BAGIAN III
KONSEP DASAR SEJARAH
A.
Kompetensi Dasar
Setelah mempelajari materi pada bagian III
ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami konsep dasar sejarah dan
mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
B.
Deskripsi Materi
1.
Definisi dan tinjauan umum tentang sejarah
Istilah sejarah berasal dari bahasa
Arab, yakni dari kata “syajaratun” (dibaca
syajarah) yang memiliki arti “pohon kayu”. Pengertian “pohon kayu” disini adalah adanya suatu kejadian,
perkembangan/pertumbuhan tentang sesuatu hal (peristiwa) dalam suatu
kesinambungan (kontinuitas) (Dadang Supardan, 2009:287). Pendapat ini menunjukkan bahwa sejarah itu
dapat ditinjau dari segi proses perkembangan atau terjadinya suatu kejadian
atau peristiwa.
Selain itu ada pula peneliti
yang menganggap bahwa arti kata “syajarah” tidak sama dengan kata “sejarah”, sebab sejarah bukan hanya bermakna
sebagai “pohon keluarga” atau asal-usul
atau silsilah. Walaupun demikian diakui bahwa ada hubungan antara kata “syajarah” dengan kata “sejarah”, seseorang
yang mempelajari sejarah tertentu berkaitan dengan cerita, silsilah,
riwayat dan asal-usul tentang seseorang atau
kejadian (Sjamsuddin, 1996: 2).
Dengan demikian
pengertian “sejarah” yang dipahami saat sekarang
ini berasal dari alih bahasa Inggris yakni “history”, yang bersumber dari bahasa Yunani Kuno “historia” (dibaca istoria)
yang berarti “belajar dengan cara bertanya-tanya”. Kata “historia”
ini diartikan sebagai pertelaan mengenai gejala-gejala (terutama hal ikhwal
manusia) dalam urutan kronologis (Sjamsuddin dan Ismaun, 1996: 4).
Setelah
menelusuri arti “sejarah” yang dikaitkan dengan arti kata “syajarah” dan dihubungkan pula dengan kata “history”,
yang bersumber dari kata “historia” dapat disimpulkan bahwa
arti kata sejarah sendiri saat sekarang ini memiliki makna “sebagai cerita,
atau kejadian yang benarbenar telah terjadi pada masa lampau atau waktu yang
telah lewat”.
Sunnal dan Haas (1993: 278) menyebut istilah
sejarah sebagai “history is a chronological study that interprets and gives
meaning to events and applies systematic methods to discover the truth”. Selain
itu, Edward Hallet Carr
(1982: 30) mengungkapkan, bahwa “history
is a continous process of interaction between the historian and his facts, and unending dialogue between the present
and the past” (sejarah ialah
suatu proses interaksi serba terus menerus antara sejarawan dengan fakta-fakta
yang ada padanya, suatu dialog yang tiada henti-hentinya antara masa sekarang
dengan masa silam).
Sementara itu, Depdiknas
memberikan pengertian sejarah sebagai mata pelajaran yang menanamkan pengetahuan dan nilai-nilai mengenai
proses perubahan dan perkembangan masyarakat
Indonesia dan dunia dari masa lampau hingga kini (Depdiknas, 2003: 1). Namun yang jelas kata
kuncinya bahwa sejarah merupakan suatu penggambaran ataupun rekonstruksi
peristiwa, kisah, mapun cerita, yang benar-benar telah terjadi pada masa lalu.
Berdasarkan uraian pendapat ahli di atas,
dapat disimpulkan bahwa sejarah adalah ilmu yang mempelajari peristiwa
kehidupan manusia pada masa lampau sehingga sejarah memiliki tugas pokok yaitu
membuka kegelapan atau mengungkap berbagai peristiwa atau kejadian kehidupan
umat manusia masa lampau untuk dipaparkan pada generasi masa kini, dengan suatu
tujuan agar generasi masa kini dapat mengetahui, memahami, dan mencontoh
hal-hal atau kejadian yang positif dari generasi masa lampau.
