MEMBANGUN
KARAKTER BANGSA
A. LATAR
BELAKANG
Akhir-akhir
ini banyak orang mulai gelisah terhadap perilaku kehidupan masyarakat
bangsa ini. Para elitenya banyak yang korup, mulai dari tingkat pemerintah
pusat sampai pemerintah di daerah. Berbagai berita korupsi hamper menjadi
sarapan pagi bagi pemirsa TV dan pendengan radio, media cetak pun tidak
ketinggalam memberitakan berbagai kasus korsi. Hal ini menunjukkan bahwa
seolah-olah tidak ada lagi yang tersisa dan bertahan yang disebut jujur, adil,
tanggung jawab dan memiliki integritas yang tinggi.
Dunia
pendidikan yang seharusnya menjadi tauladan, selalu menjaga prinsip-prinsip
moral, ternyata juga tidak terlepas dari sorotan negatif. Terungkapnya ijazah
palsu, proses pendidikan yang dijalankan apa adanya, kenaikan jabatan akademik
yang tidaik semestinya, bahkan terdengar ada plagiasi karya ilmiah yang
dilakukan oleh seorang Doktor dan bahkan juga Guru Besar. Ini juga menandakan bahwa
betapa rusak dan memperihatinkannya karakter bangsa ini.
Penomena
yang lebih memprihatinkan lagi, adalah terjadinya kenalakan remaja dimana-mana,
tawuran antar pelajar sering terjadi, penggunaan narkoba, seks bebas, video
porno, dan berbagai perbuatan anarkis lainnya sering terjadi. Hal ini cukup
membuktikan bahwa kemerosotan moral anak bangsa ini sudah sangat parah dan
menuntut adanya pemulihan dan pencegahan yang cepat dan tanggap.
Menurut
Asri Budiningsih (2004: 1) masyarakat Indonesia saat ini mengalami perubahan
tatanan yang ditandai dengan berbagai tindakan dan sikap yang muncul, berupa:
1) Makin jarang dan rendahnya kualitas, kominikasi antara orang tua dan
anaknya, antara lain akibat semakin meningkatnya jumlah orang tua yang bekerja
di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin maju; 2) Norma dan
kehidupan masyarakat yang bercirikan ketidakdisiplinan dan kesemrawutan tatanan
kehidupan yang ril serta berbagai penyimpangan nilai moral.
Berbagai
tindakan amoral semakin merebak di masyarakat, bukan hanya di daerah perkotaan
tetapi juga sampai pada daerah pelosok negeri ini. Pembunuhan, perampokan,
pemerkosaan, penipuan, pengkonsumsian obat-obatan terlarang dikalangan pelajar
pun sering terjadi. Ini menggambarkan betapa hancurnya akhlak generasi muda
Indonesia saat sekarang ini.
Akhir-akhir
ini terlihat bahwa hampir seluruh kehidupan sudah diwarnai oleh suasana
yang bersifat transaksional. Segala sesuatu diukur dengan uang, bahkan hingga ceramah-ceramah
keagamaan pun tidak berjalan jika tidak tersedia dana untuk
menyelenggarakannya. Tidak terkecuali dalam bidang politik. Seorang calon
pejabat mulai dari kepala desa, bupati, wali kota, gubernur, DPRD
dan DPR, sampai presiden, mereka harus menyiapkan dana kampanye. Kenyataan seperti
ini menjadikan orang berbuat sesuatu hanya bisa digerakkan dengan kekuatan uang bukan kesadaran moral,
nilai-nilai, atau dorongan fitrah yang ada pada diri tiap manusia.
Berbagai
pnomena tersebut semakin mempersulit untuk membangun karakter bangsa. Para
pahlawan terdahulu bangsa ini dikenal ramah, suka berkorban,
peduli, suka bergotong-royong, dan tolong-menolong antar sesama. Budaya
tersebut terkikis oleh hadirnya budaya transaksional yang menjadikan
bangsa ini mengalami perubahan yang luar biasa, dan itu
berjalan sangat cepat.
Nilai-nilai
karakter bangsa yang dirindukan di tengah-tengah masyarakat bangsa ini adalah
adanya pemimpin yang mengayomi, anak yang hormat kepada guru dan orang
tua, tidak terpecah belah terkait dengan jabatan dan harta, ini seolah hal yang
rasanya sudah sangat sulit didapatkan lagi. Sifat individualisme, materialisme
dan hedonisme, dalam berbagai bentuk mewarnai kehidupan bangsa Indonesia saat
ini, tidak saja di kota bahkan hingga ke pelosok negeri ini.
Berbagai
penomena kehancuran moral yang terjadi pada bangsa Indonesia saat ini,
menjadikan berbagai pihak lebih-lebih dalam dunia pendidikan, merasa tergugah
untuk melakukan upaya-upaya mencari bentuk, dan usaha bagaimana mengembalikan jati
diri bangsa yang dahulu dikenal sebagai bangsa yang berakarakter. Untuk
melakukan revitalisasi pendidikan karakter bangsa, diperlukan model pendidikan
karakter yang tepat. Permasalahannya sekarang adalah, model pendidikan
karakter seperti apa yang sekiranya mampu mengembalikan karakter dasar bangsa
ini yang sduah terkikis bahkan hampir habis.
B. PEMBAHASAN
1. Pendidikan Karakter Bangsa Dengan
Model ESQ 165
Pendidikan
pada dasarnya adalah untuk memanusiakan manusia, ini artinya pendidikan pada
hakikatnya diharapkan untuk membantu siswa bagaimana memahami dan mengenali
dirinya sendiri. Pendidikan yang dilakukan hendaknya mengarahkan siswa
bagaimana bertindak dan bersikap sesuai dengan harkat dan martabat atau sesuai
dengan fitrah manusia yang sejak dilahirkan adalah identik dengan kebaikan.
Dalam
kitab suci al-qur’an terkait dengan pendidikan dijelaskan pada QS. Al-Jumu’ah
ayat 2 yang artinya:
“Dialah Tuhan yang telah mengutus
kepa kaum ummi (buta huruf) seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, (berjuang) mensucikan mereka, serta
mengajarkan mereka kitab dan hikmah (As-Sunnah). Sesungguhnya mereka sebelum
diutusnya Muhammad benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
Dari
paparan ayat tersebut, jelas kiranya bahwa pendidikan yang sesungguhnya adalah
tidak terlepas dari nilai kebenaran yang bersumber dari Allah swt, yang diwahyukan
kepada para nabi dan rasul-Nya untuk diajarkan kepada ummat manusia.
