anggota kelompok bilamana bantuan itu diperlukan oleh anggota kelompok, dan ia memberikan keterangan mengenai kemungkinan-kemungkinan dan cara-cara untuk menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
Pada cara yang ketiga yang disebut laissez-faire,  pemimpin bertindak acuh tak acuh dan menyerahkan penentuan segala cara, penentuan tujuan kegiatan cara-cara pelaksanaannya,  dan lain-lain kepada anggota kelompok itu sendiri. Pemimpin hampirt tidak memberikan nasihat dan bertindak seperti seseorang yang hanya datang untuk melihat-lihat saja apa yang dilakukan kelompok.
Hasil eksperimen itu menyatakan bahwa cara-cara kepemimpian yang berbeda tersebut mempunyai pengaruh-pengaruh yang berbeda pula terhadap suasana kerja kelompok, kepada cara-cara bertingkah laku dan cara kerja kelompok dalam melaksanakan tugasnya masing-masing.  
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari tiga kali percobaan yang telah dilakukan oleh Lewis untuk mengetahui pengaruh yang ditimbulkan seorang pemimpin terhadap kelompok dengan cara yang berbeda juga mempengaruhi cara kerja kelompoknya.

3.      Ruang Lingkup Psikologi Sosial
Berdasarkan pada pembahasan beberapa definisi tentang psikologi sosial yang dikemukakan oleh para ahli, maka dipat diketahui beberapa pokok-pokok yang dikaji dalam psikologi sosial yaitu:
1.      Hubungan antar manusia.
2.      Kehidupan manusia dalam kelompok.
3.      Sifat-sifat dan struktur kelompok.
4.      Pembentukan norma sosial.
5.      Peranan kelompok dalam perkembangan individu.
6.      Kepemimpinan (leadership).
7.      Dinamika kelompok (goup dynamics).
8.      Sikap (attitude) sosial.
9.      Perubahan sikap (attitude) sosial.
10.  Psikolog anak-anak jahat.
Secara umum para ilmuan mencoba membagi wilayah studi psikologi sosial menjadi tiga, yaitu:
1.      Studi tentang pengaruh sosial terhadap individual, misalnya: studi tentang persepsi, motivasi, proses belajar, atribusi (sifat).
2.      Studi tentang proses-proses individual bersama, seperti bahasa, sikap sosial, dan sebagainya.
3.      Studi tentang intraksi kelompok,  misalnya: kepemimpinan,  komunikasi,  hubungan kekuasaan,  otoriter,  konformitas,  kerja sama,  persaingan,  peran.

