Headlines News :
Home » » PENDIDIKAN KARAKTER

PENDIDIKAN KARAKTER

Written By mikailahaninda.blogspot.com on Senin, 09 Februari 2015 | 11.11


MEMBANGUN KARAKTER BANGSA 
MELALUI PENDIDIKAN DENGAN MODEL ESQ 165

A.    LATAR BELAKANG
Akhir-akhir ini banyak orang mulai gelisah terhadap perilaku kehidupan masyarakat bangsa ini. Para elitenya banyak yang korup, mulai dari tingkat pemerintah pusat sampai pemerintah di daerah. Berbagai berita korupsi hamper menjadi sarapan pagi bagi pemirsa TV dan pendengan radio, media cetak pun tidak ketinggalam memberitakan berbagai kasus korsi. Hal ini menunjukkan bahwa seolah-olah tidak ada lagi yang tersisa dan bertahan yang disebut jujur, adil, tanggung jawab dan memiliki integritas yang tinggi.  
Dunia pendidikan yang seharusnya menjadi tauladan, selalu menjaga prinsip-prinsip moral, ternyata juga tidak terlepas dari sorotan negatif. Terungkapnya ijazah palsu, proses pendidikan yang dijalankan apa adanya, kenaikan jabatan akademik yang tidaik semestinya, bahkan terdengar ada plagiasi  karya ilmiah yang dilakukan oleh seorang Doktor dan bahkan juga Guru Besar. Ini juga menandakan bahwa betapa rusak dan memperihatinkannya karakter bangsa ini.
Penomena yang lebih memprihatinkan lagi, adalah terjadinya kenalakan remaja dimana-mana, tawuran antar pelajar sering terjadi, penggunaan narkoba, seks bebas, video porno, dan berbagai perbuatan anarkis lainnya sering terjadi. Hal ini cukup membuktikan bahwa kemerosotan moral anak bangsa ini sudah sangat parah dan menuntut adanya pemulihan dan pencegahan yang cepat dan tanggap.
Menurut Asri Budiningsih (2004: 1) masyarakat Indonesia saat ini mengalami perubahan tatanan yang ditandai dengan berbagai tindakan dan sikap yang muncul, berupa: 1) Makin jarang dan rendahnya kualitas, kominikasi antara orang tua dan anaknya, antara lain akibat semakin meningkatnya jumlah orang tua yang bekerja di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin maju; 2) Norma dan kehidupan masyarakat yang bercirikan ketidakdisiplinan dan kesemrawutan tatanan kehidupan yang ril serta berbagai penyimpangan nilai moral.
Berbagai tindakan amoral semakin merebak di masyarakat, bukan hanya di daerah perkotaan tetapi juga sampai pada daerah pelosok negeri ini. Pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, penipuan, pengkonsumsian obat-obatan terlarang dikalangan pelajar pun sering terjadi. Ini menggambarkan betapa hancurnya akhlak generasi muda Indonesia saat sekarang ini.
Akhir-akhir ini terlihat bahwa hampir seluruh  kehidupan sudah diwarnai oleh suasana yang bersifat transaksional. Segala sesuatu diukur  dengan uang, bahkan hingga ceramah-ceramah keagamaan pun tidak berjalan jika tidak tersedia dana untuk menyelenggarakannya. Tidak terkecuali dalam bidang politik. Seorang calon pejabat  mulai dari kepala desa,  bupati, wali kota, gubernur, DPRD dan DPR, sampai presiden, mereka harus menyiapkan dana kampanye. Kenyataan seperti ini menjadikan orang berbuat sesuatu hanya bisa digerakkan  dengan kekuatan uang bukan kesadaran moral, nilai-nilai, atau dorongan fitrah yang ada pada diri tiap manusia.  
Berbagai pnomena tersebut semakin mempersulit untuk membangun karakter bangsa. Para pahlawan terdahulu bangsa ini dikenal   ramah, suka berkorban, peduli, suka bergotong-royong, dan tolong-menolong antar sesama. Budaya tersebut terkikis oleh hadirnya budaya transaksional yang menjadikan bangsa  ini mengalami perubahan yang luar biasa,  dan  itu berjalan  sangat cepat.
Nilai-nilai karakter bangsa yang dirindukan di tengah-tengah masyarakat bangsa ini adalah adanya pemimpin yang mengayomi, anak yang hormat kepada guru dan orang tua, tidak terpecah belah terkait dengan jabatan dan harta, ini seolah hal yang rasanya sudah sangat sulit didapatkan lagi. Sifat individualisme, materialisme dan hedonisme, dalam berbagai bentuk  mewarnai kehidupan bangsa Indonesia saat  ini, tidak saja di kota bahkan hingga ke pelosok negeri ini.
Berbagai penomena kehancuran moral yang terjadi pada bangsa Indonesia saat ini, menjadikan berbagai pihak lebih-lebih dalam dunia pendidikan, merasa tergugah untuk melakukan upaya-upaya mencari bentuk,  dan usaha bagaimana mengembalikan jati diri bangsa yang dahulu dikenal sebagai bangsa yang berakarakter. Untuk melakukan revitalisasi pendidikan karakter bangsa, diperlukan model pendidikan  karakter yang tepat. Permasalahannya sekarang adalah, model pendidikan karakter seperti apa yang sekiranya mampu mengembalikan karakter dasar bangsa ini yang sduah terkikis bahkan hampir habis.

B.     PEMBAHASAN
1.      Pendidikan Karakter Bangsa Dengan Model ESQ 165
Pendidikan pada dasarnya adalah untuk memanusiakan manusia, ini artinya pendidikan pada hakikatnya diharapkan untuk membantu siswa bagaimana memahami dan mengenali dirinya sendiri. Pendidikan yang dilakukan hendaknya mengarahkan siswa bagaimana bertindak dan bersikap sesuai dengan harkat dan martabat atau sesuai dengan fitrah manusia yang sejak dilahirkan adalah identik dengan kebaikan.