Sebagaimana kita ketahui bahwa misi dari semua nabi dan rasul adalah menyeru
atau mengajak berbuat kebaikan sesuai perintah Allah swt.
Namun
yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia sekarang ini adalah,
terjadinya berbagai bentuk degradasi moral, yang terjadi dalam segala segi dan
semua elemen dalam bangsa ini. Berbagai kasus korupsi, pembunuhan, kecurangan,
pencabulan, tawuran antar pelajar, pemakaianobat-obatan di kalangan siswa
merupakan phenomena yang sudah menjadi pemandangan yang tidak asing lagi pada
bangsa ini, ini menandakan betapa rusaknya karakter bangsa ini.
Menyikapi
berbagai bentuk degradasi moral dan kemerosotan karakter bangsa tersebut,
diperlukan penanganan yang intensif dan efektif untuk mengatasinya. Salah satu
yang lembaga yang dapat berperan secara aktif dalam membangun karakter bangsa
adalah melalui dunia pendidikan, sehingga itu sebabnya sekarang ini digalakkan
pendidikan karakter.
Untuk
melakukan kegiatan pendidikan karakter bangsa, tentunya tidak semudah membalik
telapak tangan. Banyak faktor yang harus diperhatikan, baik itu faktor yang
terdapat dalam internal pendidikan itu sendiri maupun faktor yang datang dari
luar pendidikan karakter itu sendiri. Faktor yang datang dari dalam seperti
pendidik yang kurang professional, sarana-prasarana yang menunjang, materi yang
harus disiapkan dan dirancang secemikian rupa, media yang akan digunakan dll.
Faktor dari luar disini seperti lingkungan keluarga, lingkunga masyarakat,
teman sebaya, media dll.
Untuk
mengantisipasi berbagai tantangan yang menyebabkan dan menghalangi terciptanya
karakter bangsa, disini dapat diterapkan sebuah model yang mengedepankan
pembangunan karakter secara utuh yang tidak hanya dalam bentuk nilai angka dan
hafalan, tetapi juga dapat dirasakan. Inilah model ESQ 165 yang dirancang oleh
Ary Ginanjar Agustian, yang sumber utamanya adalah berdasarkan fitrah dan suara
hati yang bersumber dari Tuhan.
Secara
sederhana model pendidikan karakter bangsa dengan model ESQ 165, ini dilandasi
nilai-nilai Ketuhanan yang bersifat universal yang bersumber pada 99 sifat
Allah swt. yang terangkum dalam sifat Asma’ul Hhusna. Keseluruhan dari sifat
Allah swt, tersebut diharapkan akan dapat dipahami dan diterapkan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Model
ESQ 165 ini pertama-tama dimulai dari bagaimana mengenalkan konsep Ketuhanan
yang mutlak (spiritual), bahwa pada dasarnya segala sesuatu yang ada di langit
dan di bumi ini adalah ada yang menciptakannya. Pencipta dari segala sesuatu
itu adalah Allah swt, dan kepada-Nyalah segala sesuatu akan kembali. Ini
diharapkan akan dapat membentuk kesadaran akan adanya keberadaan Allah swt,
yang memiliki dan menetapkan segala sesuatu yang ada. Oleh Ary Ginanjar
Agustian menyebutnya sebagai God Spot.
Langkah
selanjutnya yang dilakukan dalam model ESQ 165 adalah membangun mental (mental
building). Ini dilakukan dengan enam prinsip yang dilandasi dari rukun iman
yang enam.
1)
Star principle
Prinsip ini adalah prinsip yang
pertama yang harus dilakukan atau ditanamkan dalam diri setiap orang. Pada
prinsip ini diharapkan tumbuh nilai-nilai Tauhid yang dapat menumbuhkan rasa
aman dan ketenangan diri, kepercayaan diri yang tinggi, serta didukung oleh
motivasi yang tinggi dalam melakukan berbagai hal yang positif. akan tetapi
kesemuanya itu tidak akan bermakna apabila tidak didukung atau dilandasi oleh
iman yang kokoh, yang dibangun dengan prinsip dasar yang kokoh yaitu kesadaran
bahwa segala sesuatu itu hanyalah milik Allah dan kepada Allah segalanya harus
diserahkan. Selanjutnya diikuti dengan memuliakan dan menjaga sifat-sifat Allah
swt pada diri manusia, dengan selalu berzikir Laa Ilaaha Illallaah (Ary
Ginanjar Agustian, 2009: 123).
2)
Prinsip Malaikan (Angel Principle)
Prinsip ini didasari pada usaha
untuk meneladani bagaimana sifat-sifat yang dimiliki para malaikat yang
mengemban tugas yang diberikan Allah swt. Salah satu sifat malaikat yang harus
dicontoh adalah integritas dan loyalitas dalam menjalankan tugas yang diemban. Ini
sangat penting dalam membangun karakter bangsa, sebab kalau integritas dan
loyalitas sudah hilang pada diri manusia, maka kehancuran akan terjadi yang
disebabkan berbagai tindakan yang tidak bertanggung jawab, seperti korupsi uang
Negara, menyalahgunakan jabatan, berbohong untuk kepentingan pribadi dan
golongan, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu akan dapat menghancurkan karakter
suatu bangsa.
Menurut Ary Ginanjar Agustian
pentingnya meneladani sifat malaikat ini diharapkan akan dapat menghasilkan
manusia yang memiliki tingkat loyalitas tinggi, komitmen yang kuat, memiliki
kebiasaan untuk mengawali dan member, suka menolong dan memiliki sikap saling
percaya (Ary Ginanjar Agustian, 2009: 140).
3)
Prinsip Kepemimpinan (Leadership Principle)
Prinsip ini didasari pada tugas
utama manusia diciptakan di muka bumi ini, yaitu sebagai khalifah. Dalam hadits
Rasulullah saw yang diriwayatkan Tirmizi, Abu Daud, Bukhari dan Muslim,
bahwasanya Rasulullah saw bersabda yang artinya “Setiap orang dari kamu adalah
pemimpin dan kamu bertanggung jawab terhadap kepemimpinan itu”.
