Headlines News :
Home » » Metode Pembinaan Akhlak Mulia/Karakter di Sekolah

Metode Pembinaan Akhlak Mulia/Karakter di Sekolah

Written By mikailahaninda.blogspot.com on Sabtu, 07 Maret 2015 | 10.55


Metode adalah istilah yang digunakan untuk mengungkapkan pengertian “cara yang paling tepat dan cepat dalam melakukan sesuatu” (Ahmad Tafsir, 2007: 9). Metode juga dapat diartikan sebagai cara yang dipergunakan oleh guru dalam membelajarkan peserta didik saat berlangsungnya proses pembelajaran (Ramayulis, 2006: 184).
Dari paparan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa metode pendidikan adalah seperangkat cara, jalan, dan teknik yang digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran agar siswa dapat mencapai tujuan pembelajaran atau menguasai kompetensi tertentu yang dirumuskan dalam silabi mata pelajaran yang sudah direncanakan sebelumnya. Abdullah Nashih Ulwan (1999: 141-142) membagi metode pendidikan menjadi lima yaitu: 1) pendidikan dengan keteladanan, 2) pendidikan dengan adat kebiasaan, 3) pendidikan dengan nasehat, 4) pendidikan dengan memberikan perhatian, dan 5) pendidikan dengan memberikan hukuman. Untuk lebih jelasnya, kelima metode tersebut dijelaskan sebagai berikut. 
Pertama, keteladanan/model, merupakan metode pembinaan yang sangat berpengaruh terhadap sebuah proses pembinaan akhlak mulia. Metode keteladanan ini merupakan inti dari metode pembinaan akhlak mulia, sehingga Rasulullah saw. diutus Allah swt. kedunia ini untuk menyampaikan risalah samawi kepada umat manusia, di mana Rasulullah saw. adalah sebagai seorang pendidik yang mempunyai sifat-sifat luhur, baik spiritual, akhlak, maupun intelektual. Sehingga umat manusia meneladaninya, belajar darinya, memenuhi panggilannya, menggunakan metodenya dalam hal kemuliaan, keutamaan dan akhlak yang terpuji.
Pentingnya pembinaan akhlak mulia dengan metode keteladanan ini diungkapkan oleh Massialas & Allen (1996: 169) yang menyatakan bahwa:
The teacher must be a model for the behaviors expected of the students children’s attention must be drawn to the appropriate behaviors as manifested in their social world, and teachers must explain, in language that children understand, the reasons for appropriate behavior. The teacher is not the only source of models. Literature, film, peers, and the actions of others also serve as models.

