Abstrak
Persoalan budaya dan
karakter bangsa kini menjadi sorotan tajam masyarakat.
Sorotan itu mengenai berbagai aspek kehidupan, tertuang dalam berbagai tulisan
di media cetak, wawancara, dialog, dan gelar wicara di media elektronik. Berbagai
alternatif penyelesaian diajukan seperti peraturan, undang-undang, peningkatan
upaya pelaksanaan dan penerapan hukum yang lebih kuat. Alternatif lain yang
banyak dikemukakan untuk mengatasi, paling tidak mengurangi, masalah budaya dan
karakter bangsa yang dibicarakan itu adalah pendidikan.
Ilmu Pengetahuan Sosial
adalah studi integrasi dari ilmu-ilmu sosial dalam kemanusiaan untuk
meningkatkan kemampuan warganya. Melalui pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial,
siswa diajarkan untuk menjadi warga Negara Indonesia yang baik dan penuh
kedamaian. Ilmu Pengetahuan Sosial diperlukan bagi keberhasilan transisi
kehidupan menuju pada kehidupan yang lebih dewasa dalam upaya membentuk
karakter bangsa yang sesuai dengan prinsip dan semangat nasional. Dengan mencermati uraian tentang pengertian dan tujuan IPS,
akan terlihat bahwa pendidikan IPS sebenarnya sangat erat kaitannya dengan
pendidikan karakter. Hal ini terlihat pada rumusan tujuannya, bahwa pendidikan
karakter atau pendidikan nilai juga bertujuan agar peserta didik menjadi warga negara
yang baik.
Upaya
pembentukan karakter sesuai dengan budaya bangsa ini tentu tidak semata-mata
hanya dilakukan di sekolah melalui serangkaian kegiatan belajar mengajar baik
melalui mata pelajaran maupun serangkaian kegiatan pengembangan diri yang dilakukan
di kelas dan luar sekolah. Pembiasaan-pembiasan (habituasi) dalam kehidupan,
seperti: religius, jujur, disiplin, toleran, kerja keras, cinta damai,
tanggung-jawab perlu dimulai dari lingkup terkecil seperti keluarga sampai
dengan cakupan yang lebih luas di masyarakat. Nilai-nilai tersebut tentunya
perlu ditumbuhkembangkan yang pada akhirnya dapat membentuk pribadi karakter
peserta didik yang selanjutnya merupakan pencerminan hidup suatu bangsa yang
besar.
Kata
kunci : Ilmu Pengetahuan Sosial, Pendidikan Karakter
1.
Pendahuluan
Persoalan budaya dan karakter bangsa kini menjadi
sorotan tajam masyarakat. Sorotan itu mengenai
berbagai aspek kehidupan, tertuang dalam berbagai tulisan di media cetak,
wawancara, dialog, dan gelar wicara di media elektronik. Selain di media massa,
para pemuka masyarakat, para ahli, dan para pengamat pendidikan, dan pengamat
sosial berbicara mengenai persoalan budaya dan karakter bangsa di berbagai
forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional.
Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan
seksual, perusakan, perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang konsumtif,
kehidupn politik yang tidak produktif, dan sebagainya menjadi topik pembahasan
hangat di media massa, seminar, dan di berbagai kesempatan. Berbagai alternatif
penyelesaian diajukan seperti peraturan, undang-undang, peningkatan upaya
pelaksanaan dan penerapan hukum yang lebih kuat.
Alternatif lain yang banyak dikemukakan untuk
mengatasi, paling tidak mengurangi, masalah budaya dan karakter bangsa yang
dibicarakan itu adalah pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang
bersifat preventif karena pendidikan
membangun generasi baru bangsa yang lebih baik. Sebagai alternatif yang
bersifat preventif, pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi
muda bangsa dalam berbagai aspek yang dapat memperkecil dan mengurangi penyebab
berbagai masalah budaya dan karakter bangsa. Memang diakui bahwa hasil dari
pendidikan akan terlihat dampaknya dalam waktu yang tidak segera, tetapi
memiliki daya tahan dan dampak yang kuat di masyarakat.