4.      Objek dan Metode Psikologi Sosial
1)      Objek Psikologi Sosial
Berbicara tentang objek psikologi sosial, tidaklah terlepas dari objek psikologi pada umumnya, sebab sebagaimana telah diterangkan sebelumnya bahwa psikologi sosial adalah cabang dari psikologi pada umumnya. Kita ketahui bahwa yang menjadi objek psikologi sosial adalah manusia dan kegiatan-kegiatannya, sedang objek psikologi sosial adalah kegiatan-kegiatan sosial atau gejala-gejala sosial.
Baik psikologi maupun ilmu-ilmu sosial lainnya berpendapat bahwa manusia dapat dipandang sebagai:
1)      Makhluk individu,
2)      Makhluk sosial,
3)      Makhluk ber-ke-Tuhanan.
2)      Metode Psikologi Sosial
Sepertihalnya berbagai disiplin ilmu pada umumnya, psikologi sosial juga memerlukan suatu metode dalam melakukan berbagai kajian terhadap problematikan psikologi soaial yang terjadi di masyarakat. Adapun beberapa metode yang digunakan dalam psikologi sosial antaralain yaitu:
a.      Metode eksperimen
Metode ini pertama kali dipakai oleh Wilhelm Wundt. Agar metode ini dapat mencapai hasil yang dapat dipertanggungjawabkan,  maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi,  yaitu:
1)      Kita harus dapat menentukan waktu terjadinya gejala yang ingin kita selidiki.
2)      Kita harus dapat mengikuti berlangsungnya gejala yang ingin kita selidiki,  dan harus mengamatinya dengan perhatian yang khusus.
3)      Tiap-tiap pengamatan harus dapat kita ulangi dalam keadaan yang sama.
4)      Kita harus mengubah-ubah dengan sengaja syarat-syarat keadaan eksperimen.
Metode eksperimen ini dimaksudkan untuk menyelidiki suatu gejala dengan perhatian yang khusus,  sehingga dapat memperoleh keterangan yang lebih mendalam tentang gejala-gejala tersebut. Metode test dalam menyelidiki psikologis sebenarnya termasuk eksperimen ini. 
b.      Metode survey
Metode ini biasanya digunakan untuk mengumpulkan keterangan mengenai kelompok tertentu yang ingin diselidiki. Dalam pelaksanaan,  biasanya dengan menggunakan wawancar,  observasi,  atau angket sebagai alat untuk mengumpulkan keterangan-keteranganya.
Dalam melakukan survey, si penyelidik menggunakan menggunakan sample yaitu sebuah kelompok kecil yang dianggap representatif daripada kelompok besar yang ingin diselidikinya. Sample ini diselidiki dengan teliti dan cermat tentang hal-hal yang ingin diketahui. Bila cara-cara memilih sample ini memenuhi syarat,  maka haslnya akan diaggap sama dengan seluruh populasi yang ingin kita ketahui.
c.       Metode observasi
Metode ini digunakan untuk mengumpulkan keterangan-keterangan yang diinginkan dengan jalan mengadakan pengamatan secara langsung. Dalam hal ini penyelidik melaksanakan penyelidikannya dengan panca indra aktif,  terutama penglihatan dan pendengaran.
Observasi merupakan suatu penyelidikan yang dijalankan secara sistematis,  dan dengan sengaja diadakan dengan panca indra (terutama mata) terhadap kejadian-kejadian yang langsung ditangkap pada waktu kejadian terjadi. Ini berarti bahwa observasi tidak dapat digunakan terhadap kejadian-kejadian yang sudah lewat.
d.       Metode Diagnostik-psikis
Metode ini digunakan untuk mnegumpulkan keterangan-keterangan empiris mengenai objek-objek penelitian psikologi sosial. Untuk memperoleh keterangan mengenai pendapat-pendapat orang,  cukup menggunakan angket yang harus dijawab dengan sejujur-jujurnya.
Untuk keperluan ini maka digunakan “skala sikap” (attitudescales),  yaitu skala yang memerlukan percobaan-percobaan yang khas atau pengecekan terlebih dahulu terhadap sikap-sikap orang,  sehingga ukuran tersebut sesuai dengan kenyataan.
Selain skala sikap, psikologi sosial, psikologi sosial juga menggunakan test-test kepribadian, seperti misalnya test projeksi, seperti test Ror-schach, Thematic Apperception Test.
e.        Metode Sosiometri
Metode ini ditemukan dan dikembangkan oleh Moreno dan dimaksudkan untuk meneliti intra-group-relations, atau saling hubungan antara anggota kelompok di dalam suatu kelompok.
Terlaksananya dengan menggunakan daftar pertanyaan yang berhubungan dengan relasi seseorang dan orang lain yang tergabung dalam satu kelompok, misalnya bagaimana ia menentukan kawan, bagaimana ia memilih teman, syarat-syarat apa yang digunakan untuk menentukan pemilihan teman. Dari jawaban-jawaban itulah dapat dibuat sosiogram, yakni yang menggambarkan bagaimana arah saling hubungan antar anggota kelompok itu.