Dalam kitab suci al-qur’an terkait dengan pendidikan dijelaskan pada QS. Al-Jumu’ah ayat 2 yang artinya:
“Dialah Tuhan yang telah mengutus kepa kaum ummi (buta huruf) seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, (berjuang) mensucikan mereka, serta mengajarkan mereka kitab dan hikmah (As-Sunnah). Sesungguhnya mereka sebelum diutusnya Muhammad benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
Dari paparan ayat tersebut, jelas kiranya bahwa pendidikan yang sesungguhnya adalah tidak terlepas dari nilai kebenaran yang bersumber dari Allah swt, yang diwahyukan kepada para nabi dan rasul-Nya untuk diajarkan kepada ummat manusia. Sebagaimana kita ketahui bahwa misi dari semua nabi dan rasul adalah menyeru atau mengajak berbuat kebaikan sesuai perintah Allah swt.
Namun yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia sekarang ini adalah, terjadinya berbagai bentuk degradasi moral, yang terjadi dalam segala segi dan semua elemen dalam bangsa ini. Berbagai kasus korupsi, pembunuhan, kecurangan, pencabulan, tawuran antar pelajar, pemakaianobat-obatan di kalangan siswa merupakan phenomena yang sudah menjadi pemandangan yang tidak asing lagi pada bangsa ini, ini menandakan betapa rusaknya karakter bangsa ini.
Menyikapi berbagai bentuk degradasi moral dan kemerosotan karakter bangsa tersebut, diperlukan penanganan yang intensif dan efektif untuk mengatasinya. Salah satu yang lembaga yang dapat berperan secara aktif dalam membangun karakter bangsa adalah melalui dunia pendidikan, sehingga itu sebabnya sekarang ini digalakkan pendidikan karakter.
Untuk melakukan kegiatan pendidikan karakter bangsa, tentunya tidak semudah membalik telapak tangan. Banyak faktor yang harus diperhatikan, baik itu faktor yang terdapat dalam internal pendidikan itu sendiri maupun faktor yang datang dari luar pendidikan karakter itu sendiri. Faktor yang datang dari dalam seperti pendidik yang kurang professional, sarana-prasarana yang menunjang, materi yang harus disiapkan dan dirancang secemikian rupa, media yang akan digunakan dll. Faktor dari luar disini seperti lingkungan keluarga, lingkunga masyarakat, teman sebaya, media dll.
Untuk mengantisipasi berbagai tantangan yang menyebabkan dan menghalangi terciptanya karakter bangsa, disini dapat diterapkan sebuah model yang mengedepankan pembangunan karakter secara utuh yang tidak hanya dalam bentuk nilai angka dan hafalan, tetapi juga dapat dirasakan. Inilah model ESQ 165 yang dirancang oleh Ary Ginanjar Agustian, yang sumber utamanya adalah berdasarkan fitrah dan suara hati yang bersumber dari Tuhan.
Secara sederhana model pendidikan karakter bangsa dengan model ESQ 165, ini dilandasi nilai-nilai Ketuhanan yang bersifat universal yang bersumber pada 99 sifat Allah swt. yang terangkum dalam sifat Asma’ul Hhusna. Keseluruhan dari sifat Allah swt, tersebut diharapkan akan dapat dipahami dan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Model ESQ 165 ini pertama-tama dimulai dari bagaimana mengenalkan konsep Ketuhanan yang mutlak (spiritual), bahwa pada dasarnya segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi ini adalah ada yang menciptakannya. Pencipta dari segala sesuatu itu adalah Allah swt, dan kepada-Nyalah segala sesuatu akan kembali. Ini diharapkan akan dapat membentuk kesadaran akan adanya keberadaan Allah swt, yang memiliki dan menetapkan segala sesuatu yang ada. Oleh Ary Ginanjar Agustian menyebutnya sebagai God Spot.
Langkah selanjutnya yang dilakukan dalam model ESQ 165 adalah membangun mental (mental building). Ini dilakukan dengan enam prinsip yang dilandasi dari rukun iman yang enam.
1)      Star principle
Prinsip ini adalah prinsip yang pertama yang harus dilakukan atau ditanamkan dalam diri setiap orang. Pada prinsip ini diharapkan tumbuh nilai-nilai Tauhid yang dapat menumbuhkan rasa aman dan ketenangan diri, kepercayaan diri yang tinggi, serta didukung oleh motivasi yang tinggi dalam melakukan berbagai hal yang positif. akan tetapi kesemuanya itu tidak akan bermakna apabila tidak didukung atau dilandasi oleh iman yang kokoh, yang dibangun dengan prinsip dasar yang kokoh yaitu kesadaran bahwa segala sesuatu itu hanyalah milik Allah dan kepada Allah segalanya harus diserahkan. Selanjutnya diikuti dengan memuliakan dan menjaga sifat-sifat Allah swt pada diri manusia, dengan selalu berzikir Laa Ilaaha Illallaah (Ary Ginanjar Agustian, 2009: 123).
2)      Prinsip Malaikan (Angel Principle)
Prinsip ini didasari pada usaha untuk meneladani bagaimana sifat-sifat yang dimiliki para malaikat yang mengemban tugas yang diberikan Allah swt. Salah satu sifat malaikat yang harus dicontoh adalah integritas dan loyalitas dalam menjalankan tugas yang diemban. Ini sangat penting dalam membangun karakter bangsa, sebab kalau integritas dan loyalitas sudah hilang pada diri manusia, maka kehancuran akan terjadi yang disebabkan berbagai tindakan yang tidak bertanggung jawab, seperti korupsi uang Negara, menyalahgunakan jabatan, berbohong untuk kepentingan pribadi dan golongan, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu akan dapat menghancurkan karakter suatu bangsa.
Menurut Ary Ginanjar Agustian pentingnya meneladani sifat malaikat ini diharapkan akan dapat menghasilkan manusia yang memiliki tingkat loyalitas tinggi, komitmen yang kuat, memiliki kebiasaan untuk mengawali dan member, suka menolong dan memiliki sikap saling percaya (Ary Ginanjar Agustian, 2009: 140).