Undang-Undang Republik
Indonesia nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan
nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di
Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan,
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab”. Tujuan
pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang
harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan
tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya
dan karakter bangsa.
Peningkatan kualitas
sumber daya manusia dapat ditempuh melalui perbaikan sistem pendidikan yang
mengarah pada pembentukan karakter siswa sejak tingkat pra sekolah sampai
perguruan tinggi. Pembentukan karakter sebagai upaya meningkatkan perilaku siswa
dilaksanakan secara berkesinambungan yang melibatkan aspek knowledge,
feeling, dan acting (Tadkiroatun
Musfiroh, 2008: 31). Tetapi yang terjadi sekarang adalah pola pendidikan
yang masih berorientasi pada pengembangan aspek kognitif dan kurang
memperhatikan pengembangan aspek afektif, dan psikomotorik. Mata pelajaran yang
berkaitan dengan pendidikan karakter pada prakteknya lebih menekankan pada
aspek kognitif tingkat rendah (hanya sekedar tahu saja). Selain itu, sistem
pendidikan yang terfokus pada aspek kognitif bersifat abstrak, serta diikuti
dengan proses belajar siswa yang pasif, kaku, dan kurang menyenangkan.
2.
Makna Pembelajaran IPS
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) tidak dapat dilepaskan dari sejarah
munculnya mata pelajaran Social Studies di Amerika Serikat tahun
1962-an. Berangkat dari pemahaman dan kajian serta bagaimana peran mata pelajaran
Social Studies itu, di Indonesia kemudian diperkenalkan dan
dikembangkanmata pelajaran IPS. Secara historis, istilah IPS ini muncul di
Indonesia sejak diberlakukannya Kurikulum 1975 sebagai pembaharuan Kurikulum
1968 di sekolah. Ilmu Pengetahuan Sosial adalah mata pelajaran di sekolah yang
didesain atas dasar fenomena, masalah dan realitas sosial dengan pendekatan
interdisipliner yang melibatkan berbagai cabang Ilmu-ilmu sosial dan humaniora
seperti kewarganegaraan, sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi,
pendidikan. Oleh karena itu, IPS dapat dikatakan sebagai studi mengenai
perpaduan antara ilmu-ilmu dalam rumpun Ilmu-ilmu sosial dan juga humaniora
untuk melahirkan pelakupelaku sosial yang dapat berpartisipasi dalam memecahkan masalah-masalah
sosio-kebangsaan. Bahan kajiannya menyangkut peristiwa, seperangkat fakta,
konsep dan generalisasi yang berkait dengan isu-isu aktual, gejala dan
masalah-masalah atau realitas social serta potensi daerah.
Selanjutnya dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) dijelaskan bahwa IPS merupakan bahan kajian yang wajib
dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang antara lain mencakup
ilmu bumi, sejarah, ekonomi, kesehatan dan lain sebagainya yang dimaksudkan untuk
mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis peserta didik
terhadap kondisi sosial masyarakat (penjelasan pasal 37).
Sementara
itu, kalau mengacu pada kajian Social Studies, National Council for
Social Studies (NCSS) dijelaskan sebagai berikut.
"Social studies are the
integrated study of the social sciences and humanities to promote civic
competence. Within the school program, social studies provides coordinated,
systematic study drawing upon such disciplines as anthropology, archaeology,
economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology,
religion, and sociology, as well as appropriate content from the humanities,
mathematics, and the natural sciences. The primary purpose of social studies is
to help young people develop the ability to make informed and reasoned
decisions for the public good as citizens of a culturally diverse, democratic
society in an interdependent world “ (1994: 3).
Dari pengertian di atas dapat diartikan bahwa:
1.
Ilmu Pengetahuan Sosial
adalah studi integrasi dari ilmu-ilmu sosial dalam kemanusiaan untuk
meningkatkan kemampuan warganya.
2.
Dalam lingkup program
sekolah, Ilmu Pengetahuan Sosial memberikan studi yang terkoordinasi dan
sistematis yang menekankan pada disiplin-sisiplin ilmu antropologi, arkeologi,
ekonomi, geografi, hukum, filsafat, ilmu politik, psikologi, agama dan
sosiologi maupun isi terapan dari humaniora, matematika dan ilmu murni.
