Headlines News :
Home » » Pendidikan Akhlak Mulia/Karakter

Pendidikan Akhlak Mulia/Karakter

Written By mikailahaninda.blogspot.com on Sabtu, 07 Maret 2015 | 09.36

 
A.    Pengertian Akhlak Mulia
Secara etimologis (lughatan) kata akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaq (yang berarti tabiat, perangai, dan kebiasaan) (Darmiyati Zuchdi, dkk, 2009: 85). Kata akhlak berakar dari kata khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar dengan kata Khaliq (pencipta) dan makhluq (yang diciptakan).
Kesamaan akar kata di atas mengisyaratkan bahwa dalam akhlak tercakup pengertian terciptanya saling keterpaduan antara dua buah komponen yaitu kehendak Khaliq (Pencipta) dengan Makhluq (manusia). Dengan kata lain, semua tata perilaku seseorang terhadap orang lain dan lingkungannya baru mengandung nilai akhlak yang hakiki manakala tindakan atau perilaku tersebut didasarkan kepada kehendak Khaliq (Tuhan) (Yunahar Ilyas, 2009: 1). 
Dari pengertian akhlak secara etimologis tersebut, dapat dipahami bahwa akhlak bukan saja merupakan tata aturan atau norma perilaku yang mengatur hubungan antar sesama manusia, akan tetapi juga menyangkut norma yang mengatur hubungan antara manusia sebagai mahluk dengan Tuhan sebagai sang penciptanya dan penguasa seluruh alam, bahkan juga menyangkut hubungan manusia dengan semesta alam.
Secara terminologis (istilah) pengertian akhlak ini banyak ditemukan dalam hadis Rasulullah saw. yang antara lain dalam hadits riwayat Imam Ahmad, yang berbunyi: 
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : بُعِثْتُ لِأُتِمَّمَ صَالِحَ الْأَ خْلَاقِ
Artinya: Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw, bersabda; Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (Marzuki, 2009: 14).
Menurut Marzuki (2009: 14) dalam Al-Qur’an hanya ditemukan bentuk tunggal dari akhlaq yaitu khuluq, sebagaimana ditegaskan dalam kitab suci (QS. Al-Qalam: 4) yang Artinya: Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Kata al-khuluq merupakan suatu sifat yang terpatri dalam jiwa, yang darinya terlahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan tanpa pemikiran dan merenung terlebih dahulu (Ali Abdul Halim Mahmud, 2004: 28). Menurut Ainain (Marzuki, 2009: 14) kata khuluq adalah ibarat dari kelakuan manusia yang membedakan baik dan buruk, lalu disenangi dan dipilih yang baik untuk dipraktikkan dalam perbuatan, sedang yang buruk dibenci dan dihilangkan. Sedangkan menurut Sutiah (2003: 25) kata khuluq, mengandung segi-segi kesesuaian dengan kata “khalqun” yang berarti kejadian, dan erat hubungannya dengan kata “Khaliq” yang berarti pencipta, serta erat hubungannya dengan “makhluq” berarti yang diciptakan. Ini mengandung makna bahwa rumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara Khaliq dengan makhluq dan antara makhluq dengan makhluq serta hubungan mahkluk dengan lingkungan.    
Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa akhlaq merupakan kondisi jiwa yang senantiasa mempengaruhi untuk bertingkah laku tanpa pemikiran dan pertimbangan (Aminuddin dkk., 2006: 93). Al-Ghazali mengatakan bahwa akhlak merupakan.
فَالخُلُقُ عِبَارَةٌ عَنْ هَيْئَةِ فِيْ النَّفْسِ رَاخِسَةً، عَنْهَا تُصَدِّرُ الْاَفْعَالُ بِسُهُوْلَةٍ وَيَسِرُ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ اِلَي فِكْرٍ وَرُؤْيَة                               
Artinya: Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan (Yunahar Ilyas, 2009: 2).