Para ahli sejarah pada umumnya telah sepakat
untuk membagi peranan dan kedudukan sejarah
yang terbagi atas tiga hal, yakni; (1) sejarah sebagai peristiwa; (2)
sejarah sebagai cerita, dan; (3) sejarah sebagai ilmu (Ismaun, 1993: 277).
1)
Sejarah Sebagai Peristiwa
Sejarah sebagai peristiwa merupakan segala
sesuatu yang terjadi pada masyarakat manusia di masa lampau. Pengertian pada
“masyarakat manusia” dan “masa lampau”
merupakan sesuatu yang penting dalam
definisi sejarah. Sebab kejadian yang tidak
memiliki hubungan dengan kehidupan masyarakat manusia, dalam pengertian
ini bukanlah merupakan suatu peristiwa sejarah. Sebaliknya juga peristiwa yang terjadi pada umat manusia namun
terjadi pada sekarang, bukan pula
peristiwa sejarah. Karena itu konsep siapa yang yang menjadi subyek dan obyek
sejarah serta konsep waktu, dua-duanya menjadi penting.
Pengertian sejarah
sebagai peristiwa, sebenarnya memiliki makna yang sangat
luas dan beraneka ragam. Keluasan dan keanekaragaman tersebut sama dengan
luasnya dan kompleksitas perjalanan kehidupan manusia. Beberapa aspek kehidupan
manusia seperti aspek sosial, budaya,
ekonomi, pendidikan, politik, kesehatan, agama, keamanan, dan lain
sebagainya terjalin dalam peristiwa sejarah. Mengingat begitu kompleksnya
masalah sejarah pemahaman tentang sejarah tersebut, maka untuk mempermudah dalam memahami tentang sejarah, para ahli
sejarah mengelompokkan sejarah atas
beberapa tema. Pembagian sejarah yang demikian itulah yang disebut pembagian
sejarah secara tematis, seperti: sejarah politik, sejarah kebudayaan, sejarah
perekonomian, sejarah agama, sejarah pendidikan, sejarah kesehatan, dan
sebagainya.
Selain pembagian sejarah berdasarkan tema
(tematis), para ahli juga melakukan pembagian sejarah berdasarkan periode
waktunya. Dalam pembagian sejarah berdasarkan periodisasi ini kita dapat
mengambil contoh untuk sejarah Indonesia, misalnya zaman prasejarah, zaman
pengaruh Hindu-Budha, zaman pengaruh Islam, zaman kekuasaan Belanda, zaman
pergerakan Nasional, zaman pendudukan Jepang, zaman kemerdekaan, zaman
Revolusi, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Sebagai tolak ukur dalam
menentukan tiap periode/zaman tersebut harus terpenuhi unsur-unsur pembeda
antar periode satu dengan lainnya.
Selain itu, pembagian sejarah juga dibagi
berdasarkan unsur ruang, ini dikenal dengan pembagian sejarah secara regional
atau kewilayahan. Contohnya; sejarah Eropa, sejarah Asia, sejarah Timur Tengah,
sejarah Amerika Latin, sejarah Timur-Jauh, sejarah Asia Tenggara, sejarah
Afrika Utara, dan lain sebagainya. Sejarah regional juga bisa menyangkut
sejarah dunia, tetapi ruang-lingkupnya lebih terbatas oleh persamaan
karakteristik baik fisik maupun sosial-budayanya.
Sejarah sebagai peristiwa sering juga disebut
sejarah sebagai kenyataan dan sejarah serba obyektif (Ismaun, 1993: 279). Ini
artinya peristiwa-peristiwa tersebut benar-benar terjadi dengan didukung oleh
evidensi-evidensi yang menguatkan baik berupa saksi mata (witness) yang
dijadikan sumber-sumber sejarah (historical sources),
peninggalan-peninggalan (relics atau remains) dan catatan-catatan
atau records (Lucey, 1984: 27). Peristiwa sejarah itu juga dapat
diketahui dari sumber-sumber yang bersifat lisan yag disampaikan dari mulut ke
mulut.