Dalam psikologi sosial ada tiga metode yang digunakan yaitu metode eksperimen, metode survey, metode observasi, diagnostic psikis, dan sosiometri. Metode observasi dibagi menjadi tiga antara lain: observasi yang berpartisipasi, observasi non-partisipasi, dan quasi partisipasi.
5.      Tujuan Psikologi Sosial
Sama halnya tujuan dalam bidang-bidang yang lain,  tujuan pembelajaran Psikologi Sosial bertumpu pada tujuan yang lebih tinggi. Secara hirarki, tujuan Pendidikan Nasional pada tataran operasional dijabarkan dalam tujuan institusional tiap jenis dan jenjang pendidikan, selanjutkan pencapaian tujuan institusional ini, secara praktis dijabarkan dalam tujuan kurikuler atau tujuan mata pelajaran. Akhirnya tujuan kurikuler ini, secara praktis operasional dijabarkan dalam tujuan intruksional atau tujuan pembelajaran. 
Tujuan kurikuler psikologi sosial yang harus dicapai sekurang-kurangnya meliputi lima tujuan berikut:
1.      Membekali peserta didik dengan pengetahuan psikologi sosial sehingga tidak terpengaruh, tersugesti, atau terpengaruh oleh situasi sosial yang tidak selamanya bernilai baik.
2.      Membekali peserta didik dengan kemampuan mengidentifikasi, menganalisa dan menyusun alternative pemecahan masalah-masalah sosial secara tepat dan sistematis mengenai proses kejiwaan yang berhubungan dengan kehidupan bersama.
3.      Membekali peserta didik dengan kemampuan berkomunikasi dengan sesama warga masyarakat sehingga memudahkan dalam melakukan pendekatan untuk mewujudkan perubahan dan pengarahan kepada tujuan sebaik-baiknya.
4.      Membekali peserta didik dengan kesadaran terhadap lingkungan sosial sehingga mampu merubah sifat dan sikap sosialnya.
5.      Membekali peserta didik dengan kemampuan mengembangkan pengetahuan dan keilmuan psikologi sosial sesuai dengan perkembangan kehidupan, perkembangan masyarakat, perkembangan ilmu, dan perkembangan teknologi.
6.      Implementasi Psikologi Sosial Dalam Kehidupan Masyarakat
Implementasi psikologi sosial adalah penerapan hasil studi psikologi sosial dalam membantu memecahkan problematika sosial yang terjadi pada kehidupan sehari-hari masyarakat. Dalam setiap masalah atau kasus yang terjadi di masyarakat pada umumnya disebabkan adanya ketidakseimbangan perhatian atau pembinaan terhadap kedua aspek yang ada dalam diri manusia,  yakni : aspek jasmani (raga) dan aspek rohani (jiwa). Keseimbangan kedua aspek tersebut sangat berpengaruh terhadap setiap perilaku individu ketika menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dalam berinteraksi dengan masyarakatnya. Terkait hal di atas dapat dicontohkan dalam kasus sebagai berikut: seorang remaja yang berusia 18 tahun yang sedang duduk di bangku SMA memiliki sifat introvert. Lingkungan yang keras dan minimnya pengetahuan tentang keagamaan telah membesarkannya menjadi orang yang mudah terpengaruh pada situasi dan kondisi di lingkungan sekitarnya. Selain dari lingkungan sekitarnya, kasus yang terjadi pada anak ini juga dilatarbelakangi oleh keadaan keluarganya yang broken home sehingga mengakibatkan pengaruh-pengaruh yang buruk dari lingkungan keluarga juga dengan mudah memasuki kehidupannya. Hampir tiap malam anak ini bergaul dengan teman di lingkungannya yang sering berjudi dan mabuk-mabukan sehingga proses pendidikannya terganggu.
Terkait dengan kasus kenakalan remaja di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengaruh lingkungan yang buruk dan kurangnya perhatian orang tua (broken home) sangat berpengaruh terhadap perkembangan jiwa keagamaan dan kerohanian pada diri anak. Dalam hal ini yang paling utama adalah penanaman jiwa keagamaan anak sejak dini. Jadi,  peranan keagamaan pada diri anak sangat penting dalam kehidupannya,  karena dengan pendidikan agama diharapkan dapat menyaring segala sesuatu yang bersifat negative dalam kehidupan bermasyarakat (Arifin,  2004).  Studi pada kasus diatas memberikan ilustrasi bahwa betapa besarnya pengaruh lingkungan terhadap perilaku individu dalam kelompok sosial. Psikologi sosial dalam hal ini membantu memberikan pemecahan persoalannya dengan upaya pendidikan keagamaan. Perangsang sosial yang berupa pendidikan keagamaan dan lingkungan sosial yang penuh dengan kekeluargaan diharapkan mampu merubah perilaku individu menjadi lebih baik, sehingga secara bertahap persoalan mendasar dari pengaruh buruk lingkungan akan terkikis dan tergantikan dengan pengaruh yang baik dari pendidikan keagamaan.