3)      Prinsip Kepemimpinan (Leadership Principle)
Prinsip ini didasari pada tugas utama manusia diciptakan di muka bumi ini, yaitu sebagai khalifah. Dalam hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan Tirmizi, Abu Daud, Bukhari dan Muslim, bahwasanya Rasulullah saw bersabda yang artinya “Setiap orang dari kamu adalah pemimpin dan kamu bertanggung jawab terhadap kepemimpinan itu”.
Prinsip kepemimpinan ini sangat perlu dibangun dalam membangun karakter bangsa, sebab kepemimpinan ini akan sangat menentukan kemajuan dan kemunduran dari suatu bangsa. Dalam prinsip kepemimpinan ini sekurangnya ada lima tangga kepemimpinan yang dapat diterapkan yaitu: pemimpin yang dicintai, pemimpin yang dipercaya, pemimpin yang bisa membimbing, pemimping yang berkepribadian, dan pemimpin yang abadi.
Dari kelima tangga kepemimpinan tersebut, tangga kepemimpinan yang terakhir adalah yang paling sempurna yaitu pemimpin yang abadi, ini dapat dicontoh dari kepemimpinan para nabi dan rasul. Prinsip kepemimpinan ini dimaksudkan untuk memahami hakikat pemimpin yang abadi atau pemimpin yang baik adalah pemimpin yang selalu mencintai dan member perhatian kepada orang lain, sehingga ia dicintai. Memiliki integritas yang kuat, sehingga dia dipercaya pengikutnya. Dapat membinbing dan mengajari yang dipimpin serta memiliki kepribadian yang kuat dan konsisten dengan tetap melaksanakan prinsip kepemimpinannya berdasarkan suara hati yang fitrah atau suci (Ary Ginanjar Agustian, 2009: 167).
4)      Prinsip Pembelajaran (Learning Principle)
Prinsip ini didasari pada perintah dari Allah swt, yaitu perintah untuk membaca yang eksistensi pemaknaannya sangat luas. Tidak hanya membaca sesuatu yang nyata berupa tulisan, akan tetapi membaca makna yang tersimpan dibalik segala sesuatu yang diciptakan Allah swt. Ini ditegaskan dalam firman Allah swt dalamm surah Ar-Ruum ayat 22 yang artinya “Dan di antara tanda-tanda (Kebesaran-Nya) ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasa-bahasa dan warna (kulit) kamu. Sungguh, dalam yang demikian itu, adalah bukti bagi orang-orang yang mengetahui”.
Prinsip ini sangat penting untuk membangun bangsa yang berkarakter pembelajar yang selalu melakukan perbaikan kearah yang lebih baik. Tujuan utama dari prinsip pembelajaran ini adalah bagaimana membangun kebiasaan membaca buku dan membaca situasi serta peluang dengan cermat. Berpikir kritis dan mendalam terhadap segala sesuatu baru selanjutnya melakukan evaluasi atas tindkan dan pemikiran tersebut untuk tetap terbuka atas kekurangan yang dimiliki agar dapat menyempurnakannya kembali, untuk kearah yang lebih baik. Serta memiliki pedoman yang kuat dan kokoh dalam belajar dan berpikir kritis yaitu tetap berpegang pada Al-Qur’an dan sunnah (Ary Ginanjar Agustian, 2009: 197).
5)      Prinsip Masa Depan (Vision Principle)
Prinsip masa depan ini merupakan tindak lanjut dari keempat prinsip sebelumnya. Pentingnya prinsip masa depan ini adalah sebagai bentuk harapan dari apa yang ingin dicapai dari segala yang dikerjakan. Secara umum visi yang diharapkan untuk dicapai secara idealnya ada tiga menurut waktunya. Pertama, visi jangka panjang, ini adalah harapan yang ingin dicapai dalam bentuk balasan kebaikan setelah kehidupan dunia; kedua, visi jangka menengah, yaitu sesuatu yang ingin dicapai dalam kehidupan dunia dalam waktu yang relative lama; ketiga, visi jangka pendek, yaitu sesuatu yang ingin dicapai pada jangka waktu sesaan atau waktu yang relatif pendek.
Dari ketiga visi tersebut semuanya saling terkait, dan akan menjadi sempurna sebuah visi apabila ketiga visi tersebut dapat dicapai dan dipadukan. Kedudukan visi yang jelas dalam kehidupan ini diharapkan akan dapat mengarahkan manusia agar selalu berorientasi pada tujuan akhir dari setiap langkah yang dibuat atau direncanakan dengan mengoftimalkan setiap langkah dengan secara sungguh-sungguh, serta menyakini  akan adanya hari kemudian (yaumul akhir) sehingga tetap memiliki kendali diri dan social, memiliki kepastian akan masa depan dan ketengangan batin yang tinggi (Ary Ginanjar Agustian, 2009: 140). Yaitu iklhas atas segala yang dicapai dengan tetap berperasangka baik kepada Allah swt, karena Allah lah yang mengetahui segala sesuatu yang baik bagi hamba-Nya.
Terkait visi kehidupan jangka, dalam hal ini Allah swt berfirman dalam QS. Al-An’am: 135, yang artinya: “Katakanlah, hai kaumku! Berbuatlah menurut kehendakmu! Sungguh, aku pun akan melakukan (kehendakku). Nanti kamu akan mengetahui, siapa (diantara Kita) yang (paling baik) tempat kediamannya pada akhirnya. Sungguh, orang zalim tidak akan mendapat kejayaan”.
6)      Prinsip Keteraturan (Well Organized Principle)
Prinsip keteraturan ini didasari pada prinsip keteraturan dari segala ciptaan Allah swt, seperti yang dijelaskan dalam (QS. Al-Qamar: 49) yang artinya “Sungguh, telah Kami ciptakan segala sesuatu dengan ukuran”. Dalam ayat yang lain (QS. Al-Furqan: 2) dijelaskan “Diciptakan-Nya segala sesuatu, dan ditetapkan-Nya ukuran yang tepat”. Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah swt menciptakan alam semesta beserta ketetapan atau aturan yang sudah ditetapkan. Contohnya: bagaimana bumi dan planet-planet yang lainnya berputar mengelilingi matahari, semuanya beredar sesuai ketentuan dan aturan yang jelas, seandainya salah satu dari planet yang menyimpang maka dunia ini akan hancur. Begitulah Allah menunjukkan sifat keteraturan dari ciptaan-Nya bagi manusia yang mau mengkajinya.