Menurut Sjamsuddin (1996: 78), ada dua macam
sumber lisan yang dimaksud dalam konsep sejarah, yaitu: Pertama, sejarah lisan
(oral history), ingatan lisan (oral reminiscence)
yaitu ingatan tangan pertama yang dituturkan secara lisan oleh orang-orang yang
diwawancarai oleh sejarawan. Kedua, tradisi lisan (oral tradition)
yaitu narasi dan deskripsi dari orang-orang dan peristiwa-peristiwa pada masa
lalu yang disampaikan dari mulut ke mulut selama beberapa generasi.
Bagaimanapun bentuknya, peristiwa sejarah itu baru diketahui apabila ada sumber
yang sampai kepada sejarawan dan digunakan untuk menyusun peristiwa berdasarkan
sumber.
2)
Sejarah sebagai cerita
Sejarah sebagai cerita, dalam hal ini sejarah
dilihat dari aspek peristiwa sejarah itu sendiri yang dapat ditelusuri dari
berbagai sumber lisan atau tulisan dalam bentuk penuturan ataupun yang tersusun
dalam sebuah cerita, tentang berbagai peristiwa ataupun kejadian yang terjadi
pada masa lampau di dalam masyarakat. Oleh karena suatu cerita sejarah sangat
tergantung pada kelengkapan sumber sejarah yang tersedia, selain oleh kemahiran
sejarawan itu sendiri dalam memaparkan suatu peristiwa sejarah.
Menurut Wood Gray (1956: 9), untuk menyusun
suatu cerita dan eksplanasi sejarah setidaknya ada enam langkah penelitian yang
perlu diperhatikan, yaitu:
a) Memilih
satu topik yang sesuai.
b) Mengusut
semua evidensi (bukti) yang relevan dengan topik.
c) Membuat
catatan tentang itu, apa saja yang dianggap penting dan relevan dengan topik yang ditemukan ketika penelitian sedang berlangsung (misalnya dengan menggunakan system
cards).
d) Mengevaluasi
secara kritis semua
evidensi yang telah
dikumpulkan (kritik sumber).
dikumpulkan (kritik sumber).
e) Menyusun
hasil-hasil penelitian (catatan fakta-fakta) ke dalam suatu pola yang benar dan
berarti yaitu sistematika tertentu yang telah disiapkan sebelumnya.
f) Menyajikan
dalam suatu cara yang dapat menarik perhatian dan mengkomunikasikannya kepada
para pembaca sehingga dapat
dimengerti sejelas mungkin.
3)
Sejarah Sebagai Ilmu
Sejarah sebagai ilmu, dalam
pengertian ini kita mengenal definisi sejarah
yang bermacam-macam, baik yang menyangkut persoalan kedudukan sejarah
sebagai bagian dari ilmu sosial, atau sejarah sebagai bagian dari ilmu
humaniora, maupun yang berkembang di sekitar arti makna dan hakikat yang
terkandung dalam sejarah. Berikut ini beberapa definisi sejarah yang
dikemukakan oleh para sejarawan.
Bury (Teggart, 1960: 56.)
secara tegas menyatakan bahwa “history is science; no less, and no more” dari pernyataan tersebut
dapat dipahami bahwa “sejarah itu adalah ilmu, tidak kurang dan tidak lebih”. Pernyataan ini tidak bermaksud untuk memberikan
penjelasan batasan tentang suatu konsep,
melainkan untuk memberikan tingkat pengkategorian sesuatu ilmu atau bukan. Penjelasan tersebut jelas tidak
memadai untuk untuk memperoleh sesuatu
pengertian. Sementara itu, Carr (1982: 30) menyatakan, bahwa “history
is a continous process of interaction
between the historian and his facts, and unending dialogue between the
present and the past”
Pollard
(Ismaun, 1993: 282) menyatakan bahwa History...is
both a science and art, because it requires scientific analysis of materials
and an artistic synthesis of the result. Berdasarkan pernyataan
tersebut, dapat dipahami bahwa Sejarah dikategorikan sebagai ilmu karena
dalam sejarah juga memiliki “batang tubuh keilmuan”
(the body of knowledge), metodologi yang spesifik. Sejarah juga memiliki
struktur keilmuan tersendiri, baik dalam; fakta, konsep, maupun generalisasinya (Banks, 1977: 211-219).