7.      Aliran-Aliran Dalam Psychologi Sosial
Terdapat pertentangan faham antara berbagai tokoh ilmu jiwa sosial mengenai manakah yang lebih berpengaruh lebih menenetukan individu: individu menentukan kelompok masyarakat ataukah sebaliknya kelompok masyarakat yang menentukan individu. Untuk itu secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua aliran, yakni subyektivisme dan obyektivisme.
1)      Subyektivisme
Aliran suyektivisme menyatakan bahwa individulah yang membentuk masyarakat dalam segala tingkahlakunya, maksudnya jika individu baik, masyarakatpun akan menjadi baik, karena masyarakat itu tidak lain daripada kumpulan individu dan tiap-tiap individu mempunyai sifat-sifat dan potensi-potensi sendiri yang dinyatakan dalam tingkah lakunya. Aliran subyektivisme ini dapat dibedakan menjadi 2 yaitu: aliran subyektivisme zaman antic dan subyektivisme bentuk modern.
a.      Subyektivisme Zaman Antic.
Prinsip daripada konsepsi aliran ini adalah manifestasi dari sifat-sifat serta potensi-potensi yang tertentu yang ada pada individu tersebut. Adapun tokohnya antara lain:
1)      Plato (427- 347 SM)
Seorang filosofi Yunani yang mengajukan suatu konsepsi,  bahwa jiwa manusia dibagi menjadi 3 bagian,  yakni pikiran,  kemauan dan nafsu yang memiliki tempat tersendiri dalam diri manusia dan masing-masing melahirkan pula kebajikan-kebajikan yang khas.
Pikiran akan melahirkan kecerdasan dan budi pekerti yang luhur, kemauan melahirkan keberanian dan nafsu melahirkan kebajikan kesederhanaan. Potensi-potensi jiwa ini, merupakan factor yang menentukan dalam kehidupan individu. Jika masing-masing individu menempatkan dirinya dalam masyarakat suatu negara, sesuai dengan sifat kodratnya, maka Negara tersebut akan menjadi Negara yang ideal dan akan melahirkan masyarakat yang adail dan makmur.
Konsekwensi logis dari ajaran Plato diatas adalah bahwa bentuk dan struktur masyarakat itu abadi sifatnya sampai dengan sifat kodrat manusia itu sendiri dengan potensi-potensi abadi yang ada dalam dirinya. Struktur masyarakat hanyalah manifestasi daripada struktur jiwa seseorang.
2)      Aristoteles (384-323 SM)
Murid Plato yang mempunyai pandangan agak berbeda dengan gurunya. Aristoteles mengatakan ajarannya bahwa pada manusia hanya terdapat dua struktur jiwa yaitu kecerdasan dan kemauan.
Garis-garis perkembangan manusia ditetapkan oleh potensi-potensi jiwa tersebut,  factor-faktor lingkungan hanyalah merupakan factor yang dapat mempercepat atau memperlambat garis perkembangan ini tetapi tidak dapat merubah atau membelokannya.
3)      Meng Tze ( 372-288 SM)
Seorang filosof Tiongkok. Ia mengajarkan, bahwa manusia memiliki empat factor psychologis, sebagai kebajikan yang dibawa sejak lahir merupakan dorongan sosial yang menggerakkan manusia untuk berbuat baik terhadap dirinya dan sesamanya. Kebajikan tersebut adalah kebaikan, kebenaran, keadilan,  dan kebijaksanaan.
Menurutnya, pada dasarnya manusia itu baik, menurut kodratnya. Manusia menjadi tidak baik karena pengaruh masyarakat, pengaruh lingkunan yang tidak selalu merangsang individu untuk berbuat sesuai dengan kodrat yang ada pada dirinya. Oleh karena itu untuk menciptakan masyarakat yang baik, haruslah ada keharmonisan dalam struktur masyarakat.
b.      Subyektivisme Bentuk Modern
Dengan timbulnya revolusi Industri di Inggris dan Revolusi Perancis, merupakan tanda timbunya keinginan daripada masyarakat akan adanya perubahan dalam struktur masyarakat. Sesudah Renaissance, timbullah revolusi karena sebagian besar masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhannya, karena penindasan dan tiadanya kebebasan individu menanamkan suatu anggapan baru dalam masyarakat bahwa sebenarnya individulah yang penting, individu menjadi pedoman kehidupan dalam masyarakat.