Prinsip kepemimpinan ini sangat
perlu dibangun dalam membangun karakter bangsa, sebab kepemimpinan ini akan
sangat menentukan kemajuan dan kemunduran dari suatu bangsa. Dalam prinsip
kepemimpinan ini sekurangnya ada lima tangga kepemimpinan yang dapat diterapkan
yaitu: pemimpin yang dicintai, pemimpin yang dipercaya, pemimpin yang bisa
membimbing, pemimping yang berkepribadian, dan pemimpin yang abadi.
Dari kelima tangga kepemimpinan
tersebut, tangga kepemimpinan yang terakhir adalah yang paling sempurna yaitu
pemimpin yang abadi, ini dapat dicontoh dari kepemimpinan para nabi dan rasul.
Prinsip kepemimpinan ini dimaksudkan untuk memahami hakikat pemimpin yang abadi
atau pemimpin yang baik adalah pemimpin yang selalu mencintai dan member
perhatian kepada orang lain, sehingga ia dicintai. Memiliki integritas yang
kuat, sehingga dia dipercaya pengikutnya. Dapat membinbing dan mengajari yang
dipimpin serta memiliki kepribadian yang kuat dan konsisten dengan tetap
melaksanakan prinsip kepemimpinannya berdasarkan suara hati yang fitrah atau
suci (Ary Ginanjar Agustian, 2009: 167).
4)
Prinsip Pembelajaran (Learning Principle)
Prinsip ini didasari pada perintah
dari Allah swt, yaitu perintah untuk membaca yang eksistensi pemaknaannya
sangat luas. Tidak hanya membaca sesuatu yang nyata berupa tulisan, akan tetapi
membaca makna yang tersimpan dibalik segala sesuatu yang diciptakan Allah swt.
Ini ditegaskan dalam firman Allah swt dalamm surah Ar-Ruum ayat 22 yang artinya
“Dan di antara tanda-tanda (Kebesaran-Nya) ialah penciptaan langit dan bumi,
perbedaan bahasa-bahasa dan warna (kulit) kamu. Sungguh, dalam yang demikian
itu, adalah bukti bagi orang-orang yang mengetahui”.
Prinsip ini sangat penting untuk
membangun bangsa yang berkarakter pembelajar yang selalu melakukan perbaikan
kearah yang lebih baik. Tujuan utama dari prinsip pembelajaran ini adalah
bagaimana membangun kebiasaan membaca buku dan membaca situasi serta peluang
dengan cermat. Berpikir kritis dan mendalam terhadap segala sesuatu baru
selanjutnya melakukan evaluasi atas tindkan dan pemikiran tersebut untuk tetap
terbuka atas kekurangan yang dimiliki agar dapat menyempurnakannya kembali,
untuk kearah yang lebih baik. Serta memiliki pedoman yang kuat dan kokoh dalam
belajar dan berpikir kritis yaitu tetap berpegang pada Al-Qur’an dan sunnah
(Ary Ginanjar Agustian, 2009: 197).
5)
Prinsip Masa Depan (Vision Principle)
Prinsip masa depan ini merupakan
tindak lanjut dari keempat prinsip sebelumnya. Pentingnya prinsip masa depan
ini adalah sebagai bentuk harapan dari apa yang ingin dicapai dari segala yang
dikerjakan. Secara umum visi yang diharapkan untuk dicapai secara idealnya ada
tiga menurut waktunya. Pertama, visi
jangka panjang, ini adalah harapan yang ingin dicapai dalam bentuk balasan
kebaikan setelah kehidupan dunia; kedua,
visi jangka menengah, yaitu sesuatu yang ingin dicapai dalam kehidupan dunia
dalam waktu yang relative lama; ketiga, visi
jangka pendek, yaitu sesuatu yang ingin dicapai pada jangka waktu sesaan atau
waktu yang relatif pendek.
Dari ketiga visi tersebut semuanya
saling terkait, dan akan menjadi sempurna sebuah visi apabila ketiga visi
tersebut dapat dicapai dan dipadukan. Kedudukan visi yang jelas dalam kehidupan
ini diharapkan akan dapat mengarahkan manusia agar selalu berorientasi pada tujuan
akhir dari setiap langkah yang dibuat atau direncanakan dengan mengoftimalkan
setiap langkah dengan secara sungguh-sungguh, serta menyakini akan adanya hari kemudian (yaumul akhir)
sehingga tetap memiliki kendali diri dan social, memiliki kepastian akan masa
depan dan ketengangan batin yang tinggi (Ary Ginanjar Agustian, 2009: 140).
Yaitu iklhas atas segala yang dicapai dengan tetap berperasangka baik kepada
Allah swt, karena Allah lah yang mengetahui segala sesuatu yang baik bagi
hamba-Nya.
Terkait visi kehidupan jangka,
dalam hal ini Allah swt berfirman dalam QS. Al-An’am: 135, yang artinya: “Katakanlah,
hai kaumku! Berbuatlah menurut kehendakmu! Sungguh, aku pun akan melakukan
(kehendakku). Nanti kamu akan mengetahui, siapa (diantara Kita) yang (paling
baik) tempat kediamannya pada akhirnya. Sungguh, orang zalim tidak akan
mendapat kejayaan”.
6)
Prinsip Keteraturan (Well Organized Principle)
Prinsip keteraturan ini didasari
pada prinsip keteraturan dari segala ciptaan Allah swt, seperti yang dijelaskan
dalam (QS. Al-Qamar: 49) yang artinya “Sungguh, telah Kami ciptakan segala
sesuatu dengan ukuran”. Dalam ayat yang lain (QS. Al-Furqan: 2) dijelaskan
“Diciptakan-Nya segala sesuatu, dan ditetapkan-Nya ukuran yang tepat”.
Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah swt menciptakan alam semesta beserta
ketetapan atau aturan yang sudah ditetapkan. Contohnya: bagaimana bumi dan
planet-planet yang lainnya berputar mengelilingi matahari, semuanya beredar
sesuai ketentuan dan aturan yang jelas, seandainya salah satu dari planet yang
menyimpang maka dunia ini akan hancur. Begitulah Allah menunjukkan sifat
keteraturan dari ciptaan-Nya bagi manusia yang mau mengkajinya.