Kedudukan sejarah
di dalam ilmu pengetahuan, digolongkan ke dalam:
1)
Sejarah sebagai Ilmu sosial, karena
menjelaskan perilaku sosial.
2)
Sejarah sebagai Seni atau “art”. Sejarah
digolongkan dalam “sastera”. Sejarah dikategorikan sebagai ilmu humaniora
terutama karena dalam sejarah memelihara dan merekam warisan budaya serta
menafsirkan makna perkembangan umat manusia. Itulah sebabnya dalam tahap
historiografi dan eksplanasinya, sejarah memerlukan sentuhan-sentuhan
“estetika” atau “keindahan” (Ismaun, 1993: 282-283).
3)
sejarah sebagai cerita; bahwa sejarah itu pada
hakikatnya merupakan hasil rekonstruksi sejarawan terhadap sejarah sebagai
peristiwa berdasarkan fakta-fakta sejarah yang dimilikinya. Dengan demikian di
dalamnya terdapat pula penafsiran sejarawan terhadap makna suatu peristiwa.
2.
Sejarah Perkembangan Sejarah
Berbicara masalah sejarah
perkembangan sejarah seolah tidak ada habisnya, banyak ahli sejarah yang
mengemukakan tentang sejarah perkembangan sejarah, bahkan tidak jarang terjadi
perbedaan pendapat diantara ahli sejarah dalam menjelaskan sejarah perkembangan
sejarah. Salah satu faktor yang mempengaruhi hal tersebut yaitu adanya
penemuan-penemuan baru tentang fakta sejarah, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Dalam ilmu sejarah sering
terjadi penolakan terhadap karya generasi sebelumnya itu dibarengi
oleh munculnya pendekatan-pendekatan baru terhadap masa
silam (sejarah), khususnya yang diringkas dalam empat slogan dan empat bahasa:”sejarah
dari bawah, microstoria, Alltagsgeschichte, dan history de
Immaginaire (Burke, 2000: 442).
Pertama, “sejarah dari bawah”, ini memiliki makna dasar
bahwa sejarah tidak hanya menyoroti para tokoh besar, namun juga orang-orang
kebanyakan di masa lalu. Penulisannya-pun tidak boleh terlalu diwarnai oleh
wawasan tokoh besar, melainkan juga harus bertolak dari sudut pandang orang-orang
kebanyakan. Ini merupakan perubahan paling
penting dalam ilmu sejarah sepanjang abad dua puluh, yang memberi
perimbangan atas kelemahan-kelemahan atas tradisi historigrafi elitis yang
tidak memasukkan pengalaman, kebudayaan, dan aspirasiaspirasi kelompok bawah
yang mendominasi (Guha, 1982).
Pergeseran tersebut telah
mendorong bangkitnya tradisi sejarah oral, sehingga memberikan kesempatan bagi
orang-orang kebanyakan untuk mengutarakan
pengalaman mereka mengenai proses sejarah dengan bahasa mereka sendiri.
Akan tetapi, praktek sejarah dari bawah tersebut pada gilirannya menjadi terlalu disederhanakan dari pemikiran
aslinya, terutama karena menajamnya
perbedaan orientasi antara berbagai kelompok yang didominasi kelas pekerja, para petani, rayat terjajah, dan
wanita. Sekitar kurun waktu 1970- an, gerakan untuk menciptakan ilmu
sejarah khusus wanita mulai terlihat bentuknya, berkat kebangkitan studi-studi
wanita dan feminisme.
Hal ini melemahkan setiap asumsi tentang kesatuan yang disubordinasikan (Burke,
2000:442).
Kedua, “microstoria” atau “sejarah
mikro”, yang bisa didefinisikan sebagai suatu usaha mempelajari masa
lalu pada level komunitas kecil, baik itu berupa sebuah desa, keluarga, bahkan individu. Pendekatan ini ditempatkan pada peta
sejarah oleh Carlo Ginzburg dalam Cheese and Worms (1976), sebuah studi mengenai kosmos lingkungan Italia abad enam belas.