Melalui
pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, siswa diajarkan untuk menjadi warga
Negara Indonesia yang baik dan penuh kedamaian. Ilmu Pengetahuan Sosial
diperlukan bagi keberhasilan transisi kehidupan menuju pada kehidupan yang
lebih dewasa dalam upaya membentuk karakter bangsa yang sesuai dengan prinsip
dan semangat nasional. Dengan demikian para siswa dalam pembelajaran IPS
terlatih untuk menyelesaikan persoalan sosial dengan pendekatan secara holistik
dan terpadu dari berbagai sudut pandang.
Ellis
(1997: 6) menjelaskan hakikat pembelajaran IPS sebagai berikut “social studies is the area of the
curriculum dedicated to the study of human beings, it lends it self quite
naturally to the care and nurturing of the individual child”. Maksudnya
bahwa lingkup wilayah IPS dalam kurikulum diabadikan pada pembelajaran umat
manusia secara alami menjaga dan mengembangkan karakter dan pribadi anak. Jadi,
Pembelajaran IPS merupakan pembelajaran yang menyangkut segala aspek hubungan
dalam kehidupan manusia. Numan Sumantri (2001: 95) menjelaskan bahwa Pendidikan
IPS bersumber dari beberapa disiplin ilmu, humaniora, disiplin ilmu pendidikan,
kegiatan dasar manusia dalam masyarakat dan tujuan pendidikan nasional yang
semuanya harus dipikirkan dan dikembangkan secara integrasi.
Menurut
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan
integrasi dari berbagai cabang ilmu-ilmu sosial seperti: sosiologi, sejarah,
geografi, ekonomi, politik, hukum, dan budaya. Ilmu Pengetahuan Sosial
dirumuskan atas dasar realitas dan fenomena sosial yang mewujudkan satu
pendekatan interdisipliner dari aspek dan cabang-cabang ilmu-ilmu sosial
(sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum, dan budaya). Ilmu
Pengetahuan Sosial merupakan bagian dari kurikulum sekolah yang diturunkan dari
isi materi cabang-cabang ilmu-ilmu sosial: sosiologi, sejarah, geografi,
ekonomi, politik, antropologi, filsafat.
Ilmu
Pengetahuan Sosial merupakan mata pelajaran yang diberikan mulai dari
pendidikan dasar, Ellis (1997: 6) menjelaskan tujuan pembelajaran IPS adalah:
“Social studies
is designed to help children explain their world. By organization he basically
meant the ability to understand and classify things with respect to how they
work. Adaptation refers to the process of accommodating one self to one’s
environment. A child who enters school has already adapted considerably to the
environment through speech, dress, rules at home, and so forth but school is
designed to expand such adaptation greatly through formal learning processes,
social, emotional, and physical”.
Pernyataan
di atas menjelaskan bahwa tujuan utama Ilmu Pengetahuan Sosial adalah untuk
mengembangkan potensi siswa agar mampu beradaptasi, peka terhadap masalah
sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap
perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap
masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang
menimpa masyarakat.
Tujuan utama Ilmu Pengetahuan Sosial ialah untuk mengembangkan
potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di
masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan
yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari
baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat. Tujuan
tersebut dapat dicapai manakala program-program pelajaran IPS di sekolah
diorganisasikan secara baik. Dari rumusan tujuan tersebut dapat dirinci sebagai
berikut:
1.
Memiliki kesadaran dan
kepedulian terhadap masyarakat atau lingkungannya, melalui pemahaman terhadap
nilai-nilai sejarah dan kebudayaan masyarakat.
2.
Mengetahui dan memahami
konsep dasar dan mampu menggunakan metode yang diadaptasi dari
ilmu-ilmu sosial yang kemudian dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah sosial.
3.
Mampu menggunakan
model-model dan proses berpikir serta membuat keputusan untuk menyelesaikan isu
dan masalah yang berkembang di masyarakat.
4.
Menaruh perhatian
terhadap isu-isu dan masalah-masalah sosial, serta mampu membuat analisis yang
kritis, selanjutnya mampu mengambil tindakan yang tepat.