Jika kebutuhan individu terpenuhi dengan baik, maka masyarakat pun akan menjadi baik. Masyarakat hanyalah alat untuk memenuhi keinginan individu, kehidupan masyarakat bukan menjadi tujuan. Maka muncullah subyektivisme bentuk modern dan berkembang sesudah abad pertengahan. Tokoh-tokoh dari aliran ini antara lain:
1)      Thomas Hobbes (1588 - 1679)
Menurut Hobbes, dorongan pokok yang ada pada diri manusia adalah instink untuk mempertahankan diri. Manusia selalu dalam perjuangan. Dalam tahap alamiah, ada peperangan terus-menerus yang disebut: “bellumomnum contra omnes” (peperangan semua lawan semua). Dalam keadaan ini semua orang bersifat egoistis, manusia hanya dikemudikan oleh nafsunya.
2)      John Stuar Mill (1796 - 1873)
Ia sependapat dengan Jeremy Bentham yang menyatakan bahwa sakit dan senang itulah yang menguasai manusia, tetapi Mill tidak setuju adanya persamaan ukuran kesenangan pada tiap-tiap barang. Dasar pokok yang mengemudikan tingkah laku manusia ialah egoisme dan hedonisme. Bagi individualism kodrat manusia itu ssama sekali tak dipengaruhi oleh kehidupan sosial. Jadi masalah saling mempengaruhi antara individu dan masyarakat tidak ada yang ada hanyalah kumpulan individu-individu yang masing-masing hanya memuaskan keinginannya sendiri.
3)      Gabriel Tarde (1843 - 1904)
Ajarannya berdasar pada teori imitasi, dimana ia menyatakan bahwa imitasi adalah kunci daripada segala kejadian yang ada dalam masyarakat. Pertentangan-pertentangan yang ada dalam masyarakat itu karena pertentangan model yang ditiru.
Persaingan, diskusi, dan perang adalah tiga bentuk daripada oposisi masyarakat. Tarde mengemukakan hukum-hukum imitasi sebagai berikut:
a)      The law of descent, yaitu pandangan dan tingkah laku dari kelas golongan atas ditiru oleh golongan bawah.
b)      The law of geometrical progression, yaitu penyebaran secara cepat dari suatu mode, desas-desus atau keinginan yang berkobar-kobar terhadap sesuatu, bermula dari sumber asalnya.
c)      The law of internal before the exotic, menyatakan bahwa orang lebih suka meniru kebudayaannya sendiri daripada kebudayaan asing.
2)      Obyektivisme
Jika kaum subyektivisme mengajarkan bahwa individu menentukan masyarakat, maka obyektivisme mengajarkan bahwa masyarakatlah yang menentukan individu. Tokoh-tokoh obyektivisme antara lain:
a.       Kung Sung Yang (350 SM)
Individu pada dasarnya asosial atau jahat, maka untuk menjamin pengawasan sosial agar individu tidak melakukan kejahatan dan perbuatan asosial, perlu dijalankan hukuman yang keras agar takut akan hukuman itu. Di dalam masyarakat itu ada norma-norma serta nilai-nilai dimana individu harus menyesuaikan diri dengan nilai-nilai dan adat kebiasaan yang berlaku. Apa yang dilakukan oleh individu dalam kehidupannya sehari-hari merupakan hasil yang ia peroleh dari masyarakat, semua itu ditentukan oleh masyarakat. Karena adanya aturan-aturan tadi maka timbullah factor-faktor psychologis pada individu yang tidak mungkin ada bila hidup sendirian.
b.      John Locke (1632-1704)
Terkenal dengan teori “tabula rasa”nya yang mengajarkan bahwa pada hakekatnya manusia itu putih bersih tanpa noda,  manusia akan jadi apa,  tergantung masyarakatnya ataupun pendidikannya. Sebagai bukti yaitu dengan ditemukannya manusia serigala di Perancis dan India. Meskipun mereka anaka manusia tetapi tingkah laku mereka menyerupai serigala yang mengasuhnya.
c.       Emile Durkheim (1858-1917)
Obyektivisme mencapai puncaknya pada aliran “macro sosiologi” yang dipelopori oleh Durkheim, Redcliffe Brown, Mainowsky,  Margaret Mead dan sebaginya. Mereka menyamakan individu dengan atom yang menjadi bagian dari keseluruhan, individu itu tidak berarti apa-apa jika tidak berada dalam keseluruhan.
Emile Durkheim, adalah seorang Perancis yang menolak pandangan bahwa jiwa dan raga sangat erat hubungannya. Menurut Durkheim perbuatan manusia itu ada dua macam, yaitu perbuatan yang bersifat psychologis dan perbuatan yang bersifat sosiologis. Perbuatan yang bersifat psychologis makin lama makin sempit,  sedangkan perbuatan sosiologis adalah perbuatan yang dijalnkan dalam ikatan sosial yang makin lama makin meluas,  dan dua perbuatan itu terpisah satu sama lain.
3)      Aliran Historis