Studi ini sebagai jawaban atas desakan Inquisisi, yang disusun
berdasarkan catatan-catatan inquisisi yang digunakan untuk memotret pedesaan abad enam belas yang kemudian
juga diperbandingkan dengan studi-studi
komunitas seperti Akenfield karya Ronald Blythe. Hasil penelitian ini
mengilhami sebuah mazhab atau paling tidak sebuah kecenderungan baru dalam
perkembangan sejarah.
Ketiga, Alltagsgeschichte atau
“sejarah keseharian”, yang merupakan pendekata
yang berkembang atau paling tidak
pernah hangat didefinisikan di Jerman.
Pendekatan ini menarik garis tradisi filsafat dan sosiologis. Seperti
halnya sejarah mikro, yang memang tumpang-tindih
dengannya, sejarah keseharian ini menjadi penting karena bisa menembus
pengalaman manusia dan membawanya ke sejarah sosial, yang dipandang oleh sebagian praktisinya semakin abstrak dan
tanpa wajah. Pendekatan ini dikritik sebab perhatiannya pada apa yang
disebut para pengkritiknya sebagai hal-hal yang remeh, serta mengabaikan
politik. Namun demikian, pendekatan ini juga
punya pembela, seperti halnya sejarah mikro, yang menegaskan bahwa hal-hal yang tampak remeh-pun
acapkali bisa menjadi kunci untuk memahami
perubahan-perubahan penting dan berskala besar (Ludtke; 1982).
Keempat, historie del ’immaginaire atau
“sejarah mentalitet” yang bisa didefinisikan
sebagai versi sehari-hari dari sejarah intelektual atau sejarah ide-ide. Dalam kalimat lain, ini adalah sejarah kebiasaan
berfikir atau asumsi-asumsi yang tak terucapkan, dan sering tertutup
oleh gagasan-gagasan verbal yang dirumuskan secara sadar oleh para filsuf dan
teoretisi. Pendekatan ini berawal di Prancis pada kurun 1920-an dan 1930-an, muncul sebagai kebangkitan kembali. Para sejarawan yang bekerja di bidang ini lebih
berminat untuk menyimak representasi-representasi atau aspek-aspek visual dan
mental dari suatu peristiwa (Dadang Supardan, 2009:322).
3.
Metode dan Ilmu Bantu Sejarah
Dalam metodologi riset, sering dikenal istilah
metode historis dengan langkah-langkah; “Define
the problems or questions to be investigated; search for sources of historical
facts; summarize and evaluate the historical sources; and present
the pertinent facts within an interpretative framework” (Edson, 1986: 20).
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa tahapan dalam metode
sejarah antara lain yaitu “Gambarkan
permasalahan itu atau mempertanyakan untuk diselidiki; mencari sumber tentang fakta historis; meringkas dan
mengevaluasi sumber-sumber historis; dan menyajikan fakta yang
bersangkutan di dalam suatu kerangka interpretatif”.
Sepintas nampaknya
begitu mudah untuk mengadakan penelitian sejarah tersebut, namun demikian dalam praktiknya
tidak semudah yang dibayangkan, apalagi jika mengikuti pendapat Ismaun (1988:
125-13 1) yang menyatakan tentang metode sejarah meliputi: 1) heuristik
(pengumpulan sumber-sumber sejarah), 2) kritik atau analisis sumber sejarah (eksternal dan internal), 3) interpretasi, dan 4)
historiografi (penulisan sejarah). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa untuk
melakukan penelitian dan penulisan sejarah dituntut keterampilan-keterampilan
khusus.
Seorang sejarawan
professional maupun sebagai sejarawan pendidik (guru sejarah) perlu mempunyai
beberapa latar-belakang kemampuan yang dipersyaratkan. Dalam hal ini,
Sjamsuddin (1996: 68- 69) merinci ada tujuh kriteria yang dipersyaratkan
sebagai sejarawan:
1) Kemampuan praktis dalam mengartikulasi dan mengekspresikan
secaramenarik pengetahuannya, baik
secara tertulis maupun lisan.
2) Kecakapan
membaca dan/atau berbicara dalam satu atau dua bahasa asing atau daerah.