Tujuan inti dari prinsip keteraturan ini adalah bagaimana manusia memiliki ketenangan jiwa dan keyakinan dalam berusaha, yang didukung oleh pengetahuan akan kepastian alam dan hukum social. Berusaha memahami akan arti penting dari sebuah proses yang harus dilalui, dengan tetap berorientasi pada pembentukan system (sinergi), dan selalu berupaya menjaga system yang telah dibentu (Ary Ginanjar Agustian, 2009: 239).
Setelah menerapkan enam prinsip tersebut, diharapkan akan terbentuk mental manusia yang tangguh dan kokoh, yang selalu berfikir positif terhadap segala sesuatu yang terjadi baik yang sesuai dengan yang diharapkan ataupun yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Berpikir positif ini sangat penting dalam membangun karakter yang tangguh serta berpandangan jauh ke depan. Seorang filsuf kuno Marcus Aurelius mengatakan “Galilah ke dalam diri anda. Di dalamnya akan terdapat sumber segala kebaikan. Galilah terus, maka anda akan mendapatkan sumber yang mengalir tanpa pernah kering” (Norman Vincent Pale, 2007: 10).
Setelah membahas tahap pertama atau yang disebut dengan penjernihan emosi (zero mind process) yang dilanjutkan tahap pembangunan mental (mental building), tahap selanjutnya yang dikembangkan dalam membangun karakter moled ESQ 165 adalah melakukan pembangunan ketangguhan pribadi (Personal strength) dan ketangguhan social (Social strength). Atau yang sering disebut dengan lima langkah.
Pembangunan ketangguhan pribadi ini meliputi tiga langkah yang saling berhubungan. Langkah-tersebut yaitu:
1)      Penetapan Misi (Mission statement)
Penetapan misi ini sangatlah penting, ini sebagai pondasi yang sangat mendasar dalam melakukan segala sesuatu. Dalam penetapan misi ini, tentu tidak terlepas dari visi yang hendak dicapai. Misi yang dikembangkan dalam pendidikan karakter model ESQ 165 adalah pernyataan Syahadat yaitu Tiada Tuhan Selain Allah yang Maha kuasa atas segala sesuatu.
Dengan meyakini adanya Tuhan yang Maha Kuasa, maka manusia akan selalu sadar bahwa segala yang dilakukan tidak lepas dari Tuhannya, yang kepada-Nya akan kembali segala sesuatu dan pasti akan diberikan balasannya. Penetapan misi syahadat ini diharapkan akan dapat membangun sebuah keyakinan dalam bertindak. Syahadat diharapkan akan selalu menjadi pendorong dalam upaya mencapai suatu tujuan. Syahadat juga diharapkan akan dapat membangkitkan keberanian serta optimism, sekaligus menciptakan ketenangan batin dalam menjalankan misi hidup yang diamanahkan Allah swt kepada umat manusia (Ary Ginanjar Agustian, 2009: 277).
2)      Pembangunan Karakter (Caharacter building)
Pembangunan karakter ini dilandasi pada ibadah shalat, dimana dalam shalat itu terdapat banyak pelajaran. Dapat membangun karakter yang tangguh, sebagaimana dijelaskan dalam hadits bahwa “shalat itu adalah tiang agama” “shalat itu dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar”. Ini menunjukkan bahwa membangun karakter itu harus disinergikan dengan ibadah shalat, karena shalat hakikatnya menggabungkan nilai spiritual dan emosional dalam satu wadah.
Pada hakikatnya shalat merupakan metode relaksasi untuk menjaga kesadaran diri agar tetap memiliki cara berpikir yang jernih, yang terbebas dari berbagai urusan keduniaan. Shalat juga merupakan suatu langkah membangun kekuatan afirmasi. Shalat merupakan metode yang dapat meningkatkan kecerdasan emosi dan spiritual secara teratur dan terus-menerus. Shalat sebagai wadah untuk terus menerus mengasah dan mempertajam ESQ yang diperoleh dari rukun iman (Ary Ginanjar Agustian, 2009: 307).
3)      Pengendalian Diri (Self Control)
Pengendalian diri ini, dalam model ESQ 165 ini didasarkan pada ibadah puasa. Selama ini puasa sering dimaknai sebatas menahan diri dari makan dan minum. Akan tetapi makna puasa sesungguhnya adalah menahan diri dari segala yang bertentangan dengan fitrah manusia. Yaitu segala sesuatu yang bertentangan dengan sifat-sifat kebaikan yang dipancarkan dari Allah swt yang tidak terbatas pada perbuatan fisik akan tetapi juga menyangkut batin atau emosional.
Pengendalian diri dengan mengambil pelajaran dari berpuasa ini diharapkan akan dapat dijadikan sebagai metode pelatihan untuk pengendalian diri, dengan tujuan untuk meraih kemerdekaan sejati, dan pembebasan dari belenggu yang tidak terkendali yaitu hawa nafsu yang berlebihan, sehingga dapat tetap menjaga asset  kita yang paling berharga, yaitu suara hati Ilahiah, dan tujuan hidup yang sesungguhnya (Ary Ginanjar Agustian, 2009: 326) yaitu mengabdi hanya kepada Allah swt, sebagaimana ditegaskan dalam Firmannya bahwa “tiada diciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk beribadah kepada-Nya”.
Pembangunan ketangguhan social (Social strength) dalam model ESQ 165, ini meliputi dua langkah, yaitu:
4)      Strategi Colaboration Sinerg
Strategi kolaborasi ini pada model ESQ 165 didasarkan pada konsep mengeluarkan zakat. Selama ini zakat hanya dimaknakan sebatas memberikan bantuan materi kepada orang lain yang membutuhkan. Padahal ada yang lebih penting dari itu, yaitu bagaimana manusia mau mengeluarkan fitrah yang ada pada dirinya untuk melakukan sesuatu dengan penuh kesadaran dan tanpa pamrih.