Tokohnya yaitu Heracleitos, dengan semboyannya “Panta Rhei” (sungai tak pernah berhenti). Aliran ini tidak konkrit; tentang proses perubahan itu dan sampai mana pengaruh perubahan itu pada watak manusia.
Aliran ini muncul kembali pada zaman Ibnu Khaldun seorang ahli filsafat dari Afrika Utara pada abad XIV. Atas dasar pengalaman-pengalamannya dia membedakan dua pola masyarakat yang satu dengan yg lain sangat berbeda,yaitu;
a.       Masyarakat pengembara (nomadic),
b.      Masyarakat penetap (sedentary).
Masyarakat bentuk pertama itu terutama melakuakan kegiatan-kegiatan berperang dan berburu, sedangkan bentuk masyarakat yang kedua cenderung untuk hidup tetap di daerah-daerah kota dan melakukan kerajinan, berdagang dan sebagainya. Selain itu ada juga jenis masyarakat peralihan. Dalam masyarakat penetap hubungan sosial lebih dikuasai “asosiasi” daripada setia kawan, karna itu moral kelompok (group morale) rendah dan pengejaran keuntungan sendiri merajalela.
Hal ini terjadi karena kedua bentuk masyarakat ini diatur atas dasar fungsi yang berbeda. Masyarakat pengembara ada karena mereka ingin memenuhi kebutuhan dan mempertahankan diri,  dan untuk ini perlu sekali adanya setia kawan yang kuat anatar anggota marganya. Sedangkan masyarakat kota timbul untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan relative mewah yang selalu bertambah. Hal ini menimbulkan individualism dan demoralisasi.
4)      Cultural Personality
Aliran lain yang membicarakan masalah hubungan antara individu dengan masyarakat ialah aliran cultural personality. Menurut istilahnya cultural personality itu berarti: mencari hubungan antara kebudayaan dan kepribadian manusia. Masalah ini sebenarnya sejajar dengan problem hubungan masyarakat dengan individu.
 Tetapi ada unsure baru yang khas pada ajaran ini, ialah masalah “Nasionality”. Setiap bangsa mempunyai hokum sendiri, pola dalam masalah hubungan antara individu dengan masyarakatnya. Cultural personality berusaha mendekati masalah-masalah psikology sosial dengan tidak melupakan factor-faktor yang terikat pada fakta kebangsaan. Watak nasional menurut aliran ini adalah struktur basis dari peradaban. Maka apa yang disebut kebudayaan itu tidak lain daripada produksi dari struktur basis dari kepribadian.
Menurut Kardiner, tiap-tiap kekuasaan yang tercipta oleh suatu undang-undang, harus dikembalikan pada proses individuil. Menurut Freud, tugas utama dari kebuadayaan ialah untuk menggagalkan instink dalam usaha untuk mengadakan ekspresi; pendapat ini diterima oleh aliran culturall personality. Tiap-tiap masyarakat mempunyai metode sendiri untuk mendidik anak-anaknya, bagaimana cara menggagalkan ekspresi dari instink itu.
Prinsip utama cultural personality, ialah pengalaman dimasa kecil mempunyai efek pada personality seseorang. Seperti halnya teori lain ajaran cultural personality inipun banyak terdapat kelemahan-kelmahan antara lain:
1)      Prinsip utama dari ajaran aliran ini kurang dapat dipertanggungjawabkan karena dalam kenyataannya orang yang telah dewasa ternyata masih dapat mengalami perubahan-perubahan pribadi,  sebagai akibat dari proses pengalaman hidupnya sendiri.
2)      Teori ini hanya menitikberatkan pada keyakinan bahwa pembentukan pribadi itu hanya mungkin pada anak kecil sedangkan pada kenyataannya orang dewasa masih dapat membentuk kepribadiannya.
3)      Pendapat yang mengatakan bahwa kesamaan watak suatu bangsa itu bersumber dari adanya kesamaan metode dalam mendidik anak, hal ini belum dapat dibuktikan kebenarannya.
4)      Dari segi psikologis sebenarnya corak watak dari suatu bangsa itu banyak ditentukan oleh proses historis yang menempa bangsa itu sendiri.
5)      Kultur personality juga mengajarkan bahwa kebudayaan itu adalah defensi, maka manusia menciptakan agama.
6)      Kultur personality mengoper pandangan Freud yang menganggap bahwa semua tindak sosial tidak lain daripada kegagalan dari manifestasi instink. Hal ini menerangkan peristiwa-peristiwa kemanusiaan berdasarkan ajaran animal.
7)      Teori cultural personality tidak dapat disuruh menganalisa hasil karya daripada seniman-seniman sebab alirabn personality menganggap bahwa ciptaan-ciptaan seniman itu adalah sublimasi saja.