Menurut Abdul Karim Zaidan akhlak merupakan:
مَجْمُوْعَةٌ مِنَ الْمَعَانِيْ وَالصَّفَاتِ الْمُسْتَقِرَّةِ فِيْ النَّفْسِ وَفِيْ ضَوّءِ هَا وَمِيْزَانِهَا يَحْسُنُ الْفِعْلُ فِيْ نَظَرِالاِنْسَانِ أَوْيَقْبُحُ، وَمِنْ ثَمَّ يَقْدُمُ عَلَيْهِ أَوْيَحْجُمُ عَنْهُ
Artinya: Akhlak adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang dapat menilai perbuatannya baik atau buruk, untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya (Yunahar Ilyas, 2009: 2).
Akhlak atau khuluq itu adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga dia akan muncul secara spontan bilamana diperlukan, tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu, serta tidak memerlukan dorongan dari luar (Yunahar Ilyas, 2009: 2). Jadi akhlak itu lebih dimaknai sebagai sebuah sifat yang tertanam secara kokoh dalam jiwa seseorang dan timbul dengan tidak memerlukan dorongan apapun semata-mata karena kehendak hati untuk melakukan berbagai tindakan.
Al-Jurjani mendefinisikan akhlaksebagai suatu sifat yang tertanam kuat dalam diri, yang darinya terlahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan ringan, tanpa perlu berpikir dan merenung. Jika dari sifat tersebut terlahir perbuatan-perbuatan yang indah menurut akal dan syari’at dengan mudah, maka sifat tersebut dinamakan dengan akhlak yang baik (akhlaqul karimah). Sedangkan jika darinya terlahir perbuatan-perbuatan yang buruk, maka sifat tersebut dinamakan akhlak yang buruk (al-akhlaqul mazmudah) (Ali Abdul Halim Mahmud, 2004: 32). Dari definisi ini dapat diketahui bahwa dari sifat yang tertanam kuat dalam diri setiap manusia itu akan dapat melahirkan dua bentuk perbuatan yaitu baik dan buruk. Dalam hal ini Sidi Gazalba berpendapat bahwa akhlak adalah sikap keperibadian yang melahirkan perbuatan manusia terhadap Tuhan, dan manusia, diri sendiri dan mahluk lain, sesuai dengan perintah dan larangan serta petunjuk Al-Qur’an dan Hadis (Aminuddin dkk., 2006: 93).
Dari pendapat para ahli tentang akhlak yang telah dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa secara terminologis (istilah), akhlak merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa seseorang manusia, yang akan muncul secara spontan dengan tanpa pertimbangan terlebih dahulu dan bersifat konstan, spontan, tidak temporer, dilakukan semata-mata karena Allah swt. sebagai bentuk kesadaran akan tugas dan tanggung jawab kepada Allah swt.
Dalam konsep akhlak, seseorang dapat dikatakan berakhlak mulia (akhlaq karimah) apabila sudah dapat menerapkan ciri-ciri akhlak mulai, seperti: 1) pemaaf, 2) menyuruh berbuat baik, dan 3) berpaling dari kebohongan (Anwar Efendi, 2009: 164). Ini sesuai dengan Firman Allah swt, dalam kitab suci (QS. Al-A’raf: 199) yang artinya: Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Dalam pengertian sehari-hari, akhlak umumnya disamakan artinya dengan budi pekerti, kesusilaan, dan sopan santun dalam bahasa Indonesianya, dan tidak berbeda pula dengan arti kata moral dan ethic dalam bahasa Inggris (Mansur, 2007: 221). Menurut Faisal Ismail (Darmiyati Zuchdi, dkk. 2009: 85), bahwa kata yang setara maknanya dengan akhlak adalah moral dan etika. Akhlak juga sering disejajarkan dengan budi pekerti, tata susila, tata krama atau sopan santun. Satu lagi kata yang sekerang menjadi lebih popular adalah karakter yang juga memiliki makna yang hampir sama dengan akhlak, moral dan etika (Darmiyati Zuchdi dkk., 2009: 85).
Secara konseptual pengertian etika dan moral mempunyai pengertian serupa, yakni sama-sama membicarakan perbuatan baik dan perilaku manusia ditinjau dari sudut pandang nilai baik dan buruk. Menurut Muka Sa’id (Darmiyati Zuchdi dkk., 2009: 86) bahwa pada tataran aplikasi keduanya memiliki perbedaan, etika lebih bersifat teoretis filosofis sebagai acuan untuk mengkaji sistem nilai, sedangkan moral bersifat praktis sebagai tolok ukur untuk menilai perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa etika memandang perilaku itu secara universal dan moral memandang perilaku itu lebih bersifat lokal.
Perbedaan antara akhlak, etika, dan moral ini terletak pada standar masing-masing. Bagi akhlak standarnya adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah; bagi etika standarnya adalah pertimbangan akal pikiran; dan bagi moral standarnya adalah adat kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat (Yunahar Ilyas, 2009: 3).
Adapun persamaan pendidikan karakter dengan pendidikan akhlak mulia dapat dilihat dari penekanan yang dilakukan dan diharapkan dalam pendidikan karakter yang mengarah pada sikap dan perilaku nilai-nilai positif dalam kehidupan sehari-hari. Ryan & Bohlin (Darmiyati Zuchdi dkk, 2009: 86) mengatakan bahwa pendidikan karakter mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowling the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing the good).
Salah satu pendukung dari pendidikan karakter yang berpengaruh yaitu Edward Wynne mencoba mendefinisikan karakter sebagai berikut:
Character is simple, immediately observable, good conduct, either the performance of words or physical acts, or the refraining from certain words or acts. The good conduct involved consists of demonstrating certain virtues; tact, honesty, obeying legitimate authority, perseverance, displaying a good sense of humor, loyalty, and so on (Massialas & Allen, 1996: 159).