Strategi kolaborasi ini sangat penting dalam membangun karakter bangsa, Karena kita tahu bahwa manusia itu adalah makhluk social yang tidak bisa lepas sepenuhnya dari peran orang lain. Kolaborasi diharapkan akan dapat saling mengisi dan berbagi atas apa yang kita miliki atau kemampuan yang kita bisa lakukan.
Strategi kolaborasi yang disinergikan dengan zakat ini dimaknai sebagai sebuah langkah nyata untuk mengeluarkan pontensi spiritual (fitrah) yang kita miliki menjadi sebuah langkah atau tindakan kongkrit untuk membangun sinergi yang kuat, yang berlandaskan pada sikap empati, kepercayaan, sikap kooperatif, keterbukaan dan kredibilitas (Ary Ginanjar Agustian, 2009: 369).
5)       Aplikasi Total (Total Action)
Aplikasi total dalam model ESQ 165 ini didasari pada ibadah haji, yang dilakukan saat musim haji sebagai sebuah ritual yang hanya bisa dilakukan di satu tempat yaitu di makkah sebagai tempat berdirinya ka’bah. Dalam ibadah haji tersebut banyak kegiatan yang harus dilakukan, yant tentunya mengandung nilai ibadah.
Dalam ibadah haji sinergi yang terjadi tidak hanya antarmanusia atau antar Negara, namun juga antara manusia dengan sang pencipta yaitu Allah swt, dimana saat melakukan thawaf ia “berdiri” di tengah sebagai pemimpin segenap suara hati manusia yang fitrah (Ary Ginanjar Agustian, 2009: 372).
Total aksi yang tigambarkan dalam ibadah haji juga mengarahkan bagaimana manusia mengenal dirinya, siapa dan bagaimana dia sebenarnya dan kemana akan kembalinya, ini sebagai bentuk evaluasi diri seperti yang digambarkan saat melakukan wukuf atau berdiam diri. Selain itu, haji juga memberikan pelajaran pada manusia bagaimana menghadapi tantangan yang ada dalam diri, ini dilambangka saat melakukan lontar jumrah.
Dengan melakukan aplikasi total yang dilambangkan dengan ibadah haji, diharapkan dapat dijadikan sebagai suatu sarana transpormasi prinsip dan langkah secara total (tawaf) yang konsisten dan menunjukkan persistensi perjuangan (sa’i), dan kemudian melakukan evaluasi dan visualisasi serta mengenal jati diri secara spiritual ketika wukuf. Selain itu, haji juga merupakan suatu pelatihan sinergi dalam skala yang tertinggi, dan haji merupakan persiapan fisik serta mental dalam menghadapi berbagai tantangan masa depan ini tercermin pada saal lontar jumrah (Ary Ginanjar Agustian, 2009: 393).
Penerapan model ESQ 165 dalam upaya membangun karakter bangsa dengan menerapkan satu hati, enam prinsip dan lima langkah secara total, pembangunan karakter bangsa akan menjadi lebih mudah. Mengingat dalam model ESQ 165 ini mekolaborasikan antara kecerdasan emosinal dan kecerdasan spiritual yang memiliki kekuatan yang sangat luarbiasa dalam membangun karakter sebuah bangsa.

2.      Metode Pendidikan Karakter Bangsa Model ESQ 165
Mengingat akan hakikat dari pendidikan yaitu menuju kepada kebaikan, maka langkah atau metode yang ditempuh juga harus sesuai dengan fitrah manusia. Artinya, bahwa metode pendidikan yang diterapkan harus berupa metode yang bersifat manusiawi, artinya metode tersebut sesuai dengan tuntunan agama dan ajaran para rasul. Seperti yang dilakukan Rasulullah saw, dalam menyampaikan materi pendidikan kepada para sahabat, beliau selalu menggunakan metode yang mudah diterima oleh para sahabat dan pesan yang disampaikan pun mudah diingat dan dipahami.
Mengenai metode pedidikan yang diterapkan Rasulullah saw, Abdul Fattah Abu Ghuddah mencoba mengemukakan 40 metode pendidikan dan pengajaran Rasulullah saw, yang dapat diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi saat melakukan kegiatan pembelajaran, diantaranya adalah: metode keteladanan, penyesuaian dengan kompetensi siswa, metode analogi, dialogis, pertanyaan dan pujian, motivasi dan ultimatum, cerita, nasihat dan peringatan dan lain sebagainya.
Pendidikan karakter ini meliputi semua aspek dan semua bidang strudi bisa dimasukinya dengan tidak mesti menjadi mata pelajaran tersendiri. Ini memungkinkan pendidikan karakter itu dilakukan dengan metode komprehensif yang secara langsung diintegrasikan ke dalam semua bidang studi atau mata pelajaran secara langsung. Kesadaran akan perlunya digunakan pendekatan komprehensif dalam pendidikan karakter ini diharapkan akan dapat menghasilkan lulusan yang mampu membuat keputusan moral dan sekaligus memiliki perilaku yang terpuji berkat pembiasaan terus-menerus dalam proses pendidikan (Darmiyati Zuchdi, 2009:45).
Pendidikan karakter yang diintegrasikan dalam pembelajaran berbagai bidang studi  dapat memberikan penga laman yang bermakna bagi murid-murid karena mereka memahami, mengin ternalisasi, dan mengaktualisasikannya  melalui poses pembelajaran. Dengan demikian, nilai-nilai tersebut dapat  terserap  secara alami lewat kegiatan sehari-hari (Darmiyati Zuchdi Zuhdan Kun Prasetya& Muhsinatun Siasah Masruri, 2010: 3).
Harapan dari pendidikan karakter dengan metode terintegrasi secara langsung, siswa diharapkan akan dapat lebih memaknai hakikat dari karakter yang yang muncul dari apa yang dipelajari, sehingga siswa tidak hanya memiliki kemampuan tingkat kognitif saja, akan tetapi juga memiliki kemampuan secara emosional dan juga spiritual, yang sering disebut dengan istilah kecerdasan ESQ oleh Ary Gynanjar Agustian.