8.      Manfaat Mempelajari Psikologi Sosial
Dengan mempelajari psikologi sosial, ada berbagai manfaat yang akan didapatkan dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, beberapa manfaat tersebut anatalain yaitu:
1)      Memberikan gambaran kepada manusia, tentang bagaimana manjalin kehidupan bermasyarakat yang ideal. Hal ini terkait antara kodrat manusia sebagai makhluk individu yang sekaligus juga sebagai makhluk sosial.
2)      Mencegah terjadinya konflik ditengah kehidupan masyarakat. Sebab, dengan memahami psikologi sosial bisa mengatasi kesenjangan ego yang muncul dari setiap individudalam hubungannya dengan masyarakat.
3)      Memberikan solusi ketika muncul konflik di tengah masyarakat. Dengan memahami konsep yang ada dalam psikologi sosial, kita bisa mengetahui karakter suatu masyarakat. Sehingga ketika muncul sebuah konflik di tengah masyarakat akan mudah ditemukan solusi sebagai jalan tengah dari permasalahan yang ada tersebut.
4)      Sebagai pedoman masyarakat, dalam mengelola setiap perbedaan yang muncul di tengah masyarakat. Dengan demikian, pada nantinya setiap perbedaan yang ada tersebut bisa digunakan sebagai modal untuk mencapai tujuan bersama. Bukan sebaliknya, menjadikan perbedaan yang ada untuk memicu perselisihan di antara sesame anggota masyarakat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa psikologi sosial memberikan pengetahuan kepada masyarakat bagaimana cara bermasyarakat yang baik, mencegah konflik, mengatasi konflik dan mengatasi perbedaan yang ada di masyarakat.