Tujuan inti dari prinsip
keteraturan ini adalah bagaimana manusia memiliki ketenangan jiwa dan keyakinan
dalam berusaha, yang didukung oleh pengetahuan akan kepastian alam dan hukum
social. Berusaha memahami akan arti penting dari sebuah proses yang harus
dilalui, dengan tetap berorientasi pada pembentukan system (sinergi), dan
selalu berupaya menjaga system yang telah dibentu (Ary Ginanjar Agustian, 2009:
239).
Setelah
menerapkan enam prinsip tersebut, diharapkan akan terbentuk mental manusia yang
tangguh dan kokoh, yang selalu berfikir positif terhadap segala sesuatu yang
terjadi baik yang sesuai dengan yang diharapkan ataupun yang tidak sesuai
dengan yang diharapkan. Berpikir positif ini sangat penting dalam membangun
karakter yang tangguh serta berpandangan jauh ke depan. Seorang filsuf kuno
Marcus Aurelius mengatakan “Galilah ke dalam diri anda. Di dalamnya akan
terdapat sumber segala kebaikan. Galilah terus, maka anda akan mendapatkan
sumber yang mengalir tanpa pernah kering” (Norman Vincent Pale, 2007: 10).
Setelah
membahas tahap pertama atau yang disebut dengan penjernihan emosi (zero mind process) yang dilanjutkan
tahap pembangunan mental (mental building),
tahap selanjutnya yang dikembangkan dalam membangun karakter moled ESQ 165
adalah melakukan pembangunan ketangguhan pribadi (Personal strength) dan ketangguhan social (Social strength). Atau yang sering disebut dengan lima langkah.
Pembangunan
ketangguhan pribadi ini meliputi tiga langkah yang saling berhubungan.
Langkah-tersebut yaitu:
1)
Penetapan Misi (Mission statement)
Penetapan misi ini sangatlah
penting, ini sebagai pondasi yang sangat mendasar dalam melakukan segala
sesuatu. Dalam penetapan misi ini, tentu tidak terlepas dari visi yang hendak
dicapai. Misi yang dikembangkan dalam pendidikan karakter model ESQ 165 adalah
pernyataan Syahadat yaitu Tiada Tuhan Selain Allah yang Maha kuasa atas segala
sesuatu.
Dengan meyakini adanya Tuhan yang
Maha Kuasa, maka manusia akan selalu sadar bahwa segala yang dilakukan tidak
lepas dari Tuhannya, yang kepada-Nya akan kembali segala sesuatu dan pasti akan
diberikan balasannya. Penetapan misi syahadat ini diharapkan akan dapat
membangun sebuah keyakinan dalam bertindak. Syahadat diharapkan akan selalu
menjadi pendorong dalam upaya mencapai suatu tujuan. Syahadat juga diharapkan
akan dapat membangkitkan keberanian serta optimism, sekaligus menciptakan
ketenangan batin dalam menjalankan misi hidup yang diamanahkan Allah swt kepada
umat manusia (Ary Ginanjar Agustian, 2009: 277).
2)
Pembangunan Karakter (Caharacter building)
Pembangunan karakter ini dilandasi
pada ibadah shalat, dimana dalam shalat itu terdapat banyak pelajaran. Dapat
membangun karakter yang tangguh, sebagaimana dijelaskan dalam hadits bahwa
“shalat itu adalah tiang agama” “shalat itu dapat mencegah dari perbuatan keji dan
munkar”. Ini menunjukkan bahwa membangun karakter itu harus disinergikan dengan
ibadah shalat, karena shalat hakikatnya menggabungkan nilai spiritual dan
emosional dalam satu wadah.
Pada hakikatnya shalat merupakan
metode relaksasi untuk menjaga kesadaran diri agar tetap memiliki cara berpikir
yang jernih, yang terbebas dari berbagai urusan keduniaan. Shalat juga
merupakan suatu langkah membangun kekuatan afirmasi. Shalat merupakan metode
yang dapat meningkatkan kecerdasan emosi dan spiritual secara teratur dan
terus-menerus. Shalat sebagai wadah untuk terus menerus mengasah dan
mempertajam ESQ yang diperoleh dari rukun iman (Ary Ginanjar Agustian, 2009:
307).
3)
Pengendalian Diri (Self Control)
Pengendalian diri ini, dalam model
ESQ 165 ini didasarkan pada ibadah puasa. Selama ini puasa sering dimaknai
sebatas menahan diri dari makan dan minum. Akan tetapi makna puasa sesungguhnya
adalah menahan diri dari segala yang bertentangan dengan fitrah manusia. Yaitu
segala sesuatu yang bertentangan dengan sifat-sifat kebaikan yang dipancarkan
dari Allah swt yang tidak terbatas pada perbuatan fisik akan tetapi juga
menyangkut batin atau emosional.
Pengendalian diri dengan mengambil
pelajaran dari berpuasa ini diharapkan akan dapat dijadikan sebagai metode
pelatihan untuk pengendalian diri, dengan tujuan untuk meraih kemerdekaan
sejati, dan pembebasan dari belenggu yang tidak terkendali yaitu hawa nafsu
yang berlebihan, sehingga dapat tetap menjaga asset kita yang paling berharga, yaitu suara hati
Ilahiah, dan tujuan hidup yang sesungguhnya (Ary Ginanjar Agustian, 2009: 326)
yaitu mengabdi hanya kepada Allah swt, sebagaimana ditegaskan dalam Firmannya
bahwa “tiada diciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk beribadah
kepada-Nya”.
Pembangunan
ketangguhan social (Social strength)
dalam model ESQ 165, ini meliputi dua langkah, yaitu:
4)
Strategi Colaboration Sinerg
Strategi kolaborasi ini pada model
ESQ 165 didasarkan pada konsep mengeluarkan zakat. Selama ini zakat hanya
dimaknakan sebatas memberikan bantuan materi kepada orang lain yang
membutuhkan. Padahal ada yang lebih penting dari itu, yaitu bagaimana manusia
mau mengeluarkan fitrah yang ada pada dirinya untuk melakukan sesuatu dengan
penuh kesadaran dan tanpa pamrih.