Dari segi metode, pendekatan komprehensif dalam pendidikan karakter ini meliputi inkulkasi (inculcation), keteladanan (modeling), fasilitasi (facilitation), dan pengembangan keterampilan (skill building) (Darmiyati Zuchdi, 2009:46). Untuk lebih jelasnya keempat komponen pendekatan inkulkasi tersebut dalam penerapannya di sekolah dijelaskan sebagai berikut:
1)      Inkulkasi (inculcation)
Inkulkasi (penanaman) nilai-nilai atau karakter yang dilakukan dengan cirri-ciri sebagai berikut:
a.       Mengomunikasikan kepercayaan disertai alasan yang mendasarinya.
b.      Memperlakukan orang lain secara adil.
c.       Mengharapkan pandangan orang lain.
d.      Mengemukakan keraguan-keraguan atau perasaan tidak percaya disertai dengan alasan, dan dengan rasa hormat.
e.       Tidak sepenuhnya mengontrol lingkungan untuk meningkatkan kemungkinan penyapian nilai-nilai yang dikehendaki, dan mencegah kemungkinan penyampaian nilai-nilai yang tidak dikehendaki.
f.       Menciptakan pengalaman social dan emosional mengenai nilai-nilai yang dikehendaki secara tidak ekstrim.
g.      Membuat aturan, memberikan penghargaan dan memberikan konsekuensi diertai alas an.
h.      Tetap membuka komunikasi dengan pihak yang tidak setuju.
i.        Memberikan kebebasan bagi adanya perilaku yang berbeda-beda apabila sampai pada tingkat yang tidak dapat diterima, diarahkan untuk memberikan kemungkinan berubah.
Metode inkulkasi ini merupakan kebalikan atau lawan dari metode indoktrinasi.
2)      Keteladanan
Dalam pendidikan karakter, metode keteladanan adalah metode yang mutlak diterapkan. Untuk menerapkan metode ini, ada dua syarat yang harus diperhatikan yaitu: 1) guru harus berperan sebagai model yang baik bagi siswanya. 2) siswa harus bersedia meneladaniorang terkenal atau para tokoh yang berakhlak mulia, seperti para Nabi dan rasul, para ulama, dan guru yang berakhlak mulia. Ini harapannya adalah agar siswa benar-benar dapat merasakan bagaimana karakter yang sesungguhnya yang tidak cukup hanya diketahui, tetapi juga harus dirasakan yang disebut oleh Lincona sebagai kemampuan moral feeling.
3)      Fasilitasi (facilitation)
Setelah metode inkulkasi dan keteladanan mendemonstrasikan kepada siswa cara yang terbaik untuk mengatasi berbagai masalah, maka fasilitasi disini adalah berperan bagaimana melatih siswa mengatasi masalah-masalah tersebut. Inti dari metode ini adalah bagaimana memberikan kesempatan kepada siswa. Menurut Krischenbaum (1995: 41), kegiatan yang dilakukan siswa dalam metode fasilitasi ini berdampak positif terhadap perkembangan kepribadian karena hal-hal sebagai berikut:
a.       Kegiatan fasilitasi secara signifikan dapat meningkatkan  hubungan pendidikndan siswa. Artinya pendidikn dan siswa dapat saling menghargai, ketika pendidik menghargai siswa maka siswa pun akan menghargai pendidik.
b.      Membantu siswa memperjelas pemahaman, ini artinya siswa mempunyai kesempatan untuk memperjelas kembali apa yang belum jelas atau yang belum diketahuinya.
c.       Membantu siswa yang sudah menerima satu nilai, tetapi belum mengamalkannya secara konsisten, meningkat dari pemahaman secara intelektual ke komitmen untuk bertindak. Tindakan moral memerlukan tidak hanya pengetahuan, tetapi juga perasaan, maksud dan kemauan.
d.      Membantu siswa berpikir lebih jauh tentang nilai yang dipelajari, menemukan wawasan sendiri, belajar dari teman-temannya, yang telah menerima nilai-nilai yang diajarkan, dan akhirnya menyadari kebaikan hal-hal yang disampaikan oleh pendidik.
e.       Fasilitasi menyebabkan pendidik lebih dapat memahami pikirandan perasaan siswa.
f.       Memotivasi siswa menghubungkan persoalan nilai dengan kehidupan, kepercayaan, dan perasaan mereka sendiri. Dengan melibatkan kepribadian siswa, maka pembelajaran akan menjadi lebih menarik.
4)      Pengembangan keterampilan akademik dan sosial
Dalam mengamalkan nilai-nilai karakter yang telah dipelajari dan diketahui, ada beberapa hal yang diperlukan sehingga bisa berprilaku konstruktif dan bermoral dalam masyarakat. Keterampilan tersebut antara lain berpikir kritis, berpikir kreatif, berkomunikasi secara jelas, menyimak, bertindak asertif, dan menemukan resolusi konflik.
Dari paparan metode pendidikan karakter tersebut, terlihat bahwa pendidikan karakter yang dilakukan dengan pendekatan komprehensif ini dapat lebih efektif untuk pendidikan karakter bangsa dengan model ESQ 165, karena dapat menjangkau semua aspek yang menjadi sasaran dari pendidikan karakter, yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotor, yang oleh Lickona disebut sebagai (moral knowing, moral feeling, & moral action), dan Ary Ginanjar Agustian menggabungkannya dalam istilah ESQ 165, yaitu satu Ihsan, enam rukun iman dan lima rukun islam.
Ketika pendidikan karakter bangsa sudah dapat menggabungkan atau memadukan ketiga aspek tersebut, maka itu baru dapat dikatakan bahwa pendidikan karakter bangsa sudah dapat memenuhi tuntutan kebutuhan, terutama dalam usaha menagkal dan menghilangkan dampak degradasi moral yang disebabkan oleh berbagai faktor yang tidak terkontrol, seperti sikap, tatacara berpakaian, kebiasaan berkata kasar, suka berbuat kerusakan dll. Menjadi sikap dan dan pandangan hidup yang positif, yang selalu mengarah pada perbaikan untuk masa yang akan datang dengan visi dan misi yang jelas serta langkah dan landasan yang kuat yaitu Ihsan, Iman dan Islam yang akrab disebut dengan 165.