3) Menguasai
satu atau lebih disiplin kedua, terutama ilmu-ilmu sosial lain seperti antropologi,
sosiologi, lmu politik, ilmu ekonomi, atau ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora)
seperti filsafat, seni atau sastera, bahkan kalau relevan juga yang berhubungan
dengan ilmu-ilmu alam.
4) Kelengkapan
dalam penggunaan pemahaman (insight) psikologi, kemampuan imajinasi, dan
empati.
5) Kemampuan
membedakan antara profesi sejarah dan sekedar hobi antikuarian yaitu
pengumpulan benda-benda antik.
6) Pendidikan
yang luas (broad culture) selama hidup sejak dari masa kecil.
7) Dedikasi
pada profesi dan integritas pribadi baik sebagai sejarawan peneliti maupun
sebagai sejarawan pendidik
Sementara itu, Gray, (1956; 9) mengemukakan bahwa
setidaknya seorang sejarawan minimalnya ada enam tahap
dalam penelitian sejarah:
1) Memilih
suatu topik yang sesuai.
2) Mengusut
semua evidensi atau bukti yang relevan dengan topik.
3) Membuat catatan-catatan penting dan relevan dengan topik
yang ditemukan
ketika penelitian diadakan.
4) Mengevaluasi secara kritis semua evidensi yang telah
dikumpulkan atau melakukan kritik sumber secara eksternal
dan internal.
5) Mengusut
hasil-hasil penelitian dengan mengumpulkan catatan faktafakta secara
sistematis.
6) Menyajikannya
dalam suatu cara yang menarik serta mengkomunikasikannya kepada para pembaca
dengan menarik pula.
Menurut Dadang Supardan (2009:308),
mengemukakan bahwa sebagai ilmu bantu dalam penelitain sejarah terdiri atas;
(1) paleontologi, ilmu tentang bentuk-bentuk kehidupan purba yang
pernah ada di muka bumi, terutama fosil-osil; (2) arkeologi, merupakan
kajian ilmiah baik mengenai hasil kebudayaan
prasejarah maupun periode sejarah yang ditemukan melalui ekskavasi-ekskavasi di situs-situs arkeolog; (3) paleoantropologi,
yaitu ilmu tentang manusia-manusia
purba atau antropologi ragawi; (4) paleografi, yaitu kajian
tentang tulisan-tulisan kuno, termasuk ilmu membaca, penentuan
waktu/tanggal/tahun; (5) epigrafi, yaitu pengetahun tentang cara
membaca, menentukan waktu, serta
menganalisis tulisan kuno pada benda-benda yang dapat bertahan lama (batu, logam, dsb); (6) ikonografi,
yaitu arca-arca atau patungpatung kuno sejak zaman prasejarah maupun
sejarah; (7) numismatik, yaitu tentang ilmu mata uang, asal-usul,
teknik pembuatan, mitologi; (8) ilmu keramik, kajian tentang barang-barang untuk tembikar dan porselin. (9) genealogi,
adalah pengetahuan tentang asal-usul nenek moyang atau asal mula
keluarga seseorang maupun beberapa orang;
(10) filologi, adalah ilmu tentang naskah-naskah kuno; (11) bahasa, adalah
penguasaan tentang bebepara bahasa asing maupun daerah yang diperlukan
dalam penelitian sejarah; (12) statistik, adalah sebagai presentasi analisis, dan interpretasi angka-angka terutama
dalam quantohistory atau cliometry;
(13) etnografi, meupakan
kajian bagian antropologi tentang deskripsi dan analisis kebudayaan suatu
masyarakat tertentu.
Berdasarkan uraian tentang ilmu bantu dalam
penelitian sejarah di atas, dapat dipahami bahwa dalam penelitian sejarah tidak
semudah yang dibayangkan. Dibutuhkan banyak bidang ilmu yang saling menunjang
dalam proses penelitian sejarah. Hal ini tentunya untuk mendapatkan kajian
tentang sejarah yang mendalam dan seakurat mungkin.
4.
