Pada tingkat
sekolah, kepala sekolah dapat didefinisikan sebagai seorang tenaga fungsional
guru yang diberikan tugas untuk memimpin suatu sekolah tempat diselenggarakannya
proses belajar mengajar, atau tempat terjadinya interaksi antara guru yang
memberi pelajaran dan siswa yang menerima pelajaran (Wahjosumidjo, 2005: 83).
Definisi tersebut menunjukkan bahwa kepemimpinan setidaknya mencakup tiga hal
yang saling berhubungan, yaitu adanya pemimpin dan karakteristiknya, adanya
pengikut, serta adanya situasi kelompok tempa pemimpin dan pengikut
berinteraksi (E. Mulyasa, 2009: 108).
Kepala sekolah
merupakan figur kunci dalam mendorong perkembangan dan kemajuan sekolah. Kepala
sekolah adalah seseorang yang menentukan titik pusat dan irama suatu sekolah
(Wahjosumidjo, 2005: 82), sekaligus sebagai pemegang pimpinan dan penentu
kebijakan yang akan diterapkan di sekolah. Dengan demikian, kepala sekolah
memiliki tugas dan tanggung jawab secara penuh terhadap perkembangan dan
kelangsungan dari sekolah yang dipimpinnya.
Sebagai pemegang
puncak kepemimpina, kepala sekolah tidak hanya meningkatkan tanggung jawab dan
otoritasnya dalam program-program sekolah, kurikulum dan keputusan personel,
tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan akuntabilitas
keberhasilan siswa dan programnya (Nurholis, 2006: 119). Kesemuanya itu
merupakan fungsi yang harus dijalankan oleh seorang kepala sekolah dalam
melaksanakan tugasnya.
Terkait tugas
seorang kepala sekolah E. Mulyasa (2009: 98), mengemukakan bahwa tugas kepala
sekolah meliputi sembilan komponen yang disingkat dengan EMASLIM-FM. Untuk
lebih jelasnya semua tugas kepala sekolah tersebut berikut dijelaskan lebih
rinci.
a.
Evaluator,
dalam hal ini kepala sekolah harus melakukan langkah awal, yaitu melakukan
pengukuran seperti kehadiran, kerajinan guru dan siswa, administrator sekolah
dan siswa. Dari hasil pengukuran ini kemudian dijadikan dasar untuk melakukan
evaluasi. Evaluasi yang bisa dilakukan misalnya terhadap program, perlakuan
guru terhadap siswa, hasil belajar, perlengkapan belajar, dan lain sebagainya.
b.
Manager,
dalam hal ini kepala sekolah harus memerankan fungsi manajerial dengan
melakukan beberapa proses, yaitu: 1) perencanaan, ini berkaitan dengan
penetapan tujuan dan bagaimana strategi untuk mencapai tujuan tersebut, 2)
pengorganisasian, ini berkaitan dengan bagaimana mendesain dan membuat struktur
organisasi, termasuk memilih serta menentukan orang-orang yang berkompeten
dalam bidang organisasi yang sudah dirancang, 3) menggerakkan, ini menyangkut
bagaimana mempengaruhi orang lain agar bersedia menjalankan tugas secara
sukarela dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan, dan 4) mengontrol, ini
terkait bagaimana membandingkan apakah program yang sudah dilaksanakan telah
sesuai dengan yang direncanakan.
c.
Administrator,
dalam hal ini kepala sekolah memiliki dua tugas utama yaitu: 1) sebagai pengendali
struktur organisasi, yaitu mengendalikan bagaimana cara pelaporan, dengan siapa
tugas tersebut harus dikerjakan dan dikonsultasikan, 2) melaksanakan
administrasi substantif yang mencakup administrasi kurikulum, kesiswaan,
personalia, keuangan, sarana dan prasarana, hubungan dengan masyarakat, dan
administrasi umum.
d.
Supervisor,
dalam hal ini kepala sekolah berkewajiban untuk memberikan pembinaan atau
bimbingan kepada para guru dan semua staf atau administrator yang ada di
sekolah.
e.
Leader,
dalam hal ini kepala sekolah harus mampu menggerakkan orang lain agar secara
sadar dan sukarela melaksanakan kewajiban secara professional sesuai yang
diharapkan pimpinan dalam rangka mencapai tujuan yang sudah dirancang
sebelumnya.
f.
Inovator,
dalam hal ini kepala sekolah harus berusaha untuk melaksanakan inovasi terhadap
pelaksanaan pendidikan di sekolah yang dipimpin berdasarkan prediksi-prediksi
yang dilakukan sebelumnya.
g.
Motivator,
dalam hal ini kepala sekolah harus bisa memberikan motivasi kepada para guru
dan staf administrator yang ada di sekolah, sehingga mereka bisa tetap
bersemangat dan bergairah dalam menjalankan tugasnya dalam rangka meningkatkan
mutu pendidikan serta mencapai tujuan yang diharapkan.
h.