3.      Peran Pendidik Dalam Model ESQ 165
Kata pendidik berasal dari kata dasar didik, yang artinya memelihara, merawat dan memberi latihan agar seseorang memiliki ilmu pengetahuan seperti yang diharapkan (tentang sopan santun, akal budi, akhlak, dan sebagainya) (Ramayulis & Samsul Nizar, 2009: 138). Istilah pendidik dalam Islam adalah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik (Ahmad Tafsir, 2008: 74).
Mustami’uddin Ibrahim menyatakan bahwa.
“Pendidik pada hakekatnya ialah seorang yang bertanggung jawab untuk mengajarkan atau menyampaikan ilmu dan memberikan bimbingan secara sadar terhadap perkembangan kepribadian dan kemampuan peserta didik baik itu dari aspek jasmani maupun rohaninya agar ia mampu hidup mandiri dan dapat memenuhi tugasnya sebagai hamba Allah swt, sebagai makhluk individu dan juga sebagai makhluk sosial.” (Usman. 2010: 145-146).

Daari paparan definisi pendidik tersebut, dapat diketahui bahwa seorang yang disebut pendidik adalah orang yang memiliki kemampuan untuk merancang program pembelajaran, serta mampu menata dan mengelola kelas agar siswa dapat belajar, dan pada akhirnya akan dapat mencapai tingkat kedewasaan sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pendidik juga harus memiliki integritas dalam melakukan segala sesuatu yang akan diajarkan, tidak terbatas pada ruang kelas saja.
Integritas seorang pendidik yang melekat padanya, tentu tidak terlepas dari pengamatan keseharian siswa. Ini Artinya, bahwa siswa secara tidak langsung akan mengevaluasi akhlak mulia pendidiknya yang didasarkan pada bagaimana cara seorang pendidik memperlakukan siswa dalam proses pembelajaran. Secara tidak langsung dalam proses pembelajaran, siswa mengetahui bagaimana seorang pendidik dapat melayani sebagai teladan dengan mengajar karakter dan nilai-nilai moral (akhlak mulia), seperti kejujuran, kepercayaan, keadilan, rasa hormat, dan tanggung jawab (Dimyati, 2010: 85). Untuk lebih jelasnya mengenai keteladanan yang diberikan guru kepada siswa dalam proses pendidikan akhlak mulia, berikut dijelaskan secara lebih detail.
Kejujuran, seorang pendidik harus bisa menunjukkan akhlak kejujuran dengan menyatakan sebuah kebenaran dan bertindak dengan cara-cara yang terhormat dan terpuji (Akhlakul mahmudah). Dengan berusaha berkata jujur, dan tidak suka berbuat kebohongan, tentu ini akan menjadi sebuah akhlak mulia yang diharapkan akan dapat ditiru oleh siswa dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga secara tidak langsung dengan akhlak kejujuran, seorang pendidik sudah mendidik siswanya untuk berakhlak mulia yaitu berbuat jujur dalam segala aspek kehidupan.
Kepercayaan, seorang pendidik harus bisa menanamkan dalam dirinya untuk dapat memberikan kepercayaan terhadap orang lain yang berkembang setiap kali orang tersebut memenuhi janji dan komitmennya. Dalam hal ini seorang pendidik harus berusaha memberikan kepercayaan kepada siswa bahwa mereka bisa berkarya dan mengembangkan kemampuan yang dimiliki. Dengan demikian siswa diharapkan akan mempunyai rasa percaya diri bahwa mereka mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya dengan didukung oleh sekolah dalam hal ini pendidik.
Keadilan, ini berhubungan erat dengan kepercayaan sehingga siswa dapat dengan cepat belajar apakah mendapat perlakuan diskriminasi atau perlakuan secara tidak adil dari seorang pendidik. Seorang pendidik harus bisa berlaku adil terhadap semua siswanya dengan tidak mendiskriminasikan salah satu diantara siswa. Pendidik yang adil percaya pada kemampuan masing-masing siswa untuk belajar, dan mendorong setiap siswa untuk mencapai pada tingkat kemungkingan tertinggi. Dengan adanya perlakuan yang adil terhadap semua siswa ini akan menumbuhkan rasa percaya diri siswa dan oftimisme untuk bisa berhasil dalam belajar sama dengan teman-temannya yang lain, yang akhirnya akan menghilangkan kesenjangan diantara sesama siswa dalam berprestasi.
Hormat, seorang pendidik dalam proses pembelajaran harus bisa menunjukkan rasa hormat terhadap semua warga sekolah, baik terhadap sesama pendidik juga terhadap semua siswanya, dengan tanpa memandang suku, ras, gender, status sosial dan ekonomi, karakteristik individu dan kemampuan. Menurut Noddings (Dimyati. 2010: 93) menganjurkan agar pendidikan moral (akhlak) didasarkan pada pendidik dan pendidik harus menunjukkan kepedulian dan menyadari bahwa siswa adalah individu yang unik. Ini artinya, kalau pendidik mengharapkan siswanya berakhlak mulia, maka hendaknya pendidik itu yang terlebih dahulu menerapkan akhlak mulia yang akan diajarkan pada siswa, sehingga dengan demikian, siswa akan dapat belajar akhlak mulia dari pendidik secara tidak langsung antara lain yaitu dengan meniru atau dari hasil pengamatan siswa dalam kehidupan sehari-hari.
 Tanggung jawab, sebagai seorang pendidik merupakan tugas yang mulia, sekaligus menuntut tanggung jawab yang besar terhadap orang tua, masyarakat, bangsa dan agama. Dalam pembelajaran seorang pendidik harus bertindak secara professional. Misalnya saat pendidik menciptakan dan mempertahankan suasana dan lingkungan belajar yang positif dan fokus pada penyediaan pelayanan pendidikan kepada siswa dan masyarakat untuk mengembangkan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik siswa, maka ini dapat dikatakan bahwa seorang pendidik itu bisa bertanggung jawab.