Strategi kolaborasi ini sangat
penting dalam membangun karakter bangsa, Karena kita tahu bahwa manusia itu
adalah makhluk social yang tidak bisa lepas sepenuhnya dari peran orang lain.
Kolaborasi diharapkan akan dapat saling mengisi dan berbagi atas apa yang kita
miliki atau kemampuan yang kita bisa lakukan.
Strategi kolaborasi yang
disinergikan dengan zakat ini dimaknai sebagai sebuah langkah nyata untuk
mengeluarkan pontensi spiritual (fitrah) yang kita miliki menjadi sebuah langkah
atau tindakan kongkrit untuk membangun sinergi yang kuat, yang berlandaskan
pada sikap empati, kepercayaan, sikap kooperatif, keterbukaan dan kredibilitas (Ary
Ginanjar Agustian, 2009: 369).
5)
Aplikasi
Total (Total Action)
Aplikasi total dalam model ESQ 165
ini didasari pada ibadah haji, yang dilakukan saat musim haji sebagai sebuah
ritual yang hanya bisa dilakukan di satu tempat yaitu di makkah sebagai tempat
berdirinya ka’bah. Dalam ibadah haji tersebut banyak kegiatan yang harus
dilakukan, yant tentunya mengandung nilai ibadah.
Dalam ibadah haji sinergi yang
terjadi tidak hanya antarmanusia atau antar Negara, namun juga antara manusia
dengan sang pencipta yaitu Allah swt, dimana saat melakukan thawaf ia “berdiri”
di tengah sebagai pemimpin segenap suara hati manusia yang fitrah (Ary Ginanjar
Agustian, 2009: 372).
Total aksi yang tigambarkan dalam
ibadah haji juga mengarahkan bagaimana manusia mengenal dirinya, siapa dan
bagaimana dia sebenarnya dan kemana akan kembalinya, ini sebagai bentuk
evaluasi diri seperti yang digambarkan saat melakukan wukuf atau berdiam diri.
Selain itu, haji juga memberikan pelajaran pada manusia bagaimana menghadapi
tantangan yang ada dalam diri, ini dilambangka saat melakukan lontar jumrah.
Dengan melakukan aplikasi total
yang dilambangkan dengan ibadah haji, diharapkan dapat dijadikan sebagai suatu
sarana transpormasi prinsip dan langkah secara total (tawaf) yang konsisten dan
menunjukkan persistensi perjuangan (sa’i), dan kemudian melakukan evaluasi dan
visualisasi serta mengenal jati diri secara spiritual ketika wukuf. Selain itu,
haji juga merupakan suatu pelatihan sinergi dalam skala yang tertinggi, dan
haji merupakan persiapan fisik serta mental dalam menghadapi berbagai tantangan
masa depan ini tercermin pada saal lontar jumrah (Ary Ginanjar Agustian, 2009:
393).
Penerapan
model ESQ 165 dalam upaya membangun karakter bangsa dengan menerapkan satu
hati, enam prinsip dan lima langkah secara total, pembangunan karakter bangsa
akan menjadi lebih mudah. Mengingat dalam model ESQ 165 ini mekolaborasikan
antara kecerdasan emosinal dan kecerdasan spiritual yang memiliki kekuatan yang
sangat luarbiasa dalam membangun karakter sebuah bangsa.
2. Metode Pendidikan Karakter Bangsa Model
ESQ 165
Mengingat
akan hakikat dari pendidikan yaitu menuju kepada kebaikan, maka langkah atau
metode yang ditempuh juga harus sesuai dengan fitrah manusia. Artinya, bahwa
metode pendidikan yang diterapkan harus berupa metode yang bersifat manusiawi,
artinya metode tersebut sesuai dengan tuntunan agama dan ajaran para rasul.
Seperti yang dilakukan Rasulullah saw, dalam menyampaikan materi pendidikan
kepada para sahabat, beliau selalu menggunakan metode yang mudah diterima oleh
para sahabat dan pesan yang disampaikan pun mudah diingat dan dipahami.
Mengenai
metode pedidikan yang diterapkan Rasulullah saw, Abdul Fattah Abu Ghuddah
mencoba mengemukakan 40 metode pendidikan dan pengajaran Rasulullah saw, yang
dapat diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi saat melakukan
kegiatan pembelajaran, diantaranya adalah: metode keteladanan, penyesuaian
dengan kompetensi siswa, metode analogi, dialogis, pertanyaan dan pujian,
motivasi dan ultimatum, cerita, nasihat dan peringatan dan lain sebagainya.
Pendidikan
karakter ini meliputi semua aspek dan semua bidang strudi bisa dimasukinya
dengan tidak mesti menjadi mata pelajaran tersendiri. Ini memungkinkan
pendidikan karakter itu dilakukan dengan metode komprehensif yang secara
langsung diintegrasikan ke dalam semua bidang studi atau mata pelajaran secara
langsung. Kesadaran akan perlunya digunakan pendekatan komprehensif dalam
pendidikan karakter ini diharapkan akan dapat menghasilkan lulusan yang mampu
membuat keputusan moral dan sekaligus memiliki perilaku yang terpuji berkat
pembiasaan terus-menerus dalam proses pendidikan (Darmiyati Zuchdi, 2009:45).
Pendidikan
karakter yang diintegrasikan dalam pembelajaran berbagai bidang studi dapat memberikan penga laman yang bermakna
bagi murid-murid karena mereka memahami, mengin ternalisasi, dan
mengaktualisasikannya melalui poses
pembelajaran. Dengan demikian, nilai-nilai tersebut dapat terserap
secara alami lewat kegiatan sehari-hari (Darmiyati Zuchdi Zuhdan Kun
Prasetya& Muhsinatun Siasah Masruri, 2010: 3).
Harapan
dari pendidikan karakter dengan metode terintegrasi secara langsung, siswa
diharapkan akan dapat lebih memaknai hakikat dari karakter yang yang muncul
dari apa yang dipelajari, sehingga siswa tidak hanya memiliki kemampuan tingkat
kognitif saja, akan tetapi juga memiliki kemampuan secara emosional dan juga
spiritual, yang sering disebut dengan istilah kecerdasan ESQ oleh Ary Gynanjar
Agustian.