Dengan demikian, guru harus bisa menjadi model bagi perilaku yang diharapkan dari perhatian siswa, terutama dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat dipraktikkan siswa dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, guru juga harus bisa menjelaskan kepada siswa alasan mengapa melakukan tindakan yang benar. Meskipun disadari bahwa banyak sumber yang dapat dijadikan sebagai model dalam pembinaan akhlak mulia siswa seperti sastra, film, teman sebaya, dan tindakan orang lain juga berfungsi sebagai model.
Metode keteladanan dapat dipandang sebagai metode yang paling utama dalam melakukan pembinaan akhlak mulia. Ketika siswa menemukan pada diri guru teladan yang baik dalam segala hal, maka siswa telah meneguk prinsip-prinsip kebaikan yang dalam jiwanya akan membekas berbagai akhlak mulia. Jika guru menginginkan siswanya tumbuh dan berkembang dalam kejujuran, amanah, menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak diridai agama, kasih sayang, maka hendaklah seorang guru memberikan keteladanan yang baik pula bagi siswanya.
Kedua, pembinaan dengan adat kebiasaan, ini maksudnya bahwa pada diri siswa sudah terdapat fitrah atau tauhid yang murni, agama yang benar dan iman kepada Allah swt. Ini artinya, dalam proses pembinaan akhlak mulia siswa, hendaknya dilakukan dengan tetap membiasakan siswa untuk terus menerus melakukan hal-hal yang baik yang sesuai dengan fitrah manusia yang suci sejak dilahirkan.
Tidak ada yang menyangkal bahwa anak akan tumbuh dengan iman yang benar, berhiaskan diri dengan akhlak mulia, bahkan sampai pada puncak nilai-nilai spiritual yang tinggi, dan kepribadian yang utama, jika anak hidup dengan dibekali dengan dua faktor, yaitu: pendidikan Islami yang utama dan lingkungan yang baik (Abdullah Nashih Ulwan, 1999: 185-186). Dengan demikian, penerapan metode pembiasaan ini sangat penting untuk tetap menjaga eksistensi siswa dalam menerapkan akhlak mulia yang telah dipelajari.
Ketiga, pembinaan dengan nasihat, ini merupakan salah satu metode yang cukup berhasil dalam proses pembinaan akhlak mulia siswa, yang dilakukan dengan memberikan nasihat-nasihat yang di dalamnya mengandung nilai-nilai akhlak mulia. Ini disebabkan karena nasehat dan petuah memiliki pengaruh yang cukup besar dalam membentuk kesadaran siswa akan hakikat sesuatu, mendorong siswa menuju harkat dan martabat yang luhur, menghiasinya dengan akhlak yang mulia, serta membekalinya dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan demikian, metode nasihat ini merupakan metode yang lebih bersifat dialogis kepada siswa, sehingga siswa akan dapat memiliki landasan yang kuat dalam menerapkan nilai-nilai akhlak mulia yang telah dipelajari.
Keempat, pembinaan dengan perhatian/pengawasan, di sini pembinaan akhlak mulia dilakukan dengan senantiasa mencurahkan perhatian penuh dan mengikuti perkembangan aspek akidah dan moral siswa, mengawasi dan memperhatikan kesiapan mental dan sosial siswa, di samping selalu bertanya tentang situasi pendidikan jasmani dan kemampuan ilmiahnya (Abdullah Nashih Ulwan, 1999:  275).
Dalam penerapan metode pengawasan ini guru harus bekerja maksimal dalam proses pembinaan akhlak mulia, karena selain melaksanakan pembinaan akhlak mulia di dalam kelas, guru juga harus tetap melakukan pengawasan dan perhatian terhadap siswanya ketika berada di luar kelas. Sehingga dengan demikian, hasil pembinaan akhlak mulia yang diharapkan dapat tercapai secara maksimal. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa metode pembinaan akhlak mulia dengan perhatian ini lebih menekankan pada pemahaman guru terhadap aspek perkembangan dan psikologis siswa dalam melalukan pembinaan akhlak mulia siswa, sehingga guru tahu bagaimana melakukan pembinaan akhlak mulia yang dapat dipahami dan mudah diaplikasikan oleh siswa.
Kelima, pembinaan dengan hukuman, merupakan metode pembinaan yang menekankan kedisiplinan dan menanamkan rasa tanggung jawab pada diri siswa oleh guru. Pemberian hukuman yang dimaksudkan bukan didasarkan atas dasar kekerasan dan tindakan yang melanggar harkat dan martabat manusia. Metode yang dipakai pada pendidikan Islam dalam upaya memberikan hukuman kepada siswa menurut Abdullah Nashih Ulwan (1999: 312) antara lain dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
a.       Lemah lembut dan kasih sayang
b.      Menjaga tabiat siswa yang salah dalam menggunakan hukuman
c.       Dalam upaya pembenahan, hendaknya dilakukan secara bertahap, dari yang paling ringan hingga yang paling keras. 
Metode Pembinaan akhlak mulia dengan pemberian hukuman kepada siswa, dalam hal ini Rasulullah saw. memberikan batasan langkah-langkah yang harus ditempu antaralain, yaitu:
a.       Menunjukkan kesalahan dengan pengarahan.
b.      Menunjukkan kesalahan dengan ramah tamah.
c.       Menunjukkan kesalahan dengan memberikan isyarat.
d.      Menunjukkan kesalahan dengan kecaman.
e.       Menunjukkan kesalahan dengan memutuskan hubungan.
f.       Menunjukkan kesalahan dengan memberikan hukuman yang membuat jera.
g.      Menunjukkan kesalahan dengan memukul.
Perlu diingat oleh para guru bahwa ketika pendidikan Islam menetapkan hukuman dengan pukulan, Islam juga memberikan batasan dan persyaratan, sehingga pukulan yang dilakukan guru terhadap siswanya hendaknya tidak keluar dari maksud pendidikan, yaitu untuk memperbaiki akhlak siswa yang telah melakukan pelanggaran dan membuat jera. Adapun persyaratan yang dimaksud menurut Abdullah Nashih Ulwan (1999: 325-327) sekurangnya ada delapan poin yang harus diperhatikan guru, yaitu:
a.       Guru tidak boleh terburu-buru menggunakan metode pukulan, kecuali setelah menggunakan metode yang lembut, mendidik dan membuat jera.
b.      Guru tidak boleh memukul ketika dalam keadaan sangat marah, karena dihawatirkan dapat menimbulkan bahaya terhadap siswa.
c.       Guru ketika memukul hendaknya menghindari anggota badan yang peka seperti kepala, wajah, dada, dan perut.
d.      Pukulan untuk hukuman hendaknya tidak terlalu keras dan tidak menyakiti.
e.       Tidak memukul siswa sebelum ia berusia sepuluh tahun.
f.       Jika kesalahan siswa adalah untuk pertama kalinya, hendaknya diberi kesempatan untuk bertaubat dan meminta maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan yang telah diperbuat.
g.      Guru hendaknya memukul siswa dengan tangannya sendiri, dan tidak menyerahkan kepada saudara-saudaranya, atau teman-temannya.
h.      Jika siswa sudah menginjak usia dewasa dan guru melihat pukulan sepuluh kali tidak membuatnya jera, maka boleh menambah dan mengulanginya, sehingga siswa menjadi baik kembali.
Dengan demikian dapat didiketahui bahwa pembinaan akhlak mulia yang dilakukan dengan pemberian hukuman ini bukan didasarkan atas perasaan kebencian dan kejahatan, akan tetapi pemberian hukuman semata-mata dilakukan dengan tetap secara lemah lembut dan kasih sayang kepada pada siswa. Dalam pemberian hukuman kepada siswa, juga tetap dilakukan dengan berusaha menjaga tabiat siswa yang bersalah, serta dilakukan dengan secara bertahap.
Kelima metode pembinaan akhlak mulia yang telah dijelaskan tersebut, dapat diketahui bahwa dalam melaksanakan pembinaan akhlak mulia siswa, semua metode tersebut dapat diterapkan baik secara bersamaan maupun secara tersendiri sesuai dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan siswa. Perlunya pertimbangan kondisi dalam menerapkan metode yang akan diterapkan disebabkan karena bagaimanapun juga tidak ada satu metode yang paling baik, semuanya tetap harus di sesuaikan dengan kondisi yang dihadapi oleh guru.
Untuk mendapatkan hasil pembinaan akhlak mulia yang lebih maksimal, tentu akan sangat mungkin dicapai dengan melakukan pembinaan akhlak mulia dengan metode komprehensif. Artinya, semua metode tersebut dilakukan secara terpadu. Dalam hal ini Kirschenbaum berpendapat bahwa, pada dasarnya pendekatan komprehensif dalam pendidikan nilai (akhlak mulia) itu dapat ditinjau dari metode yang digunakan yang meliputi: 1) inkulkasi (inculcation), 2) keteladanan (modeling), 3) fasilitasi (facilitation), dan 4) pengembangan keterampilan (skill building). (Darmiyati Zuchdi, 2008: 46). Untuk lebih jelasnya metode tersebut dijelaskan sebagai berikut:
Inkulkasi atau penanaman nilai merupakan metode yang bertolak belakang atau bertentangan dengan metode indoktrinasi yang selama ini banyak dikritik oleh para ilmuan dan tokoh pendidikan. Modeling, adalah metode penanaman nilai yang dilakukan dengan dua syarat yang harus dipenuhi yaitu guru harus bisa berperan sebagai model yang baik bagi siswanya dalam artian bahwa sebelum mengajarkan nilai-nilai akhlak mulia kepada siswa, guru terlebih dahulu yang harus mempraktikkan atau melakukan akhlak mulia tersebut, selanjutnya siswa harus mau meneladani sifat-sifat serta akhlak mulia yang telah dicontohkan oleh guru. Facilitation, dalam metode ini penanaman nilai-nilai akhlak mulia pada siswa dilakukan dengan melatih siswa untuk mengatasi masalah,  dan yang terpenting dari metode ini adalah pemberian kesempatan kepada siswa, sehingga akan memberikan dampak positif pada perkembangan kepribadian dan dapat meningkatkan hubungan baik antara siswa dan guru, sebagaimana diungkapkan Kirschenbaum (1994: 41):
Facilitation activities can significantly enhance your rapport with students. If you listen well to students, it is more likely that they will listen well to you. Students appreciate verymuch being given the real respect of having their views and opinions heard and understood. This, in turn greatly increases your credibility as a values inculcator and role model.
Skill building (membangun keterampilan) merupakan metode pembinaan akhlak mulia yang dilakukan dengan mengembangkan keterampilan siswa yang diperlukan agar dapat mengamalkan nilai-nilai akhlak mulia yang telah dipelajari, sehingga berperilaku konstruktif dan berakhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari yang meliputi: berpikir kritis dan kreatif, berkomunikasi secara jelas, mampu menyelesaikan konflik, dan lain sebagainya.
Penerapan sebuah metode oleh guru tentunya didasari atas dasar berbagai pertimbangan. Menurut Walsh (Abeer Al-Hooli & Zaid Al-Shammari, 2009: 2) menyatakan bahwa:
Teaching is an art. However many skills go into it, as do so many skills go into an artist's efforts, the decisions that must be made about when and how to combine these skills; the knowledge to do this is not a technical skill. No doubt it can be learned, but it also comes from one's underlying beliefs and passions about children and the world.