Selain memiliki intergritas, seorang pendidik dalam melaksanakan tugas harus tetap mengedepankan sikap profesional. Ahmad Tafsir (2008: 108-112) mengemukakan sepuluh kriteria yang harus ada sehingga bisa disebut bidang profesi, yaitu:
a.       Profesi harus memiliki keahlian yang khusus.
b.      Profesi harus diambil sebagai pemenuhan panggilan hidup.
c.       Profesi memiliki teori-teori yang baku secara universal.
d.      Profesi adalah untuk masyarakat, bukan untuk diri sendiri.
e.       Profesi harus dilengkapi dengan kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif.
f.       Pemegang profesi memiliki otonomi dalam melakukan profesinya.
g.      Profesi hendaknya mempunyai kode etik. 
h.      Profesi harus mempunyai klien yang jelas.
i.        Profesi memerlukan organisasi profesi.
j.        Mengenali hubungan profesinya dengan bidang-bidang lain.
Dari kesepuluh kriteria yang disebutkan di atas, dapat diketahui bahwa seorang guru yang profesional dalam melaksanakan tugasnya, harus menyadari bahwa tugas yang diembannya itu merupakan tuntutan yang harus dikerjakan sesuai dengan bidang ahlinya, serta dengan tidak berhenti untuk terus mengembangkan profesinya tersebut, yang akan menunjang pencapaian pendidikan yang diharapkan terhadap siswa dengan penuh tanggung jawab.
Bentuk tanggung jawab seorang pendidik dalam melaksanakan tugas yang diamanatkan kepadnya, harus memiliki sipat yang diteladankan Rasulullah saw yaitu shiddik, amanah, tabliq, dan fathonah. Ini artinya bahwa pendidik itu tidak hanya cerdas secara inteligensi, akan tetapi juga harus cerdas secara emosional dan spiritual. Ini lah yang dibutuhkan dalam menerapkan model ESQ 165 dalam rangka membangun karakter bangsa.

4.      Evaluasi Pendidikan Model ESQ 165
Dalam dunia pendidikan, setelah melalukan kegiatan pembelajaran, langkah selanjutnya adalah mengetahui hasil dari kegiatan pembelajarn yang sudah dilakukan inilah yang disebut dengan evaluasi. Evaluas dapat diartikan sebagai penetapan baik dan buruk, memadai-kurang memadai (judgement), terhadap sesuatu berdasarkan kriteria tertentu yang disepakati sebelumnya dan dapat dipertanggungjawabkan (Muhaimin. 2004: 187).
Selama ini evaluasi pendidikan yang dilakukan di sekolah cenderung hanya memperhatikan aspek kognitif saja yang identik dengan IQ, sementara aspek EQ dan SQ, jarang sekali disentuh. Sehingga ini menjadi salah satu factor yang menyebabkan terjadinya degradasi moral atau karakter bangsa Indonesia sekarang ini.
Adapun evaluasi yang diharapkan dalam pendidikan karakter bangsa mencakup ketiga aspek inteligensi yaitu IQ, EQ, dan SQ. ini diharapkan akan dapat memberikan informasi hasil pendidikan yang secara utuh tidak terpisah dari satu aspek dengan aspek yang lain. Evaluasi semacam ini sangat cocok dengan model ESQ 165, dalam upaya membangun karakter bangsa yang secara utuh.

C.    KESIMPULAN
Pendidikan karakter bangsa model ESQ 165 adalah model pendidikan yang memadukan antara kecerdasan emosional dan spiritual menjadi satu kesatuan yang dilandasi atas dasar nilai-nilai Ketuhanan yang rangkum dalam 1 ihsan, 6 rukun iman, dan 5 rukun Islam.
Model ESQ 165 dalam upaya membangun karakter bangsa melalui dunia pendidikan adalah metode ini di terapkan dengan model terintegrasi dalam semua bidang studi atau mata pelajaran. Dengan menggunakan metode komprehensip.
Evaluasi yang diterapkan dalam model ESQ 165 dalam upaya membangun karakter bangsa melalui dunia pendidikan, adalah evaluasi yang mencakup tiga aspek kecerdasan yaitu IQ, EQ, dan SQ. Penerapan  model ini diharapkan akan akan dapat memberikan informasi hasil belajar yang secara utuh yang bersifat komprehensif.
















DAFTAR PUSTAKA

Abdul Fattah Abu Ghuddah. (2009). 40 metode pendidikan dan pengajaran Rasulullah saw. Bandung. Irsyat Baitus Salam.
Ahmad Tafsir. (2008). Ilmu pendidikan dalam perspektif Islam. Bandung. Remaja Rosdakarya.
Ahmad Tafsir. (2007). Metode pengajaran agama Islam. Bandung. Remaja Rosdakarya.
Ary Ginanjar Agustian. (2009). ESQ, Emotional, spiritual, quotient. Jakarta. ARGA Publishing.
Darmiyati Zuchdi. (2009). Humanisasi pendidikan, menemukan kembali pendidikan yang manusiawi. Jakarta. Bumi Aksara.
Darmiyati Zuchdi, Zuhdan Kun Prasetya & Muhsinatun Siasah Masruri Cakrawala Pendidikan, Mei 2010, Th. XXIX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY.
Dimyati. (2010). Peran guru sebagai model dalam pembelajaran karakter dan kebajikan moral melalui pendidikan jasmani. Jurnal ilmiah pendidikan. Cakrawala pendidikan. LPM. UNY
Muhaimin. (2004). Wacana pengembangan pendidikan Islam. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Norman Vincent Peale. (2007). Kiat mempertahankan prinsip hidup dan berpikir positif. Yogyakarta. Media Abadi.
Ramayulis & Samsul Nizar. (2009). Filsafat pendidikan Islam. Jakarta. Kalam Mulia.
Usman. (2010). Filsafat pendidikan, Kajian filosofis pendidikan Nahdlathul Wathan di Lombok. Yogyakarta. Terah.
Share this article :

0 komentar:

 
Support : Berbagi | AULIA | Mikaila
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. DARIKU UNTUKMU - All Rights Reserved