Dari
segi metode, pendekatan komprehensif dalam pendidikan karakter ini meliputi
inkulkasi (inculcation), keteladanan
(modeling), fasilitasi (facilitation), dan pengembangan
keterampilan (skill building)
(Darmiyati Zuchdi, 2009:46). Untuk lebih jelasnya keempat komponen pendekatan
inkulkasi tersebut dalam penerapannya di sekolah dijelaskan sebagai berikut:
1)
Inkulkasi (inculcation)
Inkulkasi (penanaman) nilai-nilai
atau karakter yang dilakukan dengan cirri-ciri sebagai berikut:
a.
Mengomunikasikan kepercayaan disertai
alasan yang mendasarinya.
b.
Memperlakukan orang lain secara adil.
c.
Mengharapkan pandangan orang lain.
d.
Mengemukakan keraguan-keraguan atau
perasaan tidak percaya disertai dengan alasan, dan dengan rasa hormat.
e.
Tidak sepenuhnya mengontrol lingkungan
untuk meningkatkan kemungkinan penyapian nilai-nilai yang dikehendaki, dan
mencegah kemungkinan penyampaian nilai-nilai yang tidak dikehendaki.
f.
Menciptakan pengalaman social dan
emosional mengenai nilai-nilai yang dikehendaki secara tidak ekstrim.
g.
Membuat aturan, memberikan penghargaan
dan memberikan konsekuensi diertai alas an.
h.
Tetap membuka komunikasi dengan pihak
yang tidak setuju.
i.
Memberikan kebebasan bagi adanya
perilaku yang berbeda-beda apabila sampai pada tingkat yang tidak dapat
diterima, diarahkan untuk memberikan kemungkinan berubah.
Metode inkulkasi ini merupakan
kebalikan atau lawan dari metode indoktrinasi.
2)
Keteladanan
Dalam pendidikan karakter, metode
keteladanan adalah metode yang mutlak diterapkan. Untuk menerapkan metode ini,
ada dua syarat yang harus diperhatikan yaitu: 1) guru harus berperan sebagai
model yang baik bagi siswanya. 2) siswa harus bersedia meneladaniorang terkenal
atau para tokoh yang berakhlak mulia, seperti para Nabi dan rasul, para ulama,
dan guru yang berakhlak mulia. Ini harapannya adalah agar siswa benar-benar
dapat merasakan bagaimana karakter yang sesungguhnya yang tidak cukup hanya diketahui,
tetapi juga harus dirasakan yang disebut oleh Lincona sebagai kemampuan moral feeling.
3)
Fasilitasi (facilitation)
Setelah metode inkulkasi dan
keteladanan mendemonstrasikan kepada siswa cara yang terbaik untuk mengatasi
berbagai masalah, maka fasilitasi disini adalah berperan bagaimana melatih
siswa mengatasi masalah-masalah tersebut. Inti dari metode ini adalah bagaimana
memberikan kesempatan kepada siswa. Menurut Krischenbaum (1995: 41), kegiatan
yang dilakukan siswa dalam metode fasilitasi ini berdampak positif terhadap
perkembangan kepribadian karena hal-hal sebagai berikut:
a.
Kegiatan fasilitasi secara signifikan
dapat meningkatkan hubungan pendidikndan
siswa. Artinya pendidikn dan siswa dapat saling menghargai, ketika pendidik
menghargai siswa maka siswa pun akan menghargai pendidik.
b.
Membantu siswa memperjelas pemahaman,
ini artinya siswa mempunyai kesempatan untuk memperjelas kembali apa yang belum
jelas atau yang belum diketahuinya.
c.
Membantu siswa yang sudah menerima satu
nilai, tetapi belum mengamalkannya secara konsisten, meningkat dari pemahaman
secara intelektual ke komitmen untuk bertindak. Tindakan moral memerlukan tidak
hanya pengetahuan, tetapi juga perasaan, maksud dan kemauan.
d.
Membantu siswa berpikir lebih jauh
tentang nilai yang dipelajari, menemukan wawasan sendiri, belajar dari
teman-temannya, yang telah menerima nilai-nilai yang diajarkan, dan akhirnya
menyadari kebaikan hal-hal yang disampaikan oleh pendidik.
e.
Fasilitasi menyebabkan pendidik lebih
dapat memahami pikirandan perasaan siswa.
f.
Memotivasi siswa menghubungkan persoalan
nilai dengan kehidupan, kepercayaan, dan perasaan mereka sendiri. Dengan
melibatkan kepribadian siswa, maka pembelajaran akan menjadi lebih menarik.
4)
Pengembangan keterampilan akademik dan
sosial
Dalam mengamalkan nilai-nilai
karakter yang telah dipelajari dan diketahui, ada beberapa hal yang diperlukan
sehingga bisa berprilaku konstruktif dan bermoral dalam masyarakat.
Keterampilan tersebut antara lain berpikir kritis, berpikir kreatif,
berkomunikasi secara jelas, menyimak, bertindak asertif, dan menemukan resolusi
konflik.
Dari
paparan metode pendidikan karakter tersebut, terlihat bahwa pendidikan karakter
yang dilakukan dengan pendekatan komprehensif ini dapat lebih efektif untuk
pendidikan karakter bangsa dengan model ESQ 165, karena dapat menjangkau semua
aspek yang menjadi sasaran dari pendidikan karakter, yaitu aspek kognitif,
afektif dan psikomotor, yang oleh Lickona disebut sebagai (moral knowing, moral feeling, & moral action), dan Ary Ginanjar
Agustian menggabungkannya dalam istilah ESQ 165, yaitu satu Ihsan, enam rukun
iman dan lima rukun islam.
Ketika
pendidikan karakter bangsa sudah dapat menggabungkan atau memadukan ketiga aspek
tersebut, maka itu baru dapat dikatakan bahwa pendidikan karakter bangsa sudah
dapat memenuhi tuntutan kebutuhan, terutama dalam usaha menagkal dan
menghilangkan dampak degradasi moral yang disebabkan oleh berbagai faktor yang
tidak terkontrol, seperti sikap, tatacara berpakaian, kebiasaan berkata kasar,
suka berbuat kerusakan dll. Menjadi sikap dan dan pandangan hidup yang positif,
yang selalu mengarah pada perbaikan untuk masa yang akan datang dengan visi dan
misi yang jelas serta langkah dan landasan yang kuat yaitu Ihsan, Iman dan
Islam yang akrab disebut dengan 165.