Tujuan dan Kegunaan Sejarah
Berbicara mengenai fungsi dan kegunaan
sejarah, sejak zaman klasik para peneliti dan penulis sejarah sudah banyak memberikan penegasan bahwa sejarah
selalu memiliki suatu manfaat dan fungsi bagi kehidupan manusia masa sekarang dan masa yang akan datang. Polybius
(198-117 SM) mengatakan bahwa sejarah adalah
philosophy teaching by example. Ia juga mengemukakan bahwa semua orang
mempunyai dua cara untuk menjadi baik (Dadang Supardan, 2009:308). Satu,
berasal dari pengalaman dirinya sendiri, dan
yang lainnya lagi berasal dari pengalaman orang lain.
Cicero (106-43
SM) yang dikenal sebagai sejarawan subyek praktis, mengemukakan bahwa sejarah
berfungsi sejarah didaktik (didactic history), ia membuat beberapa
adagium bahwa sejarah adalah cahaya kebenaran, saksi waktu, guru kehidupan
atau historia magistra vitae (sejarah adalah
guru kehidupan); atau prima esse historiae legem ne quid falsi dicere audeat,
ne quid veri non audeat (hukum pertama dalam sejarah ialah takut mengatakan kebohongan, hukum berikutnya tidak
takut mengatakan kebenaran) (Dadang Supardan, 2009:308). Pendapat ini lebih menekankan pada pentingnya
sebuah pengungkapan suatu peristiwa sejarah secara objektif. Ini artinya
pengungpakan sejarah tidak boleh dipengaruhi oleh kepentingan apapun, akan
tetapi sejarah harus dikemukakan berdasarkan apa adanya secara original.
Tacitus (55-120 SM), yang dijuluki sebagai
sejawaran moralis, mengemukakan bahwa fungsi
tertinggi sejarah adalah untuk menjamin bahwa perbutan-perbuatan jahat (evil)
harus diperlihatkan untuk dikutuk oleh generasi kemudian (Conkin & Stomberg, 1971: 15). Selain
itu baginya sejarah sebagai suatu pengajaran bagi masa sekarang dan
suatu peringatan bagi masa yang akan datang (Sjamsuddin, 1999: 13). Pendapat
ini lebih menekankan pada nilai penting yang dapat diambil dari suatu peristiwa
sejarah dengan harapan agar dapat dijadikan sebagai pelajaran dan peringatan bagi
generasi yang sekarang dan akan datang.
Sementara itu Notosusanto (Dadang Supardan,
2009:308), secara rinci mengidentifikasi
empat jenis kegunaan sejarah, yakni: pertama, fungsi edukatif,
ini artinya bahwa pada dasarnya sejarah
membawa dan mengajarkan kebijaksanaan ataupun kearifankearifan. Oleh karena itu tidak heran
kiranya kalau banyak ungkapan-ungkapan
seprti; belajarlah dari sejarah, atau sejarah mengajarkan kepada
kita.
Kedua, fungsi inspiratif. Artinya dengan mempelajari
sejarah dapat memberikan inspirasi
atau ilham. Sebagai contoh melalui belajar sejarah perjuangan bangsa, kita dapat terilhami untuk
meniru dan bila perlu „menciptakan“ peristiwa serupa yang lebih bersar
lagi dan paling tidak dengan belajar sejarah
dapat memperkuat l’esprit de corps atau spirit dan moral. Meminjam filosof spiritual Prancis Henry Bergson
sebagai elan vital sebagai energi hidup atau daya pendorong hidup
yang memungkinkan segala pergerakan dalam kehidupan dan tindak-tanduk manusia.
Ketiga, fungsi instruktif; yaitu bahwa dengan belajar sejarah
dapat menjadi berperan dalam proses
pembelajaran pada salah satu kejuruan atau keterampilan tertentu seperti navigasi, jurnalistik, senjata/militer
dan sebagainya.
Keempat, fungsi rekreasi, artinya
dengan belajar sejarah itu dapat memberikan rasa kesenangan maupun keindahan. Seorang
pembelajar sejarah dapat terpesona oleh kisah
sejarah yang mengagumkan atau menarik perhatian pembaca apakah itu berupa roman maupun cerita-cerita persitiwa
lainnya Selain itu juga sejarah dapat memberikan
rasa kesenangan lainnya seperti “pesona perlawatan” yang dipaparkan dan digambarkan kepada kita melalui
pelbagai evidensi dan imajinasi. Dengan
mempelajari berbagai peristiwa menarik diberbagai tempat, negara dan
bangsa, kita ibarat berwisata ke berbagai negara di penjuru Dunia.