Evaluasi:
Setelah mempelajari materi konsep dasar psikologi sosial ini, coba kalian jawab beberapa pertanyaan berikut ini:
1.      Jelaskan pengertian dari psikologi sosial!
2.      Jelaskan bagaimana ruang lingkup kajian psikologi sosial!
3. Jelaskan bagaimana psikologi sosial menyelesaikan suatu permasalahan dalam kehidupan sehari-hari!
4.  Jelaskan contoh penerapan psikologi sosial dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan pengalaman kalian masing-masing!
5.      Jelaskan mengapa ilmu psikologi sosial penting untuk dipelajari!





DAFTAR PUSTAKA

………(2007). Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum SD. Departemen pendidikan nasional, Badan penelitian dan pengembangan Pusat kurikulum.

………...(2007). Naskah akademik kajian kebijakan kurikulum mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Departemen Pendidikan Nasional. Badan penelitian dan pengembangan pusat kurikulum.

Abu Ahmadi (2007). Psikologi Sosial. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Dadang Supardan. (2009). Pengantar Ilmu Sosial, sebuah kajian pendekatan structural. Bumi Aksara. Jakarta.

Daldjoeni, N. (1981). Dasar-dasar Ilmu Pengetahaun Sosial. Bandung; alumni.

Etin Solihatin & Rahardjo. (2008). Cooperative Learning: Analisis Model Pembelajaran IPS. Jakarta: PT Bumi Aksara

Fogarty, R. (1991). The Mindfull School : How to integrate the curricula. Palatine, Illions: IRI/Skylight Publising. Inc.

Fraenkel, Jack R. (1980). Helping students think value strategies for teaching social studies. New Jersey: Prentice-Hall.

Gerungan,  W.A. (2010). Psikologi Sosial. Bandung. PT. Refika Aditama.

Hamid Hasan, S. (1996). Pendidikan Ilmu Sosial. Jakarta. Depdiknas.

Jarolimek, J. (1967). Social studies in elementary education. New York: Macmillan.

Joesoef, Soelaiman (1981). Pengantar Psychologi Sosial. Surabaya. Usaha Nasional.

Kenworthy, Leonard S. (1981). Social studies for the eighties. Canada: John Wiley & Sons. 

Kosasih Djahiri, A. (1977). Pendekatan dan Teknik Pengembangan materi dan Program Pengajaran IPS. Jakarta: Depdikbud-P3G.

Martorella, P.H. (1994). Social studies for elementary school children, developing young citizen. New York: Merill.

Mukminan, dkk,. (2002), Pendidikan Ilmu Sosial, Yogyakarta; fis-UNY.

Munif Chatib. (2010). Gurunya Manusia. Kaifa Learning. Jakarta

Nursid Sumaatmadja. (1981). Perspektif Studi Sosial. Bandung: Alumni.

Oemar Hamalik. (2007). Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya

Poerwito. (1981). Dasar-dasar ilmu Pengetahuan Sosial. Malang: Dwidaya

Pusat Kurikulum. (2006). Model pengembangan silabus mata pelajaran dan rencana pelaksanaan pembelajaran IPS terpadu. Jakarta.

Rossi, P. H., & Freeman, E. Howard. (1985). Evaluation Sistematic Approach. California: SAGE Publications, Inc.

Sapriya. (2009). Pendidikan IPS, konsep dan pembelajaran. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Sugiharsono. (2009). Pengembangan Pembelajaran IPS Terpadu. Yogyakarta: FISE Universitas Negeri Yogyakarta.

Suharsimi Arikunto & Cepi Safruddin Abdul Jabar. (2009). Evaluasi Program Pendidikan: Pedoman Teoretis Bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Sukma Syam, dkk. (1999). Wawasan pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Jakarta: FIS-UNJ

Syaiful Bahri Djamarah. (1997). Guru Dan Anak Didik Interaksi Edukatif. PT Rineka Cipta. Jakarta.

Tasrif. (2008). Pengantar Ilmu Pengetahuan Sosial. Genta Press. Yogyakarta.

Trianto. (2010). Model Pembelajaran Terpadu Konsep, Strategi, dan Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).Jakarta:  Bumi Aksara.

Uzer Usman. (2005). Menjadi Guru Profesional. Bandung. Rosdakarya.

Wirawan Sarwono, Sarlito (2011). Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta. PT. Rajagrafindo Persada.

Zamroni. (2000). Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing.
Share this article :

0 komentar:

 
Support : Berbagi | AULIA | Mikaila
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. DARIKU UNTUKMU - All Rights Reserved