5.
Mampu mengembangkan
berbagai potensi sehingga mampu membangun diri sendiri agar survive yang
kemudian bertanggung jawab membangun masyarakat.
Sejalan dengan
itu, Barth (1990: 41) menjelaskan bahwa:
Proposed that one way to
integrated social studies in a scope and sequence was to apply the four skill
objective: (1) gaining knowledge, (2) Processing information, (3) clarifying
values and (4) engaging in social participation, in every social studies
classroom.
Sesuai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan
pembelajaran IPS yaitu memperoleh pengetahuan, siswa belajar tentang diri
mereka sendiri dan lingkungannya, kemudian kemampuan menggunakan dan
mengamalkan pengatahuan dan ide-ide melalui ketrampilan berfikir. Tujuan yang
lain adalah membentuk sikap yang diperlukan untuk tingkah laku berfikir (intellectual behavior) dan tingkah laku
sosial (social behavior).
Tujuan-tujuan tersebut bermuara pada tujuan utama IPS yaitu untuk melatih siswa
untuk bertanggung jawab sebagai warga Negara yang baik serta mempersiapkan
generasi muda untuk menjadi seorang humanis, rasional, berpartisipasi dalam
kehidupan dunia dan menjadi meningkat kesadaran untuk saling membutuhkan dalam
hidupnya.
3.
Makna
Pendidikan Karakter
Dengan mencermati uraian tentang pengertian dan tujuan IPS, akan
terlihat bahwa pendidikan IPS sebenarnya sangat erat kaitannya dengan
pendidikan karakter. Hal ini terlihat pada rumusan tujuannya, bahwa pendidikan
karakter atau pendidikan nilai juga bertujuan agar peserta didik menjadi warga
negara yang baik. Bahkan, secara tegas Gross menyatakan, “Values Education
as social studies “to prepare students to bewell-fungtioning citizens in
democratic society” (Darmadi, 2007:8). istilah pendidikan nilai ini sering
disamakan dengan pendidikan religius, pendidikan budi pekerti,
pendidikan akhlak mulia, pendidikan moral atau pendidikan
karakter itu sendiri. Pendidikan karakter, pendidikan moral, atau
pendidikan budi pekerti itu dapat dikatakan sebagai upaya untuk mempromosikan
dan menginternalisasikan nilai-nilai utama, atau nilai-nilai positif
kepada warga masyarakat agar menjadi warga bangsa yang percaya diri, tahan
uji dan bermoral tinggi, demokratis dan bertanggung jawab serta survive dalam
kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, pendidikan karakter
merupakan proses pembudayaan dan pemanusiaan.
Ryan
berpendapat bahwa “good character is
about knowing the good, loving the good and doing the good”. Artinya bahwa
karakter yang baik adalah tentang suatu pengetahuan yang baik, kasih sayang,
cinta kasih yang baik dan melakukan atau bertindak yang baik. Pendapat tersebut
diperkuat oleh Lickona (1992: 51) yang menjalaskan tentang pengertian dan
menawarkan satu cara memaknai karakter dalam pembelajaran, sebagai berikut:
Character
consist of operative values, values in action. Character conceived has three
interrelated parts: moral knowing, moral feeling and moral behavior. Good
character consists of knowing the good, desiring the good and doing the
good-habits of the mind, habits of the heart and habits of action.
Pernyataan
di atas dapat dijelaskan bahwa karakter terdiri dari nilai-nilai tindakan.
Karakter yang dipahami mempunyai tiga komponen saling berhubungan yaitu
pengetahuan moral, perasaan moral dan perilaku moral. Karakter yang baik
terdiri dari pengetahuan yang baik, menginginkan yang baik dan melakukan
kebiasaan yang baik pula dari pikiran, kebiasaan dan tindakan.
Tadkiratun Musfiroh (2008: 27) menjelaskan bahwa
karakter mengacu pada serangkaian sikap perilaku (behavior), motivasi (motivations),
dan keterampilan (skills), meliputi keinginan untuk melakukan hal yang
terbaik. Maksudnya bahwa pendidikan karakter adalah usaha yang sengaja
dilakukan untuk membantu masyarakat, memahami perilaku orang lain, peduli dan
bertindak serta memiliki ketrampilan atas nilai-nilai etika.