Menurut Dasuki (2003: 359), pengetahuan yang
diajarkan di sekolah terdiri atas sejarah yang serba tafsir (interpreted
history atau history as interpretation) dalam wujud cerita sejarah.
Oleh cerita sejarah pula kita dihubungkan dengan generasi-generasi masa lampau. Selanjutnya melalui cerita sejarah, kita mengadakan renungan dan penghayatan kembali
mengenai peristiwa-peristiwa masa lampau (rethinking and reliving of past events), memikirkan dan
menghayati kembali tingkah-laku manusia pada masa lampau. Kegiatan manusia
secara keseluruhan dan kebudayaannya merupakan subyek dalam sejarah.
Disinilah kebudayaan sebagai subyek sejarah,
pada gilirannya dapat menyediakan jangkauan yang sangat luas untuk
mendidik generasi muda. Ini merupakan peranan penting pengajaran sejarah dalam
pendidikan humaniora tersebut.
Menurut (Russel, 1955: 49), melalui memori,
kita dapat diperkenalkan secara langsung dengan masa lampau. Pengetahuan langsung melalui memori ini ialah sumber semua pengetahuan
kita tentang masa lampau. Oleh memori ini pula maka ada pengetahuan tentang
sejarah. Dalam sejarah tersebut terhimpun dan diawetkan memori kolektif
mengenai pengalaman insani. Mengingat fungsinya yang demikian penting, sejarah merupakan konservator atau pengawet
memori kolektif umat manusia. Dengan
demikian sejarah berfungsi sangat penting dalam pembinaan identitas
kolektif dan dapat dijadikan wahana pertama untuk mensosialisasikan ke generasi
muda. Sejarah dengan demikian dapat dijadikan cermin
untuk mengetahui diri sendiri: Siapa saya maupun kita ini? Harus bagaimana
jika saya maupun kita tidak dicatat terkutuk dalam sejarah? (Dadang Supardan,
2009:310). Dengan demikian dapat dipahami bahwa sejarah berfungsi untuk
membentuk kesadaran diri pada manusia tentang siapa dirinya yang sebenarnya,
apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak seharusnya dilakukan.
Menurut
Kartodirdjo (1990: 204) yang secara rinci
menjelaskan bahwa kesadaran sejarah merupakan kesadaran diri yang secara
imanen ada pada refleksi diri akan memperkuat potensi untuk: 1) menempatkan
posisi diri kita dalam konteks sosiokultural serta konteks temporal, 2) melepaskan diri dari perhatian kognitif serta
kehidupan praktis yang menuntut terselenggaranya
fungsi-fungsi atau kepentingan perhatian normatif-etis dalam menghayati
sejarah dengan orientasi teleologis, seperti kepentingan politikkebudayaan, 3) membantu mencari jawaban dari
permasalahan metahistoris melalui
penggambaran masa depan atau fungsi prediktif dari studi sejarah. Dengan
demikian dapat diketahui bahwa sejarah memiliki peranan penting dalam kehidupan
manusia, baik untuk masa sekarang ataupun masa yang akan datang
Evaluasi:
Setelah
mempelajari materi konsep dasar sejarah ini, coba kalian jawab beberapa
pertanyaan berikut ini:
1.
Jelaskan apa yang dimaksud dengan sejarah!
2.
Berdasarkan pengalaman kalian, coba jelaskan
mengapa sejarah itu penting untuk dipelajari!
3.
Jelaskan bagaimana cara kita untuk menghargai
jasa-jasa para pahlawan dalam kehidupan sehari-hari!
4.
Jelaskan bagaimana upaya yang harus dilakukan
dalam rangka menjaga dan melestarikan berbagai peninggalan sejarah yang ada di
lingkungan kalian masing-masing!
0 komentar:
Posting Komentar