Dengan demikian, pembinaan yang dilakukan oleh guru dapat dipandang sebagai sebuah seni, yaitu bagaimana seorang guru harus bisa mengambil keputusan tentang kapan dan bagaimana untuk dapat menggabungkan keterampilan dan pengetahuan untuk dapat memberikan pembinaan akhlak mulia kepada siswa sesuai dengan kondisi dan tingkap perkembangan siswa, agar proses pembinaan akhlak mulia yang dilakukan dapat berjalan secara efektif.
Penerapan metode komprehensif dalam proses pembinaan akhlak mulia siswa di sekolah, tentunya menuntut keterlibatan semua pihak yang ada dilingkungan sekolah untuk dapat mencapai tujuan pembinaan akhlak mulia yang diharapkan. Ini juga tentunya tidak terlepas dari peran lingkungan yang ada di luar sekolah, seperti keluarga, masyarakat, teman sebaya dan media massa. Dengan demikian, dalam proses pembinaan akhlak mulia siswa, sekolah dituntut agar senantiasa bekerja sama dengan orang tua dan masyarakat. Dalam hal ini Dobson (1997) mengungkapkan:
Stated that "respectful and responsible children result from families where the proper combination of love and discipline is present. Both these ingredients must be applied in the necessary quantities. An absence of either is often disastrous." An effective educational environment exists when staff, students, and families work together in an atmosphere of mutual trust and respect. Respect must be permeated from within the home and the classroom (Diambil pada Tgl 01 Juli 2010, dari  http://findarticles.com/p/articles/).