3. Peran Pendidik Dalam Model ESQ 165
Kata
pendidik berasal dari kata dasar didik, yang artinya memelihara, merawat dan
memberi latihan agar seseorang memiliki ilmu pengetahuan seperti yang
diharapkan (tentang sopan santun, akal budi, akhlak, dan sebagainya) (Ramayulis
& Samsul Nizar, 2009: 138). Istilah pendidik dalam Islam adalah siapa saja
yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik (Ahmad Tafsir, 2008:
74).
Mustami’uddin
Ibrahim menyatakan bahwa.
“Pendidik pada
hakekatnya ialah seorang yang bertanggung jawab untuk mengajarkan atau
menyampaikan ilmu dan memberikan bimbingan secara sadar terhadap perkembangan
kepribadian dan kemampuan peserta didik baik itu dari aspek jasmani maupun
rohaninya agar ia mampu hidup mandiri dan dapat memenuhi tugasnya sebagai hamba
Allah swt, sebagai makhluk individu dan juga sebagai makhluk sosial.” (Usman.
2010: 145-146).
Daari paparan
definisi pendidik tersebut, dapat diketahui bahwa seorang yang disebut pendidik
adalah orang yang memiliki kemampuan untuk merancang program pembelajaran,
serta mampu menata dan mengelola kelas agar siswa dapat belajar, dan pada
akhirnya akan dapat mencapai tingkat kedewasaan sebagai tujuan akhir dari
proses pendidikan. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pendidik juga harus
memiliki integritas dalam melakukan segala sesuatu yang akan diajarkan, tidak
terbatas pada ruang kelas saja.
Integritas
seorang pendidik yang melekat padanya, tentu tidak terlepas dari pengamatan
keseharian siswa. Ini Artinya, bahwa siswa secara tidak langsung akan
mengevaluasi akhlak mulia pendidiknya yang didasarkan pada bagaimana cara
seorang pendidik memperlakukan siswa dalam proses pembelajaran. Secara tidak
langsung dalam proses pembelajaran, siswa mengetahui bagaimana seorang pendidik
dapat melayani sebagai teladan dengan mengajar karakter dan nilai-nilai moral
(akhlak mulia), seperti kejujuran, kepercayaan, keadilan, rasa hormat, dan
tanggung jawab (Dimyati, 2010: 85). Untuk lebih jelasnya mengenai keteladanan yang
diberikan guru kepada siswa dalam proses pendidikan akhlak mulia, berikut
dijelaskan secara lebih detail.
Kejujuran,
seorang
pendidik harus bisa menunjukkan akhlak kejujuran dengan menyatakan sebuah
kebenaran dan bertindak dengan cara-cara yang terhormat dan terpuji (Akhlakul
mahmudah). Dengan berusaha berkata jujur, dan tidak suka berbuat
kebohongan, tentu ini akan menjadi sebuah akhlak mulia yang diharapkan akan
dapat ditiru oleh siswa dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga
secara tidak langsung dengan akhlak kejujuran, seorang pendidik sudah mendidik
siswanya untuk berakhlak mulia yaitu berbuat jujur dalam segala aspek
kehidupan.
Kepercayaan,
seorang
pendidik harus bisa menanamkan dalam dirinya untuk dapat memberikan kepercayaan
terhadap orang lain yang berkembang setiap kali orang tersebut memenuhi janji
dan komitmennya. Dalam hal ini seorang pendidik harus berusaha memberikan
kepercayaan kepada siswa bahwa mereka bisa berkarya dan mengembangkan kemampuan
yang dimiliki. Dengan demikian siswa diharapkan akan mempunyai rasa percaya
diri bahwa mereka mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya dengan didukung
oleh sekolah dalam hal ini pendidik.
Keadilan,
ini
berhubungan erat dengan kepercayaan sehingga siswa dapat dengan cepat belajar
apakah mendapat perlakuan diskriminasi atau perlakuan secara tidak adil dari
seorang pendidik. Seorang pendidik harus bisa berlaku adil terhadap semua
siswanya dengan tidak mendiskriminasikan salah satu diantara siswa. Pendidik
yang adil percaya pada kemampuan masing-masing siswa untuk belajar, dan
mendorong setiap siswa untuk mencapai pada tingkat kemungkingan tertinggi.
Dengan adanya perlakuan yang adil terhadap semua siswa ini akan menumbuhkan
rasa percaya diri siswa dan oftimisme untuk bisa berhasil dalam belajar sama
dengan teman-temannya yang lain, yang akhirnya akan menghilangkan kesenjangan
diantara sesama siswa dalam berprestasi.
Hormat,
seorang
pendidik dalam proses pembelajaran harus bisa menunjukkan rasa hormat terhadap
semua warga sekolah, baik terhadap sesama pendidik juga terhadap semua
siswanya, dengan tanpa memandang suku, ras, gender, status sosial dan ekonomi,
karakteristik individu dan kemampuan. Menurut Noddings (Dimyati. 2010: 93)
menganjurkan agar pendidikan moral (akhlak) didasarkan pada pendidik dan
pendidik harus menunjukkan kepedulian dan menyadari bahwa siswa adalah individu
yang unik. Ini artinya, kalau pendidik mengharapkan siswanya berakhlak mulia,
maka hendaknya pendidik itu yang terlebih dahulu menerapkan akhlak mulia yang
akan diajarkan pada siswa, sehingga dengan demikian, siswa akan dapat belajar
akhlak mulia dari pendidik secara tidak langsung antara lain yaitu dengan
meniru atau dari hasil pengamatan siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Tanggung jawab, sebagai seorang
pendidik merupakan tugas yang mulia, sekaligus menuntut tanggung jawab yang
besar terhadap orang tua, masyarakat, bangsa dan agama. Dalam pembelajaran
seorang pendidik harus bertindak secara professional. Misalnya saat pendidik
menciptakan dan mempertahankan suasana dan lingkungan belajar yang positif dan
fokus pada penyediaan pelayanan pendidikan kepada siswa dan masyarakat untuk
mengembangkan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik siswa, maka ini
dapat dikatakan bahwa seorang pendidik itu bisa bertanggung jawab.