Tujuan pendidikan watak atau karakter menurut
Darmiyati Zuchdi (2008: 39) untuk mengajarkan nilai-nilai tradisional tertentu,
nilai-nilai yang diterima secara luas sebagai landasan perilaku yang baik dan
bertanggung jawab. Nilai-nilai ini digambarkan sebagai perilaku moral. Proses
pembelajaran karakter lebih diarahkan pada aspek pengetahuan, ketrampilan dan perilaku,
seperti yang diungkapkan Barth (1990: 254) terdapat tiga aspek dalam
pembelajaran yang harus dicapai yaitu; “a)
knowledge, which is a body of fact and principles; b) skill, which is acquiring
an ability through experience or training; c) attitude, which is one’s opinion,
feeling or mental set as demonstrated by one’s action”. Pernyataan di atas dapat dijelaskan bahwa tiga
aspek dalam pembelajaran meliputi a) pengetahuan, adalah bentuk dari prinsip
dan fakta; b) ketrampilan, adalah pemerolehan kemampuan melalui pelatihan atau
pengalaman; c) sikap, adalah suatu pendapat, perasaan atau mental seseorang
yang ditunjukkan oleh tindakan.
Lickona
(1992: 53) mendefinisikan tiga komponen dalam membentuk karakter yang baik,
yaitu dapat dijelaskan bahwa masing-masing komponen mempunyai aspek yang saling
berhubungan satu sama lain. Aspek dari tiga komponen karakter adalah: Moral knowing yaitu 1) kesadaran moral (moral awarenees), 2) mengetahui nilai
moral (knowing moral values), 3) perspective taking, 4) penalaran moral (moral reasoning) 5) membuat keputusan (decision making) 6) pengetahuan diri (self knowledge). Unsur moral knowing mengisi ranah kognitif siswa.
Sedangkan moral feeling, enam hal
yang merupakan aspek dari emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk
menjadi manusia berkarakter yaitu: 1) nurani (conscience), 2) penghargaan diri (self esteem), 3) empati (empathy),
4) cinta kebaikan, kasih sayang (loving
the good), 5) kontrol diri (self
control) dan 6) kerendahan hati (humility).
Moral actions merupakan perbuatan
atau tindakan moral dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang
mendorong seseorang untuk berbuat (act
morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit).
Dapat
disimpulkan bahwa untuk mengembangkan karakter melalui tahap pengetahuan (knowing), kemudian berbuat (acting), menuju kebiasaan (habit) dimaksudkan bahwa karakter tidak
sebatas pada pengetahuan saja, akan tetapi perlu ada perlakuan dan kebiasaan
untuk berbuat sehingga membentuk karakter yang baik. Karena pendidikan karakter
merupakan proses untuk membentuk, menumbuhkan, mengembangkan dan mendewasakan
kepribadian anak menjadi pribadi yang bijaksana dan bertanggung jawab melalui
pembiasaan-pembiasaan pikiran, hati dan tindakan secara berkesinambungan yang
hasilnya dapat terlihat dalam tindakan nyata sehari-hari baik di sekolah maupun
di masyarakat. Pendidikan karakter yang terintegrasi meliputi dimensi penting
yang dapat digambarkan dalam beberapa tindakan, maksudnya pendekatan pendidikan
karakter yang terintegrasi dalam pembelajaran bahwa guru dan siswa bekerja sama
dalam proses pembelajaran yang berorintasi pada tindakan yang lebih bermakna.
4.
Pengembangan
Pendidikan Karakter melalui Integrasi berbagai Mata Pelajaran
Pada prinsipnya, pengembangan budaya dan karakter bangsa tidak dimasukkan sebagai pokok bahasan tetapi terintegrasi ke dalam mata pelajaran,
pengembangan diri, dan budaya sekolah. Oleh karena itu, guru dan sekolah perlu mengintegrasikan
nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa ke
dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Silabus dan Rencana Program
Pembelajaran (RPP) yang sudah ada.