Dari pendapat Dobson tersebut, dapat diketahui bahwa terciptanya akhlak mulia siswa seperti adanya saling hormat menghormati, rasa tanggung jawab, saling mencintai, kedisiplinan, semuanya itu terjadi sebagai hasil dari adanya lingkungan yang efektif ketika staf, siswa, dan keluarga sama-sama berada dalam suasana saling percaya dan menghormati. Semuanya juga harus diserap dari dalam dan luar lingkungan sekolah, yakni keluarga dan masyarakat secara umum.
Berdasarkan pemaparan pendapat para ahli tentang metode pembinaan akhlak/karakter yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam proses pembinaan akhlak mulia siswa banyak aspek yang harus diperhatikan dalam menerapkan sebuah metode, seperti karakteristik siswa, kebutuhan siswa, dan kondisi kultur sekolah. Dengan demikian, maka metode yang harus diterapkan adalah metode yang dapat merangkul semua aspek yang dapat mempengaruhi proses pembinaan akhlak mulia siswa, sehingga metode yang paling tepat untuk diterapkan adalah metode yang bersipat komprehensif yang mengarah pada pencapaian aspek kognitif, apektif, dan psikomotorik siswa.
Share this article :

0 komentar:

 
Support : Berbagi | AULIA | Mikaila
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. DARIKU UNTUKMU - All Rights Reserved