Dari definisi yang diungkapkan Edward Wynne tersebut dapat diketahui bahwa karakter itu bersifat sederhana dan dapat diamati, seperti melakukan kebaikan, baik itu berupa kata-kata ataupun perbuatan fisik atau menahan diri dari kata-kata atau tindakan tertentu. Bentuk tindakan akhlak mulia (karakter) tersebut antara lain: mendemonstrasikan kebajikan tertentu, bijaksana, kejujuran, mematuhi otoritas yang sah, ketekunan, menampilkan rasa humor yang baik, loyalitas, dan sebagainya.
Pendidikan karakter bukan hanya menekankan pada aspek kognitif saja akan tetapi mencakup aspek afektif dan psikomotor. Pendidikan karakter tidak sekedar mengajarkan mana yang benar dan yang salah kepada siswa, akan tetapi pendidikan karakter mengutamakan penekanan pada penanaman kebiasaan tentang yang baik dan menghindari yang buruk, sehingga siswa menjadi terbiasa melakukan tindakan yang baik dengan secara sadar dan tanpa paksaan. Dengan demikian dapat terlihat jelas bahwa pendidikan karakter dan pendididkan akhlak mulia atau moral memiliki tujuan yang sama.   
Menurut Lickona (1991: 38), nilai moral memberitahukan apa yang seharusnya dilakukan dan menjadi pegangan agar hidup menjadi lebih baik. Secara lengkap Lickona mengatakan “Values are two kinds:  moral and nonmoral. Moral values such as honesty, responsibility, and fairness carry obligation. We feel obligated to keep a promise, pay our bills, care for our children, and be fair in our dealings with others. Moral values tell us what me want or like to do.”  
Menurut Lickona, nilai itu ada dua macam: moral dan non moral. Nilai moral itu seperti jujur, bertanggung jawab, dan kesungguhan dalam mengemban kewajiban. Nilai moral memberikan apa yang seharusnya dilakukan dan menjadi pegangan agar hidup lebih baik. Nilai non moral tidak membawa beberapa kewajiban. Dengan demikian nilai moral lebih dipandang sebagai sebuah pegangan hidup yang disertai dengan tanggung jawab atau kewajiban untuk melaksanakan apa yang seharusnya dilakukan dan dihindari.
Menanggapi masalah akhlak (moral), sebenarnya sudah dibicarakan sejak lama sebagai bentuk kegelisahan dunia atas merebaknya berbagai permasalahan moral yang ada di kalangan masyarakat, tidak terkecuali pada siswa di sekolah-sekolah. Seperti yang dinyatakan Eastland Faulted bahwa:
a widespread absence in young people of a "basic morality" as the cause of many of society's problems, including crime, racial conflict, drug abuse, and sexual promiscuity. He says that the basic morality "consists of, among other things, honesty, fairness, respect for law, courage, diligence, and respect for others (Schafersman, 1991, diambil pada tgl 27 Juli 2010, dari http://www.freeinquiry.com/teaching-morals.html).

Dari ungkapan Eastland tersebut, terlihat bagaimana pengaruh ketiadan nilai moral pada diri siswa sehingga menyebabkan timbulnya berbagai masalah di masyarakat termasuk kejahatan, konflik rasial, penyalahgunaan obat-obatan, dan seksual. Ini menunjukkan betapa besarnya dampak yang ditimbulkan oleh adanya kekosongan moral dari generasi muda yang merebak di kalangan masyarakat.
Lebih lanjut, Easland mengungkapkan beberapa komponen moral dasar antara lain terdiri dari: kejujuran, keadilan, menghormati hukum, keberanian, ketekunan, dan menghormati orang lain. Ini menunjukkan bahwa moral dasar ini secara umum berlaku secara universal bagi semua manusia, sehingga dengan demikian nilai moral dasar ini sebenarnya sudah ada pada diri setiap individu.
Menurut Jewell (Abeer Al-Hooli & Zaid Al-Shammari, 2009: 2) bahwa "When people talk about moral development, they are referring to their conduct and attitude towards other people in society. They look to see if you and I follow societal norms, rules, and laws in terms of children and describe their ability to distinguish fight from wrong."
Dari pendapat Jewell tersebut, dapat diketahui bahwa orang berbicara tentang pengembangan moral selalu mengacu pada perilaku dan sikap terhadap orang lain dalam masyarakat. Orang melihat apakah dirinya dan orang lain mengikuti norma-norma sosial, aturan, dan hukum-hukum dalam menggambarkan kemampuan siswa untuk membedakan yang benar dan yang salah.
Dengan demikian, dari paparan pendapat para alhli tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa akhlak/karakter merupakan sifat yang tertanam dalam diri seseorang yang melahirkan tingkah laku atau perbuatan yang baik, kemudian dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan, secara terus-menerus dan semata-mata hanya mengharapkan keridhaan dari Allah swt.
Share this article :

0 komentar:

 
Support : Berbagi | AULIA | Mikaila
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. DARIKU UNTUKMU - All Rights Reserved