Selain memiliki
intergritas, seorang pendidik dalam melaksanakan tugas harus tetap
mengedepankan sikap profesional. Ahmad Tafsir (2008: 108-112) mengemukakan
sepuluh kriteria yang harus ada sehingga bisa disebut bidang profesi, yaitu:
a.
Profesi harus memiliki keahlian yang
khusus.
b.
Profesi harus diambil sebagai pemenuhan
panggilan hidup.
c.
Profesi memiliki teori-teori yang baku
secara universal.
d.
Profesi adalah untuk masyarakat, bukan
untuk diri sendiri.
e.
Profesi harus dilengkapi dengan
kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif.
f.
Pemegang profesi memiliki otonomi dalam
melakukan profesinya.
g.
Profesi hendaknya mempunyai kode
etik.
h.
Profesi harus mempunyai klien yang
jelas.
i.
Profesi memerlukan organisasi profesi.
j.
Mengenali hubungan profesinya dengan
bidang-bidang lain.
Dari kesepuluh
kriteria yang disebutkan di atas, dapat diketahui bahwa seorang guru yang
profesional dalam melaksanakan tugasnya, harus menyadari bahwa tugas yang
diembannya itu merupakan tuntutan yang harus dikerjakan sesuai dengan bidang
ahlinya, serta dengan tidak berhenti untuk terus mengembangkan profesinya
tersebut, yang akan menunjang pencapaian pendidikan yang diharapkan terhadap
siswa dengan penuh tanggung jawab.
Bentuk
tanggung jawab seorang pendidik dalam melaksanakan tugas yang diamanatkan
kepadnya, harus memiliki sipat yang diteladankan Rasulullah saw yaitu shiddik, amanah, tabliq, dan fathonah. Ini artinya bahwa pendidik itu
tidak hanya cerdas secara inteligensi, akan tetapi juga harus cerdas secara
emosional dan spiritual. Ini lah yang dibutuhkan dalam menerapkan model ESQ 165
dalam rangka membangun karakter bangsa.
4. Evaluasi Pendidikan Model ESQ 165
Dalam
dunia pendidikan, setelah melalukan kegiatan pembelajaran, langkah selanjutnya
adalah mengetahui hasil dari kegiatan pembelajarn yang sudah dilakukan inilah
yang disebut dengan evaluasi. Evaluas dapat diartikan sebagai penetapan baik
dan buruk, memadai-kurang memadai (judgement), terhadap sesuatu
berdasarkan kriteria tertentu yang disepakati sebelumnya dan dapat
dipertanggungjawabkan (Muhaimin. 2004: 187).
Selama
ini evaluasi pendidikan yang dilakukan di sekolah cenderung hanya memperhatikan
aspek kognitif saja yang identik dengan IQ, sementara aspek EQ dan SQ, jarang
sekali disentuh. Sehingga ini menjadi salah satu factor yang menyebabkan
terjadinya degradasi moral atau karakter bangsa Indonesia sekarang ini.
Adapun
evaluasi yang diharapkan dalam pendidikan karakter bangsa mencakup ketiga aspek
inteligensi yaitu IQ, EQ, dan SQ. ini diharapkan akan dapat memberikan
informasi hasil pendidikan yang secara utuh tidak terpisah dari satu aspek
dengan aspek yang lain. Evaluasi semacam ini sangat cocok dengan model ESQ 165,
dalam upaya membangun karakter bangsa yang secara utuh.
C. KESIMPULAN
Pendidikan
karakter bangsa model ESQ 165 adalah model pendidikan yang memadukan antara
kecerdasan emosional dan spiritual menjadi satu kesatuan yang dilandasi atas
dasar nilai-nilai Ketuhanan yang rangkum dalam 1 ihsan, 6 rukun iman, dan 5
rukun Islam.
Model
ESQ 165 dalam upaya membangun karakter bangsa melalui dunia pendidikan adalah
metode ini di terapkan dengan model terintegrasi dalam semua bidang studi atau
mata pelajaran. Dengan menggunakan metode komprehensip.
Evaluasi
yang diterapkan dalam model ESQ 165 dalam upaya membangun karakter bangsa
melalui dunia pendidikan, adalah evaluasi yang mencakup tiga aspek kecerdasan
yaitu IQ, EQ, dan SQ. Penerapan model
ini diharapkan akan akan dapat memberikan informasi hasil belajar yang secara
utuh yang bersifat komprehensif.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Fattah Abu Ghuddah. (2009). 40 metode pendidikan dan pengajaran
Rasulullah saw. Bandung. Irsyat Baitus Salam.
Ahmad Tafsir. (2008). Ilmu pendidikan dalam
perspektif Islam. Bandung. Remaja Rosdakarya.
Ahmad Tafsir. (2007). Metode pengajaran agama
Islam. Bandung. Remaja Rosdakarya.
Ary Ginanjar Agustian. (2009). ESQ, Emotional, spiritual, quotient. Jakarta. ARGA Publishing.
Darmiyati Zuchdi. (2009). Humanisasi pendidikan, menemukan kembali pendidikan yang manusiawi.
Jakarta. Bumi Aksara.
Darmiyati Zuchdi, Zuhdan Kun Prasetya &
Muhsinatun Siasah Masruri Cakrawala
Pendidikan, Mei 2010, Th. XXIX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY.
Dimyati. (2010). Peran guru sebagai model dalam pembelajaran karakter dan kebajikan
moral melalui pendidikan jasmani. Jurnal ilmiah pendidikan. Cakrawala pendidikan. LPM. UNY
Muhaimin. (2004). Wacana pengembangan pendidikan
Islam. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Norman Vincent Peale. (2007). Kiat mempertahankan prinsip hidup dan berpikir positif. Yogyakarta.
Media Abadi.
Ramayulis & Samsul Nizar. (2009). Filsafat
pendidikan Islam. Jakarta. Kalam Mulia.
Usman. (2010). Filsafat pendidikan, Kajian
filosofis pendidikan Nahdlathul Wathan di Lombok. Yogyakarta. Terah.
0 komentar:
Posting Komentar