Prinsip
pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter
bangsa mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai-nilai budaya
dan karakter bangsa sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan
yang diambilnya melalui tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan
pendirian, dan selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri.
Dengan prinsip ini, peserta didik belajar melalui
proses berpikir, bersikap, dan berbuat. Ketiga
proses ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam
melakukan kegiatan sosial dan mendorong peserta didik untuk melihat diri
sendiri sebagai makhluk sosial.
Berikut prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan
pendidikan budaya dan karakter bangsa.
1.
Berkelanjutan;
mengandung makna bahwa proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter
bangsa merupakan sebuah proses panjang, dimulai dari awal peserta didik
masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan. Sejatinya, proses tersebut
dimulai dari kelas 1 SD atau tahun pertama dan berlangsung paling tidak sampai
kelas 9 atau kelas akhir SMP. Pendidikan budaya dan karakter bangsa di SMA
adalah kelanjutan dari proses yang telah terjadi selama 9 tahun.
2.
Melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah; mensyaratkan bahwa proses pengembangan nilai-nilai
budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui setiap mata pelajaran, dan dalam
setiap kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler. Gambar 2 berikut ini
memperlihatkan pengembangan nilai-nilai melalui jalur-jalur itu:
Pengembangan nilai budaya dan karakter bangsa melalui
berbagai mata pelajaran yang telah ditetapkan dalam Standar Isi (SI), digambarkan sebagai berikut ini.
3. Nilai
tidak diajarkan tapi dikembangkan;
mengandung makna bahwa materi nilai budaya dan karakter bangsa bukanlah bahan ajar biasa; artinya,
nilai-nilai itu tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti halnya
ketika mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, ataupun fakta seperti dalam
mata pelajaran agama, bahasa Indonesia, PKn, IPA, IPS, matematika, pendidikan
jasmani dan kesehatan, seni, dan
ketrampilan.
Materi
pelajaran biasa digunakan sebagai bahan atau media untuk mengembangkan
nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Oleh karena itu, guru tidak perlu
mengubah pokok bahasan yang sudah ada, tetapi menggunakan materi pokok bahasan
itu untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Juga, guru
tidak harus mengembangkan proses belajar khusus untuk mengembangkan nilai.
Suatu hal yang selalu harus diingat bahwa satu aktivitas belajar dapat
digunakan untuk mengembangkan kemampuan dalam ranah kognitif, afektif, dan
psikomotor.
Konsekuensi
dari prinsip ini, nilai-nilai budaya dan karakter bangsa tidak ditanyakan dalam
ulangan ataupun ujian. Walaupun demikian, peserta didik perlu mengetahui
pengertian dari suatu nilai yang sedang mereka tumbuhkan pada diri mereka.
Mereka tidak boleh berada dalam posisi tidak tahu dan tidak paham makna nilai
itu.
4.
Proses
pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan;
prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan nilai budaya dan karakter bangsa
dilakukan oleh peserta didik bukan oleh guru. Guru menerapkan prinsip ”tut wuri handayani” dalam setiap
perilaku yang ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini
juga menyatakan bahwa proses pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang
menimbulkan rasa senang dan tidak indoktrinatif.
Diawali dengan
perkenalan terhadap pengertian nilai yang dikembangkan maka guru menuntun
peserta didik agar secara aktif. Hal ini dilakukan tanpa guru mengatakan kepada peserta didik bahwa mereka harus
aktif, tapi guru merencanakan kegiatan belajar yang menyebabkan peserta didik
aktif merumuskan pertanyaan, mencari sumber informasi, dan mengumpulkan
informasi dari sumber, mengolah informasi yang sudah dimiliki, merekonstruksi
data, fakta, atau nilai, menyajikan hasil rekonstruksi atau proses pengembangan
nilai, menumbuhkan nilai-nilai budaya dan karakter pada diri mereka melalui
berbagai kegiatan belajar yang terjadi di kelas, sekolah, dan tugas-tugas di
luar sekolah.
5.
