Secara
etimologis (lughatan) kata akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaq
(yang berarti tabiat, perangai, dan kebiasaan) (Darmiyati Zuchdi, dkk, 2009:
85). Kata akhlak berakar dari kata khalaqa
yang berarti menciptakan. Seakar dengan kata Khaliq (pencipta) dan makhluq
(yang diciptakan).
Kesamaan akar
kata di atas mengisyaratkan bahwa dalam akhlak tercakup pengertian terciptanya
saling keterpaduan antara dua buah komponen yaitu kehendak Khaliq (Pencipta) dengan Makhluq
(manusia). Dengan kata lain, semua tata perilaku seseorang terhadap orang lain
dan lingkungannya baru mengandung nilai akhlak yang hakiki manakala tindakan
atau perilaku tersebut didasarkan kepada kehendak Khaliq (Tuhan) (Yunahar Ilyas, 2009: 1).
Dari pengertian
akhlak secara etimologis tersebut, dapat dipahami bahwa akhlak bukan saja
merupakan tata aturan atau norma perilaku yang mengatur hubungan antar sesama
manusia, akan tetapi juga menyangkut norma yang mengatur hubungan antara
manusia sebagai mahluk dengan Tuhan sebagai sang penciptanya dan penguasa
seluruh alam, bahkan juga menyangkut hubungan manusia dengan semesta alam.
Secara
terminologis (istilah) pengertian akhlak ini banyak ditemukan dalam hadis
Rasulullah saw. yang antara lain dalam hadits riwayat Imam Ahmad, yang
berbunyi:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : بُعِثْتُ لِأُتِمَّمَ صَالِحَ
الْأَ خْلَاقِ
Artinya:
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw, bersabda; Sesungguhnya aku hanya
diutus untuk menyempurnakan akhlak
yang mulia (Marzuki, 2009: 14).
Menurut Marzuki
(2009: 14) dalam Al-Qur’an hanya ditemukan bentuk tunggal dari akhlaq yaitu
khuluq, sebagaimana ditegaskan dalam kitab suci (QS. Al-Qalam: 4) yang
Artinya: Dan
Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Kata al-khuluq merupakan suatu sifat yang
terpatri dalam jiwa, yang darinya terlahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan
tanpa pemikiran dan merenung terlebih dahulu (Ali Abdul Halim Mahmud, 2004:
28). Menurut Ainain (Marzuki, 2009: 14) kata khuluq adalah ibarat dari
kelakuan manusia yang membedakan baik dan buruk, lalu disenangi dan dipilih
yang baik untuk dipraktikkan dalam perbuatan, sedang yang buruk dibenci dan
dihilangkan. Sedangkan menurut Sutiah (2003: 25) kata khuluq, mengandung
segi-segi kesesuaian dengan kata “khalqun” yang berarti kejadian, dan
erat hubungannya dengan kata “Khaliq” yang berarti pencipta, serta erat
hubungannya dengan “makhluq” berarti yang diciptakan. Ini mengandung
makna bahwa rumusan pengertian akhlak
timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara Khaliq
dengan makhluq dan antara makhluq dengan makhluq serta
hubungan mahkluk dengan lingkungan.
Ibnu Miskawaih
menyatakan bahwa akhlaq merupakan kondisi jiwa yang senantiasa
mempengaruhi untuk bertingkah laku tanpa pemikiran dan pertimbangan (Aminuddin dkk.,
2006: 93). Al-Ghazali mengatakan bahwa akhlak
merupakan.
فَالخُلُقُ
عِبَارَةٌ عَنْ هَيْئَةِ فِيْ النَّفْسِ رَاخِسَةً، عَنْهَا تُصَدِّرُ
الْاَفْعَالُ بِسُهُوْلَةٍ وَيَسِرُ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ اِلَي فِكْرٍ وَرُؤْيَة
Artinya:
Akhlak adalah sifat yang
tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan
mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan (Yunahar Ilyas, 2009: 2).
