Pembinaan akhlak
mulia di sekolah memiliki tujuan agar siswa dapat memiliki kemampuan atau
kompetensi dasar yang harus dikuasai di antaranya, siswa terbiasa berperilaku
dengan sifat terpuji (Muhaimin, 2003: 89). Untuk dapat mencapai kompetensi
tersebut, maka proses pembinaan akhlak mulia perlu ditentukan, dipilih,
dirancang organisasi isi/materi pembelajaran, strategi penyampaian serta bagaimana
pengelolaannya.
Sekolah sebagai
lembaga pendidikan diharapkan mampu mencetak manusia yang berakhlak mulia
sesuai dengan tujuan pembinaan itu sendiri yaitu memanusiakan manusia. Ini
artinya pembinaan akhlak mulia di sekolah harus mampu melatih dan mengarahkan
serta membimbing siswa ke-arah perkembangan yang positif, yaitu terbentuknya
akhlak mulia siswa dalam segala segi kehidupannya dengan penuh kesadaran dan
rasa tanggung jawab serta memiliki keyakinan yang kuat akan hal tersebut yang
dapat mendatangkan kebaikan bagi dirinya sendiri dan orang lain, serta sebagai
bentuk tindakan yang mengarah pada penghambaan diri terhadap sang pencipta
seluruh alam yaitu Allah swt.
Dalam proses
pembinaan akhlak mulia di sekolah, perlu kiranya diperhatikan karakteristik
dari siswa itu sendiri sebagai subjek yang akan dibina. Ini dilakukan untuk
dapat mempermudah memilih dan menentukan strategi pembinaan akhlak mulia yang
harus diterapkan. Karakteristik siswa memegang peranan penting dalam proses pembinaan
akhlak mulia siswa itu sendiri, sehingga perlu diperhatikan. Ini dilakukan agar
nilai-nilai akhlak mulia yang diajarkan dapat terinternalisasi dan terwujud
dalam tindakan nyata siswa, bukan hanya sebatas teori.
Untuk
tercapainya tujuan pembinaan akhlak mulia yang diharapkan, sekolah harus dapat
mengkondisikan dan menciptakan suasana yang kondusif, aman, dan nyaman bagi
siswa untuk lebih mudah memahami dan menerapkan akhlak mulia yang diajarkan di
sekolah. Ini dapat dilakukan antara lain, dengan berbagai bentuk tindakan,
ucapan, dan sikap semua warga sekolah yang dapat dicontoh oleh siswa sebagai
dasar penanaman akhlak mulia, seperti yang diungkapkan Black bahwa:
Character education is often introduced
into the classroom through the study of heroes and heroines. Students examine
the character traits personified in the heroes and heroines. Yet such study is
only one part of the whole of character education when it is infused into the
school community's ethos. "To become grounded in basic values, students
must see good examples in all aspects of school life and be taken seriously. (Black, 1996,
diambil pada tgl. 01 Juli
2010, dari http://www.ericdigests.org/2001-2/character.html).
Dari pendapat
Black tersebut dapat dipahami bahwa pembinaan akhlak mulia selama ini sudah
sering diperkenalkan di dalam kelas melalui berbagai studi tentang kepahlawanan.
Dengan demikian, siswa diharapkan dapat memperhatikan nilai-nilai akhlak mulia
yang terdapat pada setiap tokoh pahlawan yang diajarkan. Ini merupakan salah
satu bagian dari keseluruhan pendidikan karakter yang diterapkan dalam
lingkungan sekolah. Untuk dapat meletakkan nilai-nilai dasar tentang
contoh-contoh yang baik dalam semua aspek kehidupan sekolah, sehingga siswa
dapat memperhatikan berbagai contoh yang baik dalam segala aspek kehidupan
sekolah yang dianggap penting.
Sekolah sebagai
tempat pembinaan akhlak mulia harus dapat menciptakan suasana positif bagi
siswa sehingga dapat mendukung tercapainya pembinaan akhlak mulia siswa. Sekolah harus mengoptimalkan semua sumber daya
yang ada untuk mendukung proses pembinaan akhlak mulia siswa, antara lain
dengan menciptakan hubungan yang harmonis antara semua warga sekolah sebagai
satu kesatuan yang saling mendukung untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Dalam hal ini, Jackson, Boostrom & Hansen mengatakan:
a way of trying
to make people better than they are which means that it is always legitimate to
ask questions about how well or how poorly the teacher's students are being
treated. And to raise questions about how one person treats another, no matter
what the relationship, is to enter domain of moral judgment (Abeer Al-Hooli & Zaid
Al-Shammari,
2009:3).
Dari pendapat Jackson
tersebut dapat dilihat bahwa kehidupan sekolah sebagai suatu cara untuk mencoba
membuat orang lebih baik. Sekolah juga perlu memperhatikan bagaimana bentuk
hubungan yang dibangun oleh para guru terhadap siswanya sebagai upaya
menanamkan nilai-nilai akhlak mulia terhadap para siswa. Terkait dengan hal ini
Jewell (Abeer Al-Hooli & Zaid Al-Shammari: 2009: 3) mengidentifikasi empat
paradigma yang kontras tentang perkembangan moral yaitu:
a.
Kemampuan untuk menyelesaikan dilema
moral dengan refleksi bijaksana, bukan reaksi naluriah (The ability to resolve moral dilemmas with thoughtful reflection,
rather than instinctive reaction).
b.
Kesediaan untuk terlibat dalam perilaku
moral dan menjauhkan diri dari perilaku tidak bermoral (the willingness to
engage in moral behavior and eschew immoral behavior).
c.
Kesediaan untuk terlibat dalam perilaku
sosial dan bukan menjadi terisolasi dan menutupi diri (the willingness to
engage in social behavior rather than be isolated and self absorbed).
d.
Kemauan untuk praktek penyangkalan
diri dari memanjakan diri
(the
willingness to practice self denial than self-indulgence).
Dari penjelasan Jewell
tersebut, dapat diketahui bagaimana peran sekolah dalam mendidik siswa menjadi
berakhlak mulia, sehingga mampu menyelesaikan permasalahan dengan bijaksana
yang tentunya didasari dengan berbagai pertimbangan secara sadar, melibatkan
diri secara aktif dalam perilaku moral (akhlak mulia), serta menjauhkan diri
dari perbuatan tidak bermoral (akhlak tercela), selalu terbuka dengan pergaulan
sosial dalam kehidupan sehari-hari dan tidak menutup diri, serta mau untuk
melakukan introspeksi diri atas semua yang dilakukan. Dengan demikian,
diharapkan siswa setelah lulus dari sekolah dapat menerapkan semua ilmu yang
dipelajari dalam kehidupan masyarakat.
0 komentar:
Posting Komentar