PENUTUP
Upaya pembentukan karakter sesuai dengan
budaya bangsa ini tentu tidak semata-mata hanya dilakukan di sekolah melalui
serangkaian kegiatan belajar mengajar baik melalui mata pelajaran maupun
serangkaian kegiatan pengembangan diri yang dilakukan di kelas dan luar
sekolah. Pembiasaan-pembiasan (habituasi) dalam kehidupan, seperti: religius,
jujur, disiplin, toleran, kerja keras, cinta damai, tanggung-jawab perlu
dimulai dari lingkup terkecil seperti keluarga sampai dengan cakupan yang lebih
luas di masyarakat. Nilai-nilai tersebut tentunya perlu ditumbuhkembangkan yang
pada akhirnya dapat membentuk pribadi karakter peserta didik yang selanjutnya
merupakan pencerminan hidup suatu bangsa yang besar.
Penyelenggarakan pendidikan yang lebih menekankan pada penguasaan
materi dan bersifat intelektualistik telah mengabaikan aspek moralitas dan
pengembangan karakter peserta didik. Pembelajaran IPS memiliki peran penting
dalam pembentukan karakter bangsa. Sebab pembelajaran IPS memiliki kesamaan
dengan pendidikan nilai atau pendidikan karakter yang masing-masing bertujuan
untuk menjadikan peserta didik sebagai warga negara yang baik, kemudian juga
peduli terhadap masalah sosial dan lingkungannya, serta memiliki rasa
kebangsaan yang tinggi. Sayangnya, pembelajaran IPS sejak tahun 1975 sampai
sekarang ini belum dapat memenuhi maksud dan tujuan yang sesungguhnya.
Pembelajaran IPS yang secara konseptual ideal merupakan studi integratif
mengenai kehidupan masyarakat, masih menghadapi problem dalam pelaksanaan
pembelajaran di lapangan. Para pendidik IPS merasa kebingungan dan kadang
kurang bersemangat karena IPS dipandang oleh masyarakat sebagai mata pelajaran
yang tidak penting. Para peserta didikpun menjadi kurang begitu tertarik dengan
mata pelajaran IPS. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa pembelajaran IPS
menjadi tidak optimal, sehingga tujuan pembelajaran IPS yang sesungguhnya
sebagai bagian dari proses pembentukan karakter tidak dapat tercapai. Untuk
memantapkan peran pembelajaran IPS dalam pembentukan karakter bangsa ini perlu
juga didukung dengan beberapa hal, sebagai berikut.
1.
Perlu
adanya keteladanan.
2.
Dikembangkan
model-model pembelajaran yang aktif – partisipatif, kreatif- inovatif dengan
berbagai program pembiasaan.
3.
Penciptaan
lingkungan pendidikan yang kondusif-edukatif, misalnya dipajang berbagai
ketentuan, prosedur, slogan-slogan yang mampu memberikan motivasi dan semangat
dalam hidup dan kehidupan yang lebih berkarakter.
4.
Perlu
penataan berita dan penyiaran di berbagai media massa, baik di media cetak
maupun elektronik.
5.
Perlu
dilakukan kerja sama dengan orang tua/wali dan masyarakat sekitar.
DAFTAR PUSTAKA
Barth,
James. L. (1990). Methods of instruction
in social studies education. New York: University Press of America.
Darmiyati
Zuhdi. (2008). Humanisasi pendidikan:
menemukan kembali pendidikan yang manusiawi. Jakarta: Bumi Aksara.
Depdiknas.
(2003). Undang-Undang RI Nomor 20, Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Ellis.
A.K. (1997). Teaching and learning elementary
social studies. Boston: Allyn & bacon A Viacom Company.
Hamid Darmadi.
2007. Konsep Dasar Pendidikan Moral. Bandung: Alfabeta.
Lickona,
T. (1992). Educating for character, how our schools can teach respect.
respect and responsibility. New York: Bantam Books.
Numan
Sumantri. (2001). Menggagas pembelajaran pendidikan IPS. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
NCSS. 1994. Curriculum
Standars for the Social Studies. Washington D.C. Diambil pada tanggal 10
Desember 2010, dari http://en.wikipedia.org/wiki/National_Council_for_the_Social_Studies
Tadkiratun Musfiroh. (2008). Character building.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
www.bu.edu/education/caec/files/6E.htm
0 komentar:
Posting Komentar