Menurut Abdul
Karim Zaidan akhlak merupakan:
مَجْمُوْعَةٌ
مِنَ الْمَعَانِيْ وَالصَّفَاتِ الْمُسْتَقِرَّةِ فِيْ النَّفْسِ وَفِيْ ضَوّءِ
هَا وَمِيْزَانِهَا يَحْسُنُ الْفِعْلُ فِيْ نَظَرِالاِنْسَانِ أَوْيَقْبُحُ،
وَمِنْ ثَمَّ يَقْدُمُ عَلَيْهِ أَوْيَحْجُمُ عَنْهُ
Artinya:
Akhlak adalah nilai-nilai dan
sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotan dan timbangannya
seseorang dapat menilai perbuatannya baik atau buruk, untuk kemudian memilih
melakukan atau meninggalkannya (Yunahar Ilyas, 2009: 2).
Akhlak atau khuluq itu adalah sifat yang tertanam
dalam jiwa manusia, sehingga dia akan muncul secara spontan bilamana
diperlukan, tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu, serta
tidak memerlukan dorongan dari luar (Yunahar Ilyas, 2009: 2). Jadi akhlak itu
lebih dimaknai sebagai sebuah sifat yang tertanam secara kokoh dalam jiwa
seseorang dan timbul dengan tidak memerlukan dorongan apapun semata-mata karena
kehendak hati untuk melakukan berbagai tindakan.
Al-Jurjani
mendefinisikan akhlaksebagai suatu
sifat yang tertanam kuat dalam diri, yang darinya terlahir perbuatan-perbuatan
dengan mudah dan ringan, tanpa perlu berpikir dan merenung. Jika dari sifat
tersebut terlahir perbuatan-perbuatan yang indah menurut akal dan syari’at
dengan mudah, maka sifat tersebut dinamakan dengan akhlak yang baik (akhlaqul
karimah). Sedangkan jika darinya terlahir perbuatan-perbuatan yang buruk,
maka sifat tersebut dinamakan akhlak
yang buruk (al-akhlaqul mazmudah) (Ali Abdul Halim Mahmud, 2004:
32). Dari definisi ini dapat diketahui bahwa dari sifat yang tertanam kuat
dalam diri setiap manusia itu akan dapat melahirkan dua bentuk perbuatan yaitu
baik dan buruk. Dalam hal ini Sidi Gazalba berpendapat bahwa akhlak adalah sikap
keperibadian yang melahirkan perbuatan manusia terhadap Tuhan, dan manusia,
diri sendiri dan mahluk lain, sesuai dengan perintah dan larangan serta
petunjuk Al-Qur’an dan Hadis (Aminuddin dkk., 2006: 93).
Dari pendapat
para ahli tentang akhlak yang telah dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa
secara terminologis (istilah), akhlak merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa
seseorang manusia, yang akan muncul secara spontan dengan tanpa pertimbangan
terlebih dahulu dan bersifat konstan, spontan, tidak temporer, dilakukan semata-mata
karena Allah swt. sebagai bentuk kesadaran akan tugas dan tanggung jawab kepada
Allah swt.
Dalam konsep akhlak, seseorang dapat
dikatakan berakhlak mulia (akhlaq karimah) apabila sudah dapat
menerapkan ciri-ciri akhlak mulai, seperti: 1) pemaaf, 2) menyuruh berbuat
baik, dan 3) berpaling dari kebohongan (Anwar Efendi, 2009: 164). Ini sesuai
dengan Firman Allah swt, dalam kitab suci (QS. Al-A’raf: 199) yang artinya: Jadilah
Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari
pada orang-orang yang bodoh.
Dalam pengertian
sehari-hari, akhlak umumnya
disamakan artinya dengan budi pekerti, kesusilaan, dan sopan santun dalam
bahasa Indonesianya, dan tidak berbeda pula dengan arti kata moral dan ethic
dalam bahasa Inggris (Mansur, 2007: 221). Menurut Faisal Ismail (Darmiyati
Zuchdi, dkk. 2009: 85), bahwa kata yang setara maknanya dengan akhlak adalah
moral dan etika. Akhlak juga sering
disejajarkan dengan budi pekerti, tata susila, tata krama atau sopan santun.
Satu lagi kata yang sekerang menjadi lebih popular adalah karakter yang juga
memiliki makna yang hampir sama dengan akhlak, moral dan etika (Darmiyati
Zuchdi dkk., 2009: 85).
Secara
konseptual pengertian etika dan moral mempunyai pengertian serupa, yakni
sama-sama membicarakan perbuatan baik dan perilaku manusia ditinjau dari sudut
pandang nilai baik dan buruk. Menurut Muka Sa’id (Darmiyati Zuchdi dkk., 2009:
86) bahwa pada tataran aplikasi keduanya memiliki perbedaan, etika lebih
bersifat teoretis filosofis sebagai acuan untuk mengkaji sistem nilai,
sedangkan moral bersifat praktis sebagai tolok ukur untuk menilai perbuatan
yang dilakukan oleh seseorang. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa etika
memandang perilaku itu secara universal dan moral memandang perilaku itu lebih
bersifat lokal.
Perbedaan antara
akhlak, etika, dan moral ini
terletak pada standar masing-masing. Bagi akhlak standarnya adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah; bagi etika
standarnya adalah pertimbangan akal pikiran; dan bagi moral standarnya adalah
adat kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat (Yunahar Ilyas, 2009: 3).
Adapun persamaan
pendidikan karakter dengan pendidikan akhlak
mulia dapat dilihat dari penekanan yang dilakukan dan diharapkan dalam
pendidikan karakter yang mengarah pada sikap dan perilaku nilai-nilai positif
dalam kehidupan sehari-hari. Ryan & Bohlin (Darmiyati Zuchdi dkk, 2009: 86)
mengatakan bahwa pendidikan karakter mengandung tiga unsur pokok, yaitu
mengetahui kebaikan (knowling the good), mencintai kebaikan (loving
the good), dan melakukan kebaikan (doing the good).
Salah satu
pendukung dari pendidikan karakter yang berpengaruh yaitu Edward Wynne mencoba
mendefinisikan karakter sebagai berikut:
Character is simple, immediately observable,
good conduct, either the performance of words or physical acts, or the
refraining from certain words or acts. The good conduct involved consists of
demonstrating certain virtues; tact, honesty, obeying legitimate authority,
perseverance, displaying a good sense of humor, loyalty, and so on (Massialas
& Allen, 1996: 159).
Dari definisi
yang diungkapkan Edward Wynne tersebut dapat diketahui bahwa karakter itu
bersifat sederhana dan dapat diamati, seperti melakukan kebaikan, baik itu
berupa kata-kata ataupun perbuatan fisik atau menahan diri dari kata-kata atau
tindakan tertentu. Bentuk tindakan akhlak mulia (karakter) tersebut antara
lain: mendemonstrasikan kebajikan tertentu, bijaksana, kejujuran, mematuhi
otoritas yang sah, ketekunan, menampilkan rasa humor yang baik, loyalitas, dan
sebagainya.
Pendidikan
karakter bukan hanya menekankan pada aspek kognitif saja akan tetapi mencakup
aspek afektif dan psikomotor. Pendidikan karakter tidak sekedar mengajarkan
mana yang benar dan yang salah kepada siswa, akan tetapi pendidikan karakter
mengutamakan penekanan pada penanaman kebiasaan tentang yang baik dan
menghindari yang buruk, sehingga siswa menjadi terbiasa melakukan tindakan yang
baik dengan secara sadar dan tanpa paksaan. Dengan demikian dapat terlihat
jelas bahwa pendidikan karakter dan pendididkan akhlak mulia atau moral memiliki tujuan yang sama.
Menurut Lickona
(1991: 38), nilai moral memberitahukan apa yang seharusnya dilakukan dan menjadi
pegangan agar hidup menjadi lebih baik. Secara lengkap Lickona mengatakan “Values
are two kinds: moral and nonmoral. Moral
values such as honesty, responsibility, and fairness carry obligation. We feel
obligated to keep a promise, pay our bills, care for our children, and be fair
in our dealings with others. Moral values tell us what me want or like to do.”
Menurut Lickona,
nilai itu ada dua macam: moral dan non moral. Nilai moral itu seperti jujur,
bertanggung jawab, dan kesungguhan dalam mengemban kewajiban. Nilai moral
memberikan apa yang seharusnya dilakukan dan menjadi pegangan agar hidup lebih
baik. Nilai non moral tidak membawa beberapa kewajiban. Dengan demikian nilai
moral lebih dipandang sebagai sebuah pegangan hidup yang disertai dengan tanggung
jawab atau kewajiban untuk melaksanakan apa yang seharusnya dilakukan dan
dihindari.
Menanggapi
masalah akhlak (moral), sebenarnya sudah dibicarakan sejak lama sebagai bentuk
kegelisahan dunia atas merebaknya berbagai permasalahan moral yang ada di
kalangan masyarakat, tidak terkecuali pada siswa di sekolah-sekolah. Seperti
yang dinyatakan Eastland Faulted bahwa:
a widespread absence in young people of
a "basic morality" as the cause of many of society's problems,
including crime, racial conflict, drug abuse, and sexual promiscuity. He says
that the basic morality "consists of, among other things, honesty,
fairness, respect for law, courage, diligence, and respect for others (Schafersman, 1991, diambil pada tgl 27 Juli 2010, dari
http://www.freeinquiry.com/teaching-morals.html).
Dari ungkapan Eastland
tersebut, terlihat bagaimana pengaruh ketiadan nilai moral pada diri siswa
sehingga menyebabkan timbulnya berbagai masalah di masyarakat termasuk
kejahatan, konflik rasial, penyalahgunaan obat-obatan, dan seksual. Ini menunjukkan
betapa besarnya dampak yang ditimbulkan oleh adanya kekosongan moral dari
generasi muda yang merebak di kalangan masyarakat.
Lebih lanjut, Easland
mengungkapkan beberapa komponen moral dasar antara lain terdiri dari: kejujuran,
keadilan, menghormati hukum, keberanian, ketekunan, dan menghormati orang lain.
Ini menunjukkan bahwa moral dasar ini secara umum berlaku secara universal bagi
semua manusia, sehingga dengan demikian nilai moral dasar ini sebenarnya sudah
ada pada diri setiap individu.
Menurut Jewell
(Abeer Al-Hooli & Zaid Al-Shammari, 2009: 2) bahwa "When people
talk about moral development, they are referring to their conduct and attitude
towards other people in society. They look to see if you and I follow societal
norms, rules, and laws in terms of children and describe their ability to
distinguish fight from wrong."
Dari pendapat
Jewell tersebut, dapat diketahui bahwa orang berbicara tentang pengembangan
moral selalu mengacu pada perilaku dan sikap terhadap orang lain dalam
masyarakat. Orang melihat apakah dirinya dan orang lain mengikuti norma-norma
sosial, aturan, dan hukum-hukum dalam menggambarkan kemampuan siswa untuk
membedakan yang benar dan yang salah.
Dengan demikian,
dari paparan pendapat para alhli tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa akhlak/karakter
merupakan sifat yang tertanam dalam diri seseorang yang melahirkan tingkah laku
atau perbuatan yang baik, kemudian dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari
dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan, secara terus-menerus dan semata-mata
hanya mengharapkan keridhaan dari Allah swt.
0 komentar:
Posting Komentar