Agama dan akhlak/karakter
merupakan dua perkara yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ini
menunjukkan bahwa inti dari ajaran Islam adalah mendekatkan diri kepada Allah
swt. untuk mendapatkan keridhaan-Nya. Ini tentu tidak cukup hanya sebatas
meyakini, akan tetapi yang lebih utama adalah bagaimana melaksanakan segala
perintah dan menjauhi segala larangan Allah swt. dalam segala segi kehidupan.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa konsep agama Islam dalam menciptakan
akhlak mulia harus dilakukan dengan keterpaduan terhadap semua perintah Allah
swt. sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh, dan pada akhirnya akan
melahirkan akhlak mulia yang sesuai dengan tuntunan agama Islam.
Sumber akhlak
mulia dalam Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Al-Ghazali (M.
Yatimin Abdullah, 2007: 24) berpendapat bahwa beberapa sumber akhlak mulia
adalah kitab suci Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah saw, dan akal pikiran. Ini
menunjukkan bahwa sumber dasar akhlak mulia adalah dari Allah swt. yang
kemudian diperkuat dengan diutusnya Rasulullah saw, sebagai utusan yang
membimbing ummat manusia menjalankan perintah Allah swt. sesuai dengan wahyu
dari Allah swt. Penerapan kedua sumber akhlak muliat tersebut juga tidak
terlepas dari adanya peran akal pikiran manusia untuk memikirkan apakah yang
dikerjakan itu baik atau tidak.
Sayed Ali Ashraf
(Azhar Ahmad & AB. Halim Tamuri, 2007: 6) menegaskan bahwa seseorang tidak
boleh menjadi seorang yang bertaqwa tetapi tidak berakhlak pada saat yang
bersamaan. Ini artinya antara akhlak dan taqwa dalam artian menjalankan segala
perintah Allah swt. dan menjauhi segala larangan-Nya tidak bisa saling bertolak
belakang, keduanya harus sejalan, karena dasar keduanya adalah bersumber dari
Firman Allah swt. dan hadits Rasulullah saw.
Baik dan burukn
akhlak dalam Islam ukurannya adalah baik dan buruk menurut Al-Quran dan Sunnah
Rasulullah saw. Adapun sumber yang ketiga yaitu akal pikiran tidak bisa
dijadikan ukuran yang mutlak. Jika ukuran baik dan buruk akhlak itu akal
pikiran, esensi dari kebaikan itu akan berbeda tergantung pada individu yang
memaknakannya. Seseorang mengatakan bahwa sesuatu itu baik, tetapi orang lain
belum tentu menganggapnya baik. Begitu juga sebaliknya, seseorang menyebut
sesuatu itu buruk, padahal yang lain bisa saja menyebutnya baik (Marzuki, 2009:
19).
Dalam kitab suci
Al-Quran, terdapat petunjuk yang lengkap bagi manusia dalam segala urusan, baik
urusan yang langsung terhadap Allah swt. (hablum minallah), hubungan
terhadap sesama manusia (hablum minannas), dan hubungan manusia dengan
lingkungan. Dalam kitab suci Al-Quran, terdapat banyak ayat yang menerangkan
tentang akhlak mulia yang kemudian langsung dipraktikkan oleh Rasulullah saw,
dalam segala segi kehidupan. Seperti Firman Allah swt, dalam kitab suci (QS.
Al-Ahzab: 21) yang artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu
suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah
dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (Departemen
Agama RI, 2005: 421).
Dalam ayat yang
lain Allah swt. menguatkan dasar dari akhlak mulia dalam (QS. Al-‘Asr: 1-3)
yang artinya: Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat
menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi
kesabaran. (Departemen Agama RI, 2005: 602).
Dari ayat
Al-Qur’an tersebut, setelah bersumpah, Allah swt. menerangkan bahwa manusia
yang memperoleh kejayaan, kebahagiaan, dan keberuntungan hanyaah manusia yang
bersifat dengan empat dasar akhlaq
yang mulia, yaitu: 1) iman dan percaya kepada Allah swt, secara
sungguh-sungguh, 2) melaksanakan amalan-amalan shalih, 3) tolong-menolong dalam
kebenaran (haq), dan 4) tolong-menolong mewujudkan kesabaran (Ibnu
Husein, 2004: 7).
Makna yang
terkandung dalam ayat Al-Qur’an yang singkat tetapi konkret, menyeluruh, dan
saling terkait ini menggambarkan bahwa agama terdiri atas empat perempat sendi
yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Seperempat sendinya adalah
iman yang benar, seperempat sendinya amal shalih (baik terhadap diri sendiri,
keluarga dan masyarakat), seperempat sendinya kebenaran dan seperempat sendinya
lagi adalah sabar. Dengan demikian, jelaslah bahwa agama itu merupakan kesatuan
dari iman yang benar, amal yang shalih, kebenaran, dan kesabaran (Ibnu Husein,
2004: 7).
Selain itu,
Islam juga menetapkan nilai-nilai akhlak murni yang diwariskan kepada umat
manusia, dari generasi ke-generasi berikutnya dengan berpedoman kepada Al-Quran
dan hadits Nabi. Hal yang demikian itu secara langsung diterapkan oleh
Rasulullah saw. dalam kehidupan sehari-hari kepada para sahabat Nabi, sebagaimana
kita ketahui bahwa Rasulullah saw. diutus Allah swt. selain menyempurnakan
akhlak yang mulia juga menghilangkan keterbelakangan serta kebiasaan yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam (Yusuf Al-Qaradhawi, 2004: 29).