Figur,
dalam hal ini kepala sekolah harus mampu menjadikan dirinya sebagai sosok yang
patut dicontoh serta diikuti oleh semua siswa, guru dan staf yang dipimpinnya,
dengan demikian kepala sekolah akan lebih dicintai dan dihormati. Ini akan
dapat menciptakan hubungan yang harmonis antara kepala sekolah dengan siswa,
guru dan semua staf yang dipimpin.
i.
Mediator,
dalam hal ini kepala sekolah harus bisa menjadi mediator bagi semua guru dan
staf yang dipimpin, terutama dalam menyelesaikan dan mencari solusi setiap masalah
yang dihadapi dalam melaksanakan tugas. Dengan demikian terjalin kerjasama
antar semua elemen yang ada di sekolah dan tidak terjadi kesalah-pahaman
terutama dalam mengerjakan tugas.
Dari paparan
tersebut di atas, terlihat jelas bahwa tugas kepala sekolah sangat kompleks.
Sebagai pemegang wewenang dalam menerapkan berbagai kebijakan, tentunya kepala
sekolah harus melibatkan semua elemen yang ada di lingkungan sekolah dan luar
sekolah, seperti orang tua siswa
dan
tokoh masyarakat. Sehingga dengan demikian tanggung jawab atas pembinaan akhlak
mulia siswa merupakan tanggung jawab bersama, tidak terbatas hanya pada kepala
sekolah dan guru mata pelajaran.
Dalam upaya
mengoptimalkan semua elemen dan sumberdaya yang ada di sekolah untuk mencapai
tujuan pembinaan akhlak mulia siswa, dibutuhkan manajemen pengelolaan yang
mantap dan tepat untuk diterapkan oleh kepala sekolah. Dalam hal ini manajemen
pendidikan diartikan sebagai segala sesuatu yang berkenaan dengan pengelolaan
proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, baik tujuan
jangka pendek, menengah, maupun tujuan jangka panjang (E. Mulyasa, 2009: 20).
Manajemen
pengelolaan merupakan komponen integral dan tidak dapat dipisahkan dari proses
pendidikan secara keseluruhan. Ini disebabkan karena tanpa adanya manajemen
yang baik tentu tujuan pendidikan tidak dapat diwujudkan secara optimal,
efektif, dan efisien. Dengan demikian, timbullah kesadaran akan pentingnya
manajemen berbasis sekolah (MBS), yang memberikan kewenangan penuh kepada sekolah
dan guru dalam mengatur pendidikan dan pengajaran, merencanakan,
mengorganisasi, mengawasi, mempertanggungjawabkan, mengatur, serta memimpin
sumber-sumber daya manusia serta barang-barang untuk membantu pelaksanaan
pembelajaran yang sesuai degnan tujuan sekolah (E. Mulyasa, 2009: 20).
Penerapan
manajemen berbasis sekolah (MBS) di sekolah diharapkan dapat meningkatkan
kualitas pendidikan secara umum baik itu menyangkut kualitas pembelajaran,
kualitas kurikulum, kualitas sumber daya manusia baik guru maupun tenaga
kependidikan lainnya, dan kualitas pelayanan pendidikan secara umum (Nurholis,
2006: 23-24). Karena tujuan utama manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah
meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan (E. Mulyasa, 2009: 13).
Peningkatan efisiensi
dalam manajemen berbasis sekolah (MBS) dapat diperoleh melalui keleluasaan
sekolah dalam mengelola sumber daya yang dimiliki, partisipasi masyarakat, dan
penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang
tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan profesionalisme guru, adanya
hadiah dan hukuman sebagai kontrol, serta hal lain yang dapat menumbuhkan
suasana lingkungan sekolah yang kondusif. Pemerataan pendidikan dapat diperoleh
melalui usaha menumbuhkan partisipasi aktif dari masyarakat, terutama yang
mampu dan peduli, sementara yang kurang mampu akan menjadi tanggung jawab
pemerintah. Dengan demikian ini diharapkan dapat mengurangi kesenjangan
kesempatan memperoleh pendidikan bagi anggota masyarakat.
Dari paparan teori yang dikemukakan
oleh para ilmuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai hasil
belajar sesuai dengan yang diharapkan tidak terlepas dari peran semua elemen yang terkait
dengan pendidikan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sehingga dengan
demikian, maka penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS) tepat untuk
digunakan, karena sesuai dengan tuntutan dunia pendidikan moderen sekarang ini
yang membutuhkan adanya kerja sama yang saling terpadu untuk menunjang
terciptanya proses pendidikan yang kondusif bagi siswa. Ini sangat menunjang
proses pembinaan akhlak mulia siswa agar sesuai dengan tujuan pendidikan
Nasional yaitu terciptanya manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang
Maha Esa.
0 komentar:
Posting Komentar