Begitu
pentingnya akhlak mulia ini bagi kehidupan manusia, sehingga dalam mengemban
tugas kenabiannya, sebagai suri tauladan bagi umat manusia Rasulullah saw.
selalu memohon kepada Allah swt. agar menghiasinya dengan adab yang baik serta
akhlak yang mulia (Al-Ghazali. 2007: 201). Rasulullah saw. berkata dalam
do’anya:
اَللَّهُمَّ حَسِّنْ
خُلُقِي وَخَلْقِي
Artinya:
Ya Allah, baguskanlah akhlaq dan
bentukku (Al-Ghazali, 2007: 201).
Berbagai
pendapat tentang akhlak mulia tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya
Rasulullah saw. adalah the living Quran
atau contoh nyata aktualisasi Al-Qur’an. Di antara akhlak Rasulullah saw.
adalah shidiq (jujur), istiqomah
(konsisten), fathanah (cerdas), amanah (dapat dipercaya), dan tabligh
(menyampaikan). Kesemuanya itu dapat menjadi contoh untuk diteladani dalam
menerapkan nilai-nilai akhlak mulia (Tasman, 2001: 189).
Dari semua
sumber akhlak mulia yang telah dipaparkan di atas, ada dua sumber akhlak mulia
yang masih tetap menjadi pegangan dalam menerapkan akhlak mulia, yaitu Al-Quran
dan Sunnah Rasulullah saw. yang sampai sekarang masih terjaga keautentikannya,
kecuali Sunnah Rasulullah saw yang memang dalam perkembangannya banyak
ditemukan hadis yang tidak benar (dla’if) (Marzuki, 2009: 19). Melalui
kedua sumber akhlak tersebut dapat dipahami
bahwa sifat sabar, tawakkal, syukur, pemaaf, pemurah, penyayang, mengasihi,
pemurah dan mencintai, termasuk sifat-sifat
yang baik dan mulia lainnya. Sebaliknya, juga dapat diketahui bahwa
sifat syirik, kufur, nifaq, hasad, denggki, takabur, sombong, pemarah, dan pendendam,
merupakan sifat-sifat tercela. Ketika dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
saw, tidak menegaskan secara jelas mengenai nilai dari sifat-sifat tersebut,
disinilah kemungkinan akal untuk memberikan penilain atau klarifikasis yang
berbeda-beda.
Berdasarkan dua
sumber akhlak mulia yang mutlak tersebut, dalam kehidupan sehari-hari Islam
tidak menafikan adanya standar lain selain Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw
untuk menentukan baik dan buruknya akhlak manusia. Standar lain yang dapat
digunakan untuk menentukan baik dan buruk adalah akal dan nurani manusia serta
pandangan umum masyarakat (Marzuki, 2009: 20). Ini menunjukkan bahwa Islam itu
bersipat fleksibel, statis, dan tidak kaku, sehingga ajaran Islam selalu
sejalan dengan perkembangan zaman sebagai bentuk rahmatan lil alamin.
Dalam melakukan
klarifikasi kebenaran akhlak, akal tidak bisa dipakai sepenuhnya untuk
menentukan baik dan buruknya akhlak, karena akal pikiran cenderung bersifat
subjektif dan relatif. Begitu juga halnya dengan pandangan masyarakat yang lebih
bersifat relatif dan bahkan nilainya paling rendah dibandingkan kedua standar
sebelumnya. Hanya masyarakat yang memiliki kebiasaan (tradisi) yang baik yang
dapat memberikan ukuran yang lebih menjamin baik buruknya suatu akhlak
(Marzuki, 2009: 21).
Abdul Haq Ansari
(Azhar Ahmad & Abdul Halim Tamuri, 2007: 3) mengatakan bahwa satu lagi
sumber yang harus diambil sebagai sumber akhlak yaitu amalan para sahabat Nabi,
mereka adalah golongan yang dilatih sendiri oleh Rasulullah saw. kehidupan
mereka penuh dengan nilai Islam dengan mencontoh Rasulullah saw. serta telah
diiktiraf oleh Rasulullah saw. sebagai golongan terbaik. Klarifikasi kebenaran
akhlak berdasarkan kebiasaan para sahabat masih perlu diklarifikasi lagi,
dikarenakan sumber keasliannya yang sudah banyak dipengaruhi oleh berbagai
pemikiran para tokoh yang mengembangkannya dalam bentuk hasil ijtihad.
Berdasarkan
berbagai paparan pendapat para tokoh ilmuan tentang sumber akhlak mulia yang
telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa ukuran baik dan buruknya
akhlak bisa diperoleh melalui berbagai sumber. Ukuran baik bisa bersumber dari
Al-Quran, Sunnah Rasulullah saw. akal pikiran, pandangan umum masyarakat, dan
keteladanan sahabat Rasulullah saw. sebagai pewaris Nabi (warasatul anbiya’).
Dari sekian
banyak sumber akhlak yang ada, hanya Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. yang
tidak diragukan kebenarannya. Sedangkan sumber-sumber yang lainnya masih
cenderung bersifat subjektif dan relatif, sehingga dapat diketahui bahwa ukuran
yang utama mengenai baik dan buruk akhlak dalam Islam adalah Al-Quran dan
Sunnah Rasulullah saw.
0 komentar